Beranda Judul

Tuesday 17 April 2012

SAAT PUISI MENJADI SAKSI DAN MEMBERI SOLUSI

oleh Muhammad Rois Rinaldi pada 17 April 2012 pukul 19:27

Apresiasi Puisi Karya : Deddy Firtana Ali_Banda Aceh.



Tak dapat ditampik bahwasanya dalam menulis puisi setiap penyair kerap terinspirasi oleh apa yang dilihat dan dirasakan, yang dalam teorinya disebut dengan unsur ekstrinsik. Bailah cukup sampai di sana karena saya tak cukup tertarik membahas unsur-unsur puisi tersebut akan tetapi baiknya mari kita menelaah bagaimana proses kelahiran sebuah puisi hingga memuisi dan menjadi saksi. Walau dalam benak saya selalu membayangkan adanya pergeseran pencapaian puisi yang lain selain yang ada pada hari ini sebagai tanda munculnya puisi yang benar-benar sebagai icon perpuisian masa kini.entah jika tidak hari ini esok atau nanti.

Sikap seorang penyair dalam menanggapi keadaan dapat dilihat dari karyanya masing-masing. Ada yang berdiri sebagai pembela yang mati-matian menjunjung tinggi kelompok atau orang yang dibela. Ada yang berdiri sebagai penentang yang tak segan-segan mengultimatum bahkan menghakimi orang atau kelompok yang ditentangnya dan ada yang memposisikan diri di antara keduanya.Ini adalah pilihan namun sebagai penyair yang baik semestinya tidak hanya bicara soal pembelaan atau bicara soal penentangan apa lagi bersikap plin-plan yang enggan menyentuh utuh aspek masalah yang ditulisnya. Melainkan memposisikan diri sebagai media mengayaan, media penyaringan yang sanggup mentransformasikan ide sebagai jalan keluar dari kebuntuan yang dihadapi kebanyakan orang.

Salah satu puisi Chiril Anwar contohnya dalam puisi “AKU” terdapat sebuah larik yang mungkin menurut sebagaian orang itu adalah sikap tak acuh Chairil terhadap keadaan, namun saya mentafsirkan lain. Dalam larik “Dan aku tak mau peduli, aku ingin hidup 100 tahun lagi” dalam larik pamungkas ini Chairil memberikan jawaban atas radang kejiwanan yang senantiasa diserang saban waktu. Ia tak peduli pada keadaan yang ada bukan berarti dia menjadi orang yang frustasi melainkan ia ingin menyatakan apa pun yang terjadi meski peluru menembus kulit, meski darah berkucuran meski apa pun yang terjadi dia takkan tumbang dan akan hidup seribu tahun lagi. Ini sebuah keoptimasan yang patut dijadikan cermin bagi penyair masa kini. Masalah pada akhirnya Chairil mati muda itu urusan lain, lantaran apa?

Lantaran penyair masa kin pun ternyata dihadapkan dalam keadaan yang tak jauh berbeda dengan keadaan yang dihadapi Chairil Anwar kala itu bahkan dewasa ini masalah yang ada jauh lebih kompleks dan jauh lebih mengerikan. Sehingga jangan heran jika bermunculan puisi-puisi beraorama kepasrahan, aroma keletihan atau bahkan aroma penyerahan habis-habisan pada keadaan yang ada, sebagaimana kita pahami bersama puisi akan menggambarkan keadaan jiwa penulisnya dan itu berarti penyair kita dihadapkan pada masalah kedirian yang tak cukup tangguh menghadapi keadaan. Kurangnya rasa percaya diri akan kemungkinan bawa hidup ini tidak melulu soal petaka.

Walau benar adanya bahwa hidup hari ini seperti dalam lingkaran api yang kapan saja dan siapa saja berkemungkinan terbakar dan hangus. Bagaimana tidak, dalam jajaran kepemimpinan bangsa sudah tidak dapat diandalkan kian hari kian sengkarut saja, dalam jajaran sosial masyarakat masing-masing kita mulai menumbuhsuburkan rasa curiga dan saling tidak percaya sehingga memunculkan manusia-manusia individualis yang enggan lagi banyak urusan dengan orang-orang yang tidak memberikan keuntungan dan lebih dari itu dunia pendidikan hari ini adalah dunia di mana kita bisa membeli nilai bagus dalam sebuah kedai sama seperti kita membeli makan dan minum. Tanpa berpikir bahwa setiap penerima ijazah adalah orang-orang yang sudah dicetak menjadi pecundang selanjutnya.

Seakan kita tak punya ruang untuk sekadar bertoleransi dan di sinilah mestinya penyair memposisikan diri sebagai penengah dari keadaan, memberikan solusi agar sama-sama dapat keluar dari kebuntuan. Salah satu puisi yang saya anggap telah berhasil memposisikan diri sebagai penengah keadaan adalah puisi Deddy Firtana Ali yang mampu menggambarkan keadaan tanpa harus memaki atau melucuti sesiapa, namun cukup menjadi saksi yang kemudian kesaksian ini akan sanggup menjadi bahan uji banding kedirian menuju kesadaran yang utuh. Berikut puisi tersebut :


Nyak Maneh

Mimpinya tak banyak
Untuk membahagiakan orang-orang
yang terkasih dalam linangan air matanya

Pakaian usang
Memakai topi jerami
Sandal jepit
Keranjang sampah
dan mulai berjalan lurus ke depan
Sambil mewaspadai gerak-gerik angin
Menemani disetiap langkah kakinya

Napasmu
Melaju bayang-bayang semu
Mengukir pejanggal perut
Mengalir disetiap gerakan tangannya
Kakinya yang halus
Dan tubuhnya yang kurus

Tak pernah lelah mengais rezeki
Di dalam setumpuk sampah
Penuh dengan bau busuk
Dan berbagai penyakit
Tak mengusiknya untuk berhenti

Hidup ini bagaikan anak tiri
Dalam tangisan tak berujung

Tak ingin seperti itu
Maka dia memahaminya
Matanya gesit
Tanganya cekatan
Ada kaleng, botol plastik
Dan semuanya bisa dijual
Dikumpulkan dalam keranjang sampahnya
Untuk sesuap nasi di hari ini

Selayang pandang butiran keringatnya
Telah mengalir membasahi tubuhnya
Istirahatnya hanya diam sejenak
Menegak segelas air dan melanjutkannya
Mengejar waktu yang tak pernah berhenti

Hidup ini mengalir
Seperti air yang deras
Menyapu setiap manusia yang lemah

Untuk menghasilkan sesuap nasi
Surga bagimu wahai Nyak Maneh
Bersama senja menjemputnya pulang
Kepangkuan suami dan anak-anakmu


2010

Inilah wajah yang ditampilkan Deddy “Nyak Maneh” yang berarti “Nenek yang Cantik” pola pengungkapan keadaan yang diusung sangat cantik karena selain sanggup menggambarkan kehidupan yang amat sulit di mana dalam zaman modern ini selalu saja ada ruang tempat orang-orang terpinggir dan terlupakan, Deddy pun sanggup memberikan seolusi tersirat dalam puisi tersebut. Bahwa hidup tidak untuk meratap dan berharap akan tetapi hidup adalah memulai harapan dengan berbuat apa yang dimampu dan pada apa yang dipunya serta merasakan sekejam apa pun hidup masih ada orang-orang terkasih yang mendampingi. Good Job! Mari menikmati puisi lezat ini.


Mimpinya tak banyak
Untuk membahagiakan orang-orang
yang terkasih dalam linangan air matanya
Pakaian usang
Memakai topi jerami
Sandal jepit
Keranjang sampah
dan mulai berjalan lurus ke depan
Sambil mewaspadai gerak-gerik angin
Menemani disetiap langkah kakinya

Di antara kita mungkin ada yang terlampau banyak bermimpi.sehingga lupa akan kesanggupan langkah kaki. Pernah saya berhadapan dengan seorang kawan yang begitu intens berbicara soal keadaan orang baduy yang menurutnya sangat memprihatinkan dimulai dari gaya hidup yang masih tertinggal sampai hal-hal yang prinsipil yakni orang baduy enggan mengejar ketertinggalan, enggan bermimpi untuk punya gedung bertingkat, punya mobil mewah dan kehidupan yang layak. Lantas saya bertanya “Apa gerangan definisi hidup layak itu?” dengan tegas kawanku menjawab bahwa hidup layak adalah sanggup mengikuti perkembangan zaman, menjadi orang yang sanggup mengalahkan tantangan dan jadi pemenang.

Sedangkan saya tahu benar kerap kawanku itu mengeluh bahwa hidup teramat sulit dan melilit sedangkan beberapa kali saya pergi ke baduy dan menanyakan akan keadan dan keinginan mereka untuk kehidupan ini, ternyata tak sedikit pun keluh saya dengar walau harus naik turun gunung senyata-nyatanya mereka merasa nyaman dengan apa yang dilakukan dalam keseharian, lantas sebenarnya yang patut dikasihani siapa? Tentu kawanku dan mungkin aku yang patut dikasihani lantaran setiap hari dikejar-kejar keinginan yang sebenarnya membuat jiwa terguncang dan hidup menjadi tak tenang. Begitu pun Nyak Maneh dalam puisi ini, tak banyak mimpinya hanya untuk membahagiakan orang-orang yang terkasih. Walau kata “dalam linangan airmata” sedikit mengganggu, namun saya mencoba mentafsirkan bahwa dalam linangan airmata tersebut menyatakan bahwa dalam perih pedih hidup Nyak Maneh ingin menghadiahkan setangkup kebahagiaan. Dalam keadan seadanya dan mencari nafkah dari apa yang ada terus membaca gelagat alam. Bahwa hidup ini memang butuh kecerdikan melihat ruang untuk menyambung napas.

Napasmu
Melaju bayang-bayang semu
Mengukir pejanggal perut
Mengalir disetiap gerakan tangannya
Kakinya yang halus
Dan tubuhnya yang kurus
Tak pernah lelah mengais rezeki
Di dalam setumpuk sampah
Penuh dengan bau busuk
Dan berbagai penyakit
Tak mengusiknya untuk berhenti

Di sini Deddy memberikan gambaran tentang wujud Nyak Maneh “Nenek yang cantik” itu. Selain menggambarkan wujud dapat pula ditangkap gambaran tentang sebuah keadaan yang boleh dikata miris atau mengagumkan, yakni Nyak Maneh bagaimana pun cantiknya ia adalah wanita tua yang mulai digerogoti penyakit dan itu tidak sedikit pun membuat semangat Nyak Maneh surut untuk mengais rizki Tuhan yang bertebaran di muka bumi.

Diksi yang disematkan mengisyaratkan bahwa Nyak Maneh berada di antara deru kemajuan yang menawarkan kehidupan yang makmur namun pada nyatanya ia tetap berurusan dengan sampah dan dari sampahlah ia mengenal kehidupan, bukan gedung-gedung bertingkat.


Hidup ini bagaikan anak tiri
Dalam tangisan tak berujung

Pada bait yang berisi dua larik ini Deddy mengabarkan bahwa hidup ini memang seperti anak tiri yang didera siksa dan airmata tak jua memberikan batas masa akan akhir derita.

Bahwa boleh jadi benar adanya bagi orang-orang yang tersingkirkan dari kemajuan bahwa hidup tersingkir dan terpinggirkan serupa saja dengan anak tiri yang dijadikan bulan-bulanan sang ibunda “TIRI!”

Tak ingin seperti itu
Maka dia memahaminya
Matanya gesit
Tanganya cekatan
Ada kaleng, botol plastik
Dan semuanya bisa dijual
Dikumpulkan dalam keranjang sampahnya
Untuk sesuap nasi di hari ini

Selanjutnya kembali Deddy memberikan solusi bahwa tak ada manfaatnya menangisi keadaan, melalui Nyak Maneh ia mengisahkan betapa wanita renta yang masih cantik itu enggan lagi merayu parau, enggan lagi meratap derap, Nyak Maneh amat memahami keadaan dengan bijak. Kegesitannya dalam melihat sampah-sampah dan mengumpulkannya dalam keranjang adalah sebuah kesadaran yang diperlukan hari ini adalah sesuap nasi bukan tangisan!

Selayang pandang butiran keringatnya
Telah mengalir membasahi tubuhnya
Istirahatnya hanya diam sejenak
Menegak segelas air dan melanjutkannya
Mengejar waktu yang tak pernah berhenti

Pada bait di atas ada ruang rehat pembaca, dan ruang rehat bagi Nyak Maneh di saat lelah mulai menggelayuti selalu saja ada saat berhenti untuk kembali berjalan menapaki bumi-Nya.

Hidup ini mengalir
Seperti air yang deras
Menyapu setiap manusia yang lemah

“Hidup ini mengalir” larik tersebut menerang jelaskan bahwa sebenarnya tidak ada yang menggemparkan atau mengesankan dalam hidup fana ini, sama seperti aliran air. Sangat biasa saja. Sayangnya masing-masing kita kerap bersikap berlebihan terhadap apa yang dihadapi, jika luka erangannya melebihi luka itu sendiri jika sedang bahagisa tertawanya tak henti-henti dan jika mendapatkan sebuah prestasi bangganya “Gak abis-abis!” hidup ini mengalir sajalah tak usah berlebihan! “Seperti air yang deras” larik ini sedikit berlawanan dengan larik awal namun ini boleh disebut loncatan imaji dan ini sah-sah saja. Toh masih ada korelasi antara larik awal kedua dan ketiga pada bait tersebut. Yang jika ditarik benang merahnya dapat diartikan bahwasanya hidup ini adalah aliran yang berjalan sebagaimana adanya, ada kalanya tenang, ada kalanya bergelombang bahkan ada kalanya berombak besar dan bisa menghanyutkan.


Untuk menghasilkan sesuap nasi
Surga bagimu wahai Nyak Maneh
Bersama senja menjemputnya pulang
Kepangkuan suami dan anak-anakmu

Akhirnya pada bait pamungkas Deddy menyatakan kekaguman serta doa tulus untuknya. Setelah hari merangkak senja seiring langkah kaki pulang Nyak Maneh Deddy meminta surga pada Tuhan untuk ketangguhan serta ketulusan Nyak Maneh. Sementara surga itu telah tersedia bersama keluarga tersayang.

Saya sangat mengapresiasi positif puisi Deddy ini karena telah sanggup memberikan gambaran sekaligus solusi dalam menghadapi masalah-masalah hidup yang ada. Good Job! Terus berkarya, kawan.


Sumber tulisan: Saat Puisi Menjadi Saksi dan Memberi Solusi

Friday 13 April 2012

Setangkai Mawar Merah



Alis mata itu menuai lirikan kemerahan
Kian berujung sentuhan kerudung berwarna merah
Tiada dua menutupi mengembang bibir keindahan
Berjejer teguran penyejuk sapaan di pagi buta
Kian meliuk ke sandaran hati terdalam
Setiap detak mengabarkan hal yang sama
Kau begitu cantik dan anggun

Tentang ukiran pemahat bunga mawar kayu
Seikat cerita bersama cermin kehidupan buku tua
Catatan harian di masa sulit ikut mengabarkan kerinduan
Merah, hijau dan kuning; cahaya keindahan wajahnmu
Telah menceritakan ribuan perjalanan selembar kehidupan
Mengibaskan selendang sutra berwarna merah marun

Kukabarkan pantulan cahaya keindahan
Bersebelahan deburan ombak di pantai
Mengisahkan tusukan duri dan getah asmara
Menyatu kegelisahan di selembar kertas
Bersandar meja kerja di akhir pertemuan kita
Tentang percakapan pesta kembang api
Sajian obrolan; awal pertemuan kita

2012


Foto profil: Yuni Fitri

Monday 2 April 2012

Kekuasaan

Karya Deddy Firtana Iman


Jabatan tuan melempar senyuman

Memperkosa kekuasaan peradilan

Menjadikan rupiah, janji kehidupan

Jari manis menyapu menindas buruh tani

Realita; “kepedihan di mata masyarakat.”


Jangan salahkan lembaran kertas

Suara toa berkecamuk di pasar pagi

Dari tukang setengah harga mati

Jika mampir ke hadapan mereka

Dimana letak dasimu;

“Mobil baru, sepatu mengkilat

jika mampir ke tempat mereka.”

Tak ada dan tak pernah ada


Kebahagiaan dan ilmu percakapanmu

Telah menyekat napas mereka dan aku

Harga minyak menjulang tinggi

Sungguh, kekuasaan membuatmu buta

Bermahkotakan emas, akrab dan nyaman


2011


Deddy Firtana Iman lahir di Banda Aceh. Puisi-puisinya termaktub di Antologi Puisi Tsunami Kopi dan Lelaki di Gerbang Kampus. Kini bergiat di Komunitas Kanot Bu.


* Minggu, 1 April 2012

Aceh Hijau

Karya Deddy Firtana Iman


Tanam satu

tumbuh seribu pohon

nyangkut bersama alat berat

entah; maksud dan tujuan apa

mereka merampas sumber kehidupan


Pancasila tumbuh berkehidupan

bersama kelestarian alam

sementara mereka mengoreskan butir-butirnya

menjadi peraturan serakah;

memenuhi kantong pribadi


Kehidupan di kota

mereka mencibir

"kota yang berdebu, panas dan gersang.

Kota hijau; Aceh Green. Pelestarian hutan

Namun macet, banjir bandang di kampungku

yang malang."


2011


Deddy Firtana Iman lahir di Banda Aceh. Puisi-puisinya termaktub di Antologi Puisi Tsunami Kopi dan Lelaki di Gerbang Kampus. Kini bergiat di Komunitas Kanot Bu.


* Minggu, 1 April 2012

Ayah


Karya Deddy Firtana Iman


Kepada Nona Suci Rahayu


Ingat dipersimpangan rumahmu

Ada kolam ikan, penuh bayangan

Kehidupan bersama kios kecil itu

Tersenyum bersama ibumu.


Dia bercerita banyak hal

Tentang kampung penuh bintang

Kebun memanem kelapa

Dan manisnya sawo di kebunku


Tetapi aku tak ingat tentang ayahmu

Karena kecilku di pelukan ibuku sendiri

Telah tersentak jejak langkah ayahmu

Di kebunku sendiri


2012


Deddy Firtana Iman lahir di Banda Aceh. Puisi-puisinya termaktub di Antologi Puisi Tsunami Kopi dan Lelaki di Gerbang Kampus. Kini bergiat di Komunitas Kanot Bu.


* Minggu, 1 April 2012


Foto profil: Nona Suci Rahayu

Tahun Gajah

Karya Deddy Firtana Iman

Tubuh Aminah mengambang di bumi

menenangkan kehidupan

sejuk pada lingkaran tubuh

isi alam menanti kedatangannya

di Tahun Gajah


Pemandangan telah berubah

kurma tumbuh dengan subur

butiran air memenuhi oase di kaki langit

retakan dinding penguasa berhala

dan air bah meluap ke lereng bukit


Senyuman kecil Muhammad

merangkak indah di tanah

bersujud menyerukan keagungan-Mu

dan orang-orang berkata:

"Kelak, anakmu akan mengubah

akhlak umat dan pengikutnya

hingga akhir zaman."


Februari, 2012



Deddy Firtana Iman lahir di Banda Aceh. Puisi-puisinya termaktub di Antologi Puisi Tsunami Kopi dan Lelaki di Gerbang Kampus. Kini bergiat di Komunitas Kanot Bu.


* Minggu, 1 April 2012