Beranda Judul

Monday 16 July 2012

Tiang Khayalan


Sebuah kehadiran adalah ilusi jangka panjang. Bermula dari pandangan lurus yang terukur antara mata dan sudut pandangku melihat sesuatu berjarak sekitar lima puluh meter. Jarak persinggahan itu telah meleburkan kelelahan, pada suatu kesejukan di sore hari. Aku menyebutkannya sebuah firasat yang buruk.

Pandanganku masih menjaga kedekatanku berdiri di balik tiang penjangga gedung. Kakiku bersembunyi dengan baik, mataku terus menyoroti sesuatu yang bergerak. Baik itu sosok manusia berjenis kelamin perempuan atau sebaliknya. Membuatku lebih waspada jika terjadi sesuatu hal di luar dugaanku. Sebut saja semisal keterkejutanku mengenai seekor tawon atau semut merah. Tentu saja, jika berhadapan dengan mereka, nihil rasanya untuk menjaga kenyamananku bersembunyi lebih lama lagi.

Seperti pakaianku ini. Bergaris kecil-kecil dengan perpaduan berwarna cokelat tua, sesuai dengan penyamaran warna kulitku. Jadi, kuurungkan niatku memakai pakaian penyamaran yang lain, sebab setiap penyamaran adalah lorong menuju persembunyian untuk mengejutkan sesuatu. Kusebutnya sebagai wanita idamanku, dalam sebuah perenungan berwarna cokelat tua.

Semisal warna putih pada tiang penyangga gedung. Warna putihnya sudah lebih dulu menghiasi warna-warna impian tempatku berlindung darinya. Sebagai sebuah khayalanku atau hanya sebagai perenungan untuk memastikan keberadaannya tepat di hadapanku. Jika benar, maka wujudnya akan menjadikan tempat ini adalah yang pertama dan terakhir aku singgahi sebagai bukti khayalanku itu memang bernar-benar terjadi. Di sini, di tempat ini, pada sebuah tiang berwarna putih.

Aku pun tidak akan memperdulikannya, tentang seseorang yang berkata “kau seperti orang gila saja. Berdiri tanpa sesuatu yang pasti.” Dan yang lebih parahnya lagi, seseorang malah melemparkan secuil kulit melon yang baru saja dikunyahnya dengan gigi yang belum sempat dibersihkan di pagi ini. Sungguh menyebalkan sekali. Tetapi, aku telah mengatakan dengan keyakinanku. "Ada yang lain di sudut itu, entah itu kamu ataukah hanya dugaanku saja. Semoga benar!"

Setengah Lembar Gadis Senja



Ada beberapa sahabatku di dunia maya yang menanyakan perihal “Gadis Senja” itu. Pertama, “apakah tulisan itu berhubungan dengan kegagalanmu untuk mendapatkan gadis secara nyata?” Kedua, “tulisanmu itu mengingatkanku pada suasana pertemuanku dengannya. Apakah sesuatu gadis itu berhubungan langsung dengan diriku?” Dan yang ketiga, dari mana kau temukan ide tulisan kecil yang cantik seperti itu?”

Dari ketiga pertanyaan itu, ada satu pertanyaan yang membuatku sedikit tersenyum dengan rasa kelucuanku tersendiri. Seperti pertanyaan yang dilontarkan pada pertanyaan yang pertama. Sulit memang untuk menjawabnya, namun pertanyaan itu telah membuatku untuk lebih bersemangat dalam menulis dan berkarya baik itu puisi dan cermin. Ya, setidaknya aku memang sedang menuliskannya hingga saat ini. Tidak ada yang salah mengenai hal tersebut, sehingga mengenai pertanyaan itu adalah sebuah pertanyaan dan jawaban yang secara keseluruhannya telah membuat jawabannya sendiri. Lebih tepatnya di dalam pikiranku sendiri. Tentang cinta, menulis, dan wujud diriku sebagai seorang lelaki yang sangat sederhana.

Lelaki yang sering mempertanyakan tentang seorang gadis, dari pintu ke pintu hatinya. Walau gagal untuk membuka pintu secara senyum dan sekuntum bunga Mawar di tangan kananku, maka aku sebagai lelaki memang harus memperjuangkannya hingga hari ini. Seperti tulisan itu, “Gadis Senja” yang semakin menawarkan imajinasinya secara tersendiri. Dan jika aku membacanya, ada sedikit kegetiran yang membuatku berpikir dua kali untuk sebuah tulisannya. Tentang aku dan tentang sebuah kegagalannya.

Baik secara tegar, maupun secara kesedihannya. Kini, tulisan itu semakin melanglang buana ke sudut-sudut laci pemikiran si pembacanya. Dari sudut pandangnya sebagai wanita atau malahan sebagai wanita yang turut menyertainya sebagai korban rayuan si lelaki tersebut. Dan aku sebagai penulisnya, merasakan hal yang sama seperti yang sedang kalian baca. Tentang cinta itu sendiri. Bahwa, antara rasa cinta dan senja, adalah bukti memperjuangkan untuk rasa saling menjintai tersebut. Di selembar kertas yang sedang kalian baca, walau sampai hari ini aku belum membacanya dalam berbentuk sebuah buku.

* Catatan kecil untuk diriku sendiri

Ornamen Luka

Kerap kita disuguhkan kendala memancing ikan di danau yang tak berisik airnya. Kemungkinan kita akan mengatakan, "mau ngapain di situ untuk jangka waktu yang lama." Sekurang-kurangnya tiga atau empat jam untuk mendapatkan hasil yang memuaskan. Ini masih anggapanku sebagai seorang lelaki yang sabar menunggu ikan itu untuk dibawa pulang. Sebut saja, ia adalah sebuah harapan kecil, sesuatu yang ingin dinikmati di antara jamuan makan malam.

Sebatang lilin telah dinyalakan dan sebuah harapan kecil itu hanyalah hisapan jempol dengan tulang dan kepala ikan yang masih tersisa di atas piring. Kau tentu beranggapan, kalau aku hanya menghasilkan seekor ikan besar. Sebab, aku menikmatinya seorang diri di malam ini.

Sebuah harapan telah pergi di malam ini, semoga tidak untuk di malam yang lainnya.

Keinginan itu semakin menjadi-jadi, ketika pada siang hari. Aku memasuki ruang penyimpanan berbagai macam barang yang sudah lama tidak kugunakan. Ada beberapa pekakas tentang alat-alat pancing, kursi lipat, tempat pemanggang ikan, jeringen minyak dan senter ukuran besar. Semuanya masih bisa kugunakan, sebab keselurahannya memang aku bungkus memakai kertas koran dan dilapisi dengan plastik. Sehingga aku benar-benar bisa menggunakannya lagi.

Kali ini, jam telah menunjukkan ke angka enam. Keadaan yang memang sangat disukai oleh orang-orang untuk berpergian keluar rumah, lagipula cuacanya sangat bagus. Ini adalah cuaca kegemaran Te Cang, sahabat karibku. Apa kabar dia, semoga dia juga telah menyiapkan berbagai keperluan untuk memancing di malam ini.

***

Suasana di malam ini telah dipenuhi lampu di berbagai sudut yang telah ditentukan untuk memancing. Tapi, aku belum melihat Te Cang dan kendaraan bututnya di tempat parkir. Di mana dia, ini sungguh di luar dugaanku. Ketepatan janjiku padanya telah kukabarkan tadi sore, kalau aku harus singgah ke toko alat pancing dan membeli bekal beberapa cemilan dan tentunya dua bungkus rokok kesukaannya.

Bersambung…

Tanggapan Mereka Mengenai Puisiku



Pengirim Ayu Ira Kurnia Marpaung

Jumat, 27 Maret 2009

Uang Rakyat

Tersenyumlah dengan kemewahan

Bangga akan kemenangan

Harta kekayaan demi kekuasaan

Uang rakyat dan penindasan

Kami tertindas

Merasakan terhempas

Oleh penguasa yang beringas

Pejabat duduk hingga puas

Semuanya serba pas

Hingga rakyat tewas

Lalai akan tugas

2009

Dimuat Gemasastrin PBSID pada Februari 8, 2009

Komentar untuk puisi di atas cukup singkat, padat , dan jelas maknanya. Tidak beda dengan apa yang sekarang telah terjadi pada Negeri saat ini. Pemerintah, pejabat tinggi, atau penguasa sekalipun “lalai akan tugas”. Terlalu menikmati kekuasaan yang diperoleh karena rakyatnya sendiri.

Kami tertindas

Merasakan terhempas

Oleh penguasa yang beringas

Pejabat duduk hingga puas

Semuanya serba pas

Hingga rakyat tewas

Lalai akan tugas

Bait demi bait yang di atas seharusnya mampu membuat mereka sadar. Mereka itu beringas, buas, seperti ingin menerkam mangsa. Bukankah mereka dipilih untuk mensejahterakan rakyat, bukan sebaliknya. Semoga setiap goresan anak Negeri lambat laun akan membuat pemimpin, penguasa, pejabat, dan pemerintah sadar akan apa yang mereka buat.

Buat penulisnya sukses terus ya, semua puisinya keren. Tapi ini yang paling saya suka karena menggambarkan situasi Negeri saat ini. Happy birthday, semoga setiap jejak tintanya bermanfaat buat orang lain ^_^

Nama : Ayu Ira Kurnia Marpaung

No. Hp : 0821-6495-****

__________________________

Pengirim Keep Smile Azizah

bg , maaf jika lancang...

demi keinginan mengikuti event yang abang buat ... berhubung email saya sedang bermasalah...sya putuskan untuk mengirimnya lewat inbox saja

maaf tidak mengikuti aturan , terima kasih atas pengertiannya . salam pena

Selembar kertas putih

Oleh : Deddy Firtana Iman

Kursi pun memanggil potongan rambut

Tertahan di bawah dagu.

"Ada tahi lalatmu!"

Di sela-sela obrolanmu.

"Wajah tertata bersama kelas penghuni 37."

Hingga kini, penyair mundur melafalkan

nada oktaf yang tinggi, mempertemukan kita.

Pada dinding dunia maya.

Ketikan sapaan "apa kabar!"

Dan aku tersenyum melirikmu

di dalam ruangan tersembunyi

oleh sketsa gunung dan persawahan

sama-sama mempertanyakan nilai seninya.

Sesulit menentukan pekerjaan rumah

2+2=4 telah menjadi ornamen selepas

matahari terbit di atap segi empat

Sambil menikmati es lilin mencair

oleh waktu yang disisakan

di jam 12.

Bel sekolah telah berbunyi

Ada kesukaanku di situ.

Sketsaku mulai menentukan

Warna; perjalanan tentang pertemuan ini.

Aku berdiri dua warna; di dekat sawah.

Dan kau duduk di bawah pohon cemara.

"Kapan kau lukiskan wajahku!"

Atau "Mewarnai pintu kelas menutup mimpi ini."

Setiap waktu dikunyah oleh selembar kertas.

Tanpa berhenti hingga sekarang.

Sehingga aku sulit mengenal warnamu;

"Senyum itu ada di mana?"

2012

* Foto dari Yusra Amalia. Teman semasa SD.

"Titik Temu di Antara Dua Titik"

Komentar : diksi yang di gunakan begitu bagus , dan imajinasi penulis sangat tergambar pada kata-kata sederhana menjadi kaya. Seperti pada kata : Pada dinding dunia maya.

Ini di maksudkan untuk facebook atau jejaring social lainnya.

2+2=4 telah menjadi ornamen selepas

matahari terbit di atap segi empat

banyak bait yang menerka-nerka pembacanya , lucu dan menarik sekali

alasan memilih puisi ini : gaya bahasa yang jarang di temui dan kosa kata baru bagi saya . puisinya mengalir dengan sempurna

pada- selembar kertas putih penulis menuangkan segala imajinya , melukis wajah seseorang yang ada dalam benaknya .

azizah nur fitriana

Hp : 085763970***

_______________________

Komentar dariku secara pribadi:

Sebenarnya aku merasa bingung atau aku sendiri yang salah menuliskannya pada poin 3. Silahkan dicari judul dan puisi yang kamu sukai, terutama yang dimuat di Koran saja.

Namun, yang mengirimkannya hanya dua orang. Seperti Ayu Ira Kurnia Marpaung, menyukai puisi yang berjudul "Uang Rakyat". Puisi itu sebenarnya hanya dimuat di situs internet dan bukan di koran. Dan Keep Smile Azizah, juga menyukai puisi yang ada di catatan facebook.

Mengenai masalah kesalahan itu. Jadi tidak ada salahnya jika pulsa itu aku berikan saja untuk kalian berdua. Walau ketentuannya tidak diakui kebenarannya, namun karena aku menilai dari hasil semangat kalian untuk bisa ikut dan daya semangat untuk bisa menghargai karya orang lain dengan segenap jiwa kalian. Hanya itulah yang aku sukai dari diri kalian secara pribadi.

Aku secara pribadi juga mengucapkan banyak terima kasih untuk kalian, untuk waktu, apresiasi puisi dan ucapannya juga yang selama ini hanya kukenal di dunia maya saja. Semoga tetap sehat selalau di sana ya.

Salam dan tetap semangat berkarya!

*Silahkan dibaca di pesan FB, kepada dua nama yang disebutkan... Terima kasih.. :)

Foto darinya Surya D. Syarief... :)


Wednesday 4 July 2012

Negeri-ku, Pemimpin Dusta dan Pedasi di Atas Kursi



"Hanya ada satu kata: lawan!” Begitulah sebaris kata-kata yang terdapat pada judul “Peringatan”, karya Whiji Thukul. Masih menghiasi di antara pemikiran kita hingga hari ini. Meskipun perlawanannya telah berakhir ketika “Wiji Thukul diculik dan dilenyapkan oleh kaki tangan rezim Orde Baru karena puisi-puisinya serta aktivitasnya di dunia politik praktis, namun semangat perjuangan yang tercermin dalam sajak-sajaknya akan terus hidup.” (Sambodja, 2008). Walau diculik dan dilenyapkan, namun karya-karyanya tetap diikuti dan diapresiasikan hingga hari ini. Baik secara perorangan maupun secara nasional dengan konsep dan ideologi kekiniannya.

Antara Wiji Thukul dan W.S. Rendra, sama-sama mengusung tema yang sama walau ada beberapa puisi-puisi cinta yang dituliskan oleh W.S Rendra. Namun tetap bertemakan sosial yang cukup dikenang oleh pembacannya hingga hari ini.

Sehingga tidak mengherankan jika W.S Rendra, masih dihidupkan dengan “Sajak Sebatang Lisong”-nya. Baik yang dikatakan pada tiga baris di bait pertama, /dan di langit/ dua tiga cukong mengangkang,/ berak di atas kepala mereka//. Tentang perlawanan dan ungkapan rasa ketidakadilan dari para cukong yang meraut keuntungan. Dan /membentur jidat penyair-penyair salon,/ yang bersajak tentang anggur dan rembulan,// yang hanya bermain dengan puisi-puisi cinta. Tidak memperdulikan tentang apa yang sedang terjadi di sekitarnya. Baik secara ril maupun non ril.

Jika bercerita tentang keadilan dari puisi kekinian, maka Ramatsyah pun juga patut dikatakan sebagai penyair yang mengusung jalur yang sama-sama digariskan oleh Wiji Thukul dan W.S Rendra. Meski karya-karyanya hanya mampu dilahap di selembar koran lokal yang ada di Banda Aceh. Tepatnya di koran Serambi Indonesia dan Harian Aceh, seperti pada puisi di bawah ini:


Pedasi di Atas Kursi

Lepas suara siap berlaku
Para tuan pedasi yang bercinta
Bersilat lidah di atas pentas
Berkata janji si mulut setan

Senang alami di awal hari
Telah terpilih si tuan raja
Kami berdiri berharap itu janji
Menatap sang tuan yang berdasi

Di atas meja dan kursi putar
Selembar kertas terhitung rupiah
Hitungan jutaan sampai tak terhingga
Lengah mata Tuan Raja
Silaunya uang ia berdalih

Janji diingkari uang dicuri
Kami si miskin terlena akan janji
Terbuai kata jelmaan iblis

Kini, kami hanya menanti
Sang tuan raja seperti dalam mimpi

Rahmatsyah, 28 Maret 2012


Pada bait puisi yang ketiga, Rahmatsyah mengatakannya seperti ini. /Di atas meja dan kursi putar/ Selembar kertas terhitung rupiah/ Hitungan jutaan sampai tak terhingga/ Lengah mata tuan raja/ Silaunya uang ia berdalih//. Tidak dipungkiri jika di bait itu Tuan Raja ialah sebagai para penguasa di negeri ini. Menggunakan kekuasaan dan jabatannya hanya untuk menikmati kekayaan dari hasil yang bukan haknya. Hal tersebut terbukti pada bait keempat, menjelaskan perihal tentang /Janji diingkari uang dicuri/ Kami si miskin terlena akan janji/ Terbuai kata jelmaan iblis//. Tentu saja, hal tersebut membuat berang sang penyair yang juga mengatakan di bait kelimanya. /Kini, kami hanya menanti/ Sang Tuan Raja seperti dalam mimpi//. Yang juga merindukan sang penguasanya, walau hanya diungkapkan di “dalam mimpi”.

Meskipun puisi yang berjudul “Pedasi di Atas Kursi” masih bermain dengan penyampaian berpola rima ab-ab, pada bait kedua puisi tersebut. Namun puisinya mampu mempertegaskan pemikirannya kepada kita sebagai pembaca. Untuk merenungi tentang hak dan kewajiban sebagai pemimpin yang baik. Baik untuk diri sendiri maupun untuk orang lain.

Pada puisi di bawah ini pun menceritakan hal yang sama. Tetapi lebih difokuskan secara nasional, kepada pemimpin di negeri ini yang juga dijelaskan pada pengamatannya secara mendalam. Berikut sajian puisinya, perihal mengenai pemimpin dusta tersebut.


Negeri dan Pemimpin Dusta

Untuk apa hidup di negeri ini
Bila kalian hanya membuat kami menangis
Untuk apa kami memilih pemimpin
Bila sang pemimpim tak memimpin
Kami bagai makanan yang hanya kau lahap waktu lapar

Kenyangkah kalian sekarang dengan uang kami
Kau makan harta kami
Kau renggut sejahtera

Rakyat jelata hanya berbaring di atas kasur tua
Sedang kau mimpi indah dipembaringan mewah
Rakyat jelata kini duduk tak bisa bersuara
Jiwa mereka meronta tanpa bertindak

Mahasiswa berdiri di hadapan kalian
Mewakili mereka yang sedang istirahat, lalu mencari nafkah
Sesuap nasi hasil keringat
Kini beban mereka bertambah karena kalian
BBM kau naikkan,

Ah, pembohonglah kalian
Berjanji pada kami
Namun, kau hancurkan kemudian

Negeri dan pemimpin dusta

Rahmatsyah, 24 Maret 2012


Setelah membaca dan memahami perihal puisi yang berjudul “Negeri dan Pemimpin Dusta” tersebut. Ada serangkaian kejadian yang selalu berkaitan, sambung-menyambung menjadi suatu kejadian di setiap bait puisinya. Seperti pada bait pertama, yang begitu tegas dikatakannya /Bila sang pemimpim tak memimpin/ Kami bagai makanan yang hanya kau lahap waktu lapar//. Pada bait kedua, ditegaskan pula dengan dua baris yang juga menyatakan kelangsungan semasa penguasa memimpin negeri ini. /Kau makan harta kami/ Kau renggut sejahtera//. Dan pada bait terakhir inilah sang penyair berkata dengan lantang. /Ah, pembohonglah kalian/ Berjanji pada kami/ Namun, kau hancurkan kemudian//. Perihal tentang janji palsunya, tentang menaikkan harga BBM dan berbohong di balik kepemimpinannya. Adalah sebagai ungkapan dari “Negeri dan Pemimpin Dusta” tersebut, yang telah dinyatakan dengan ketegasannya sebagai penyair di negeri ini.

Dari kedua judul puisi tersebut, setelah membacanya dan memahami tentang apa yang ingin disampaikan oleh penyair Rahmatsyah tersebut. Adalah serangkaian pada masa-masa yang juga terjadi di akhir-akhir ini, tepatnya di “Negeri dan Pemimpin Dusta” ini. Ia menulis puisi yang bisa dimengerti oleh kalayak ramai tentang kenyataan hidup orang-orang yang melarat, dihimpit kemiskinan. Dan, pada akhirnya bahwa di tangan penyair, fakta sosial bisa menjadi kekuatan yang sangat luar biasa. Ia mengungkap fakta ketimpangan sosial dengan kepekaan kepenyairannya. Namun, kata-kata sang penyair seperti Rahmatsyah memiliki perjalanan yang panjang. Entah kapan, semoga sang penyair mampu menghasilkan karya-karyanya, hingga akhir hayatnya.

Sumber:

Negeri dan Pemimpin Dusta (Harian Aceh, 08 April 2012)

Pedasi di Atas Kursi (Harian Aceh, 08 April 2012)

Foto: Abu Rahmat

Tulisan ini ada di catatan Facebookku.


"Titik Temu di Antara Dua Titik"

Jalan Lurus ke Sungai Hati


Sungai Hati

Karya Ambia Mursalin Iskandar II


Pikiran yang terus mengalir

Mengikuti waktu yang bergulir

Dalam sungai hati yang beriak

Dengan tenang tak pernah berteriak

Penyesalan gugur, jatuh dan melayang terbawa arus

Memberikan kesegaran terus menerus

Mengarahkan kesadaran ke jalan yang lurus


Pada catatanku yang berawal dari “Lurus yang Meluruskan”, sudah aku jelaskan tentang perjalan di antara tulisan puisi-puisi yang sebanding lurus. Dan kali ini, aku juga harus meluruskan “Sungai Hati” yang juga ingin mengalirkan airnya kepada hati yang tak ingin diasingkan ke lereng bukit yang bercabang dua, tiga atau empat.

Seperti pikiran-pikiran setiap manusia, ada air yang mengucur deras ketika kita sedang bermain dengan air. Tepatnya air itu kita hadirkan di atas kepala kita dengan gayung untuk membasuh dari segala kotoran, mungkin tepatnya aku mengatakan membasuh tubuh. Cukup membasuhnya saja dan jika ingin memakai bahan pembersih seperti sabun atau apalah yang kau inginkan, itu adalah bentuk dari tambahan-tambahan kecil menemadimu membersihkan diri. Agar sungai kehidupanmu mengalir ke dalam pipa-pipa pembuangan air.

Namun, semuanya kembali kepada aku dan kau sebagai sungainya. Serangkaian hati yang mengalir, tidak hanya disibukkan dengan diksi-diksi spontanitas yang gelap, lebih tepatnya lagi sungai itu nyata di puisi yang juga sedang aku suguhkan kepada tulisanku ini. Mari kita membacanya dengan aliran-aliran airnya, sehingga kita tahu “Sungai Hati” itu dikususkan untuk diri seseorang lawan penulis atau untuk kita sebagai pembacanya. Silahkan saja berandai—andai antara kau sebagai pembacanya dan juga aku sebagai penulisnya. Silahkan saja.

Rangkaian kata di atas yang mewakili “perenungan sejenak, pengasingan diri penulis dari dunia yang sesak menuju dunia tanya yang tanpa batas. Sebuah retorika, cermin diri, menatap jejak-jejak yang telah terpijak. Mengubah sesal menjadi hal yang positif. Meminta jawaban pada alam. Dan entah dengan angin yang terasa atau cahaya yang terlihat. Seketika berbisiklah alam tanpa suara, menuju hati.” Yang sedari awalnya perbincanganku dengan penulisnya. Itu adalah ungkapan dari sebuh mata air dan keluar di permukaan tanah, kemudian mengabarkannya kepada seluruh jalan air itu hingga sampai kepada kita si pembacanya. Tidak ada keraguan yang tidak mengalir atau terhenti di aliran air yang tanpa tujuan.Semuanya punya tujuannya masing. Selalu melengkapi dan selalu juga menghidupi tubuh-tubuh yang membutuhkan air. Seperti pada bait puisi yang aku utarakan di bawah ini:


Pikiran yang terus mengalir

Mengikuti waktu yang bergulir

Dalam sungai hati yang beriak

Dengan tenang tak pernah berteriak


“Pikiran yang terus mengalir,” sama seperti yang sedang kita alami di dunia yang nyata dan bebas sebebas-bebasnya. Saling kait-mengkaitnkan, “Mengikuti waktu yang bergulir,” tanpa sebuah hentian di kaki langit atau terhenti tanpa jejak dalam porosnya megikuti kesadarannya menuju yang paling terendah yaitu ke hati. Dan “Dalam sungai hati yang beriak” pun pernah juga kita terkejut dengan begitu banyaknya manusia-manusia mencari sesuatu yang entah apa yang dicarikan atau dibicarakannya. Semuanya “Dengan tenang tak pernah berteriak” tanpa kehendak hati yang ingin memaksakan diri untuk menentukan tujuannya ke dalam air laut yang asin. Semuanya tetap bersama dalam satu zat air yang sama dan kalaupun ada itu juga berkat dukungannya dari lawan jenisnya yaitu seorang wanita. “Sungai Hati” yang paling terdalam, tentang suatu jalan yang harus dipilih oleh sesamanya untuk sebuah jalan yang terbaik. Jalan menuju hati, kedamaian dan sebuah jalan rasa saling mencintai.

Dan kejelasan pada puisi “Sungai Hati” itu juga terlihat sebuah kejujuran dalam sebuah ungkapan yang memang benar-benar bermain di dalam zat yang sama. Sebuah keceriaan itu memang tidak jauh dan juga tidak berlawanan zat, sama-sama bermain dalam wadah tempat mereka berhenti dan bertemu. Sungai yang membuat mereka bertemu yang hanya berlawanan jenis tersebut. Untuk itu, akan dijelaskan seperti pada bait puisi yang juga akan menjelaskannya mengenai gambaran bagaimana sungai itu menghubungkan sebuah pertemuannya. Sehingga menyatu dalam ruang dan waktu yang sama-sama bermain di antara air yang juga sama. Di bawah ini, akan terlihat jelas bagaimana gambaran pada bait puisi tersebut:


Penyesalan gugur, jatuh dan melayang terbawa arus

Memberikan kesegaran terus menerus

Mengarahkan kesadaran ke jalan yang lurus


“Penyesalan gugur, jatuh melayang terbawa arus.” Ya, sebuah penyesalan itu semestinya sudah ada pada terhentinya anak-anak air yang telah mengering di persimpangan jalannya. Tetapi pada baris ini, “Memberikan kesegaran terus menerus” yang juga telah menyegarkan tubuh kita dengan airnya. Kita pun telah terlihat segar dengan barbagai zat air yang memenuhi tubuh kita dan “Mengarahkan kesadaran ke jalan yang lurus.” Sebuah jalan kembali pulang ke tempat dimana semuanya harus bersatu kembali. Ke dalam sungai hati yang juga telah menunggu kedatangannya untuk mengairi rasa cintanya setelah bersatu. Ialah jalan yang memang benar-benar lurus.

Hingga pada akhirnya yang pernah aku singgung sebelumnya, bahwa puisi ini juga berlaku untukku dan untuk kau sebagai pembaca. Disebabkan puisi hanyalah gambaran umum yang luas secara “kesadaran ke jalan yang lurus.” Tentunya puisi yang sangat lembut, mengajarkan kita kesederhanaan tentang sudut pandangnya terhadap zat air, saling mengikuti jalannya tidak ingin berhenti baik sedetik maupun berhari-hari. Benar-benar sebuah puisi yang lurus.

* Catatan kecil tentang puisi yang juga berjalan lurus.

Sumber Foto: Ambia Mursalin Iskandar II

Catatan di Facebookku.

"Titik Temu di Antara Dua Titik"

Tuesday 3 July 2012

Membaca 'Simbol' "Setelah Sekian Waktu Yang Kita Lalui"


Setelah Sekian Waktu Yang Kita Lalui
Karya Grasia Renata Lingga

Embun selalu saja menemani kita
dalam merajut cinta yang sengaja kita lukiskan.
Dalam kemenangan jiwa, dalam kelemahan hati,
kehadiranmu sebagai ketenangan.
Menemani luka dan bahagiaku dalam satu ikatan yang kita
bentuk bersama.
Kita ada disini, setalah sekian waktu yang kita lalui
Kehadiranmu sebagai kekuatan yang tiap hari tumbuh
Tanpa takut harus meredam dan mati
Ketika kita ingat lagi,
Betapa kau dan masa lalu kita adalah takdir
Kau dan aku adalah gambaran surga secara nyata.
Indah.
Aku dalam kau,
dan kita menjadi Satu setelah alur kita terlukiskan.
Aku nikmati kau Sebagai karya Tuhan.


Pertama kali membaca puisi ini, saya begitu bersemangat sekali. Disebabkan karena puisi ini mampu menjuarai perlombaan puisi yang juga merujuk kepada puisi pernikahan dan alhasilnya puisi ini juga mampu meraih juara kedua. Ya, saya rasa tidak berlebihanlah jika saya ikut menyukai puisi ini dan mau mengapresiasikannya dengan segala keinginan secara sederhana.

Setelah saya membaca puisi hasil karya Grasia, saya bisa menangkap apa yang diutarakan Grasia Renata Lingga melalui puisinya. Namun, saya memberanikan diri untuk menyimpulkan dan mengira-ngira makna yang terkandung di dalam puisi “Setelah Sekian Waktu Yang Kita Lalui”. Melalui puisi ini, “Setelah Sekian Waktu Yang Kita Lalui” menyampaikan adanya rasa cinta yang teramat dalam dari hasil karya Tuhan yang begitu sempurna. “Aku” disini bisa dikatakan sebagai seorang yang begitu mencintainya yang hadir dan tercipta semata-mata hanya untukku “sebagai karya Tuhan.” Yang dimaksud Grasia “sebagai karya Tuhan” disini, adalah hasil penciptaan manusia yang hanya dinikmati secara keseluruhannya ialah sebagai “aku”.

Dari apa yang saya baca dan saya pahami mengenai puisi Grasia Renata Lingga, ada beberapa simbol dan lambang yang begitu asyik sehingga ia mampu menuliskan puisi seperti yang saya baca ini. Terlepas dari itu, apa yang dikatakan Barthes (dalam Scholes, 1976:155) menyatakan bahwa “simbolik merupakan lapangan dari tema yang dalam kritik Anglo – Amerika biasanya diartikan sebagai ide atau ide-ide di sekitar karya yang dibangun“ (Halliday dkk, 1992:13).

Jadi, betapa jelaslah simbol adalah alat yang paling efektif untuk membangkitkan pikiran dan perasaan. Simbol dapat berupa benda konkret, orang, tempat, tingkah laku yang dimaksudkan bagi suatu sifat atau konsepsi atau peristiwa yang terjadi atau ada dalam kehidupan faktual manusiawi (Sweetkind, 144-145 dalam Halliday dkk, 1992:30). Sedangkan menurut Kamus Istilah Sastra, simbol/lambang adalah gambaran konvensional yang diterima dan dipahami secara luas (Zaidah dkk, 1991:73).

Berdasarkan dari apa yang telah dikatakan di atas, dapat disimpulkan bahwa makna simbol adalah sebuah kata-kata yang diterima dan dipahami secara luas, dan berwujud kata-kata benda untuk mewakili teks di luar dirinya serta hal yang ditunjuk tidak bersifat membandingkan.

Saya semakin menyakini bahwa memang Grasia Renata Lingga adalah seorang penyair yang selalu berkutat dari hasil penciptaan yang begitu murni dari Tuhan, apapun yang ia rasakan seakan dapat mewakili setiap pemikirannya sebagai “karya Tuhan”.

Ada beberapa simbol puisi yang saya temukan di sajian puisi yang berjudul “Setelah Sekian Waktu Yang Kita lalui” dari hasil karya Grasia Renata Lingga ini. Dan dari hasil bacaan saya tersebut, maka dapat dijelaskan sebagai berikut: (1) Natural Symbol, yakni jika simbol itu menggunakan realitas alam, misalnya pada baris pertama “embun selalu saja menemani kita”. Dan (2) Blank Symbol, yakni jika simbol itu, meskipun acuan maknanya bersifat konotatif, pembaca tidak perlu menafsirkannya karena acuan maknanya bersifat umum, misalnya “merajut cinta” yang terdapat pada baris kedua, “kemenangan jiwa” dan “kelemahan hati” yang terdapat pada baris ketiga, “meredam dan mati” yang terdapat pada baris kesembilan dan “Aku nikmati kau Sebagai karya Tuhan” yang terdapat dalam baris keenam belas. Maka terlihat jelaslah dibagian simbol-simbol yang terdapat di sajian sajak karya Grasia yang telah saya baca dan saya utarakan dari hasil karya Grasia tersebut.

Sehingga dari apa yang saya baca sebuah kejelasan itu pun tak dapat disangkal kebenarannya, bahwa “waktu yang kita lalui” adalah waktu yang telah bersama-sama kita tempuh hanyalah untuk saling mencintai di antara kita. Hanya kita berdualah yang mampu merasakannya. ingin mempertanyakan apakah benar perasaan seseorang dapat dilihat dari “gambaran surga secara nyata” yang juga bagian dari Blank Simbol yang secara nyata.

Pada akhirnya, dapat ditarik kesimpulan mengenai hasil karya Grasia Renata Lingga yang berjudul “Setelah Sekian Waktu Yang Kita Lalui”, pemahaman saya pun semakin bertambah mengenai rangkaian dan suguhan hasil penciptaan simbol oleh penulis puisi menjadi lebih berkesan lembut dan penuh cinta di dalam teks puisi yang dihasilkannya. Sehingga mempunyai kedalamn makna, dan memikat hati pembaca. Namun penggunaan kata dalam puisi tidak harus memilih kata-kata yang indah-indah saja pada umumnya, namun apapun yang telah dilihat, didengar, dan dirasakan oleh si penulisnya. Justru menjadi sumber inspirasi terciptanya sebuah puisi yang sedang saya baca di waktu ini. Sungguh, puisi yang mempunyai symbol yang sederhana namun penuh maknanya tersendiri.

Daftar Pustaka
http://topik-mulyana.blogspot.com/2010/01/seputar-tips-menulis-puisi.html
http://sobatbaru.blogspot.com/2010/03/pengertian-puisi.html

*Foto dari yang punya puisi, Grasia Renata Lingga. ;)

"Titik Temu di Antara Dua Titik"

Siar ulang dari catatan yang ada di Facebookku pada 29 Mei 2012 pukul 23:07.