Beranda Judul

Sunday 13 September 2009

Munajat Burung Merak

Karya: Deddy Firtana Iman

Siapa sangka
Tulisanya telah tertulis di batu nisan
Hingga tertidur dengan senyum
Hingga hujan pun membasahi kota kami
Mendengarkan kepergianya

Hilang sudah
Suaranya yang bergetar itu
Kepakan sayapnya yang megah itu
Warna yang merekah itu
Kembali kepadaNya
2009

Dimuat di koran lokal "Harian Aceh"
Minggu, 13 September 2009

Munajat Natijah

Karya: Deddy Firtana Iman

Kebahagianku dariMu
Milikku adalah milikMu
Segalanya.

Kesabaranku belum dapat diukur
Dengan keimananku
Tunjukkanlah jalanMu
Semoga aku dapat menikmati buah Kurmamu
Ketika Ramadhan berkumandang Sahur
Terwujudlah kesabaran dan keimananku untukMu

Buah-buahan
Kenikmatan tiada tara
Setara atau pun tidak
Adalah milikMu
Munajat Natijah
2009


Dimuat di koran lokal "Harian Aceh"
Minggu, 13 September 2009

Munajat Nyanyian

Karya: Deddy Firtana Iman


Penuh Doa-doa
Kebahagiaan itu hadir dipelukanku
Seperti senja menarik fajar

Kenikmatan apa lagi
Yang hadir dalam rebahan takdirku
Penuh sujud syukur
Kebahagiaan itu hadir kembali
Di hari esok yang kelabu

Nyanyian hati
Bahasa jiwa yang terpatri
Dari hari ke hari
Penuh kesabaran
2009


Dimuat di koran lokal "Harian Aceh"
Minggu, 13 September 2009

Munajat Kerinduan

Karya: Deddy Firtana Iman

Terbuka mataku
Cerahan cahaya menusuk
Membenarkan adanya diriMu

Lamunanku pun memanggil namaMu
Rindunya aku padaMu

Kebahagian dan kerinduanku
Tepat tertunduk bersujud
Siang dan Malam
Memberikan cahaya panggilanMu

MerindukanMu
Siang dan Malam
Tak terlupakan
Doa-doa memujamu

2009

Dimuat di koran lokal "Harian Aceh"
Minggu, 13 September 2009

Saturday 25 July 2009

Hening

Oleh: Deddy Firtana Iman

Aku akan hilang tanpa menyentuh tanah
Seperti angin berisi daging Manusia
Mempermainkan kekosongan waktu
Demi ujung tali terputus isyarat cintanya
Tanpa kata-kata penutup mata kebisingan
Itulah titik akhir waktu persinggahanku
Terbakar oleh ketidak pastian cuaca pagi
Mengantarkanku pada roh persinggahanku
Hingga membuatku menelusuri surga dunia
2009

Dimuat di Koran "Harian Aceh" Minggu, 26 Juli 2009

Saturday 4 July 2009

Tanpa Janur Kuning

Aku merindukan wajahmu

Tapi
Aku masih merindukan lelaki yang lainya
Itu mungkin terjadi

Cintamu hanya untukku
Bukan memberi padamu

Aku merindukan wajahmu
Bukan karna aku menginginkanmu
Tanpa alasanpun
Aku mencintaimu hanya tanpa kebenaranya
Dan jangan sesalkan itu
Tentang aku yang pendiam

2009


Wednesday 27 May 2009

Januari

Korban kekerasan
Tikamlah aku
Sebelum saatnya

Korban keganasan
Injaklah aku
Sebelum kumarah

Korban kebohongan
Tipulah aku
Sebelum kusadar

Korban kebencian
Hinalah aku
Sebelum aku pergi

Januari
Itulah cerita negeri kami
Para penjilat lidah menari
Sebelum esok berganti Juni

2009

Dimuat di Koran "Lensa Unmuha" edisi VI/Maret 2009

Deddy Firtana Iman, mahasiswa FKIP Unsyiah

Friday 27 March 2009

Masa Lalu

Rasa sesak menekan ke dada

Melemahkan denyut jantungku

Bermandikan air keringatku

Rasa sesak ke masa lalu

Setelah aku tau caranya

Masa lalu memberatkan pandanganku

Tentang kekuasaan zaman Orde Baru

Terasa emosi mendalam

Terasa jiwa mencekam

Terasa amarah memburam

Kini

Para penguasa itu telah tertidur

Di alam kekejamanya

15-01-2009

Dimuat di http://gemasastrin.wordpress.com/puisi/puisi-dedy-firtana-iman/


Lupakan Dia Ingatkanku

Karya Deddy Firtana Iman


Tidak ada kabar burung hantu
Setelah malam penuh dosa
Ibaratnya telah lahir Manusia membisu
Memandang kesombongan pemuda kota
Itulah takdirnya kekuasaan peluru
Senjata ungkapan pengebor ungkapan harta
Hilangnya keangungan permaisuriku
Dan engkau masih melangkah
Setelah bersuci ketika malam purnama
Tersedu berjalan tanpa kebahagian
Terus berlinangnya air matamu
Terus hingga kakimu berdarah

15-01-2009

Dimuat di Gemasastrin

...

Kisah Hidupku


Menekan diri tirai memberi
Sudah lelah aku sendiri
Antara aku dan mawar berduri
Mungkin juga aku bunuh diri

Mengapa iri kata berbunyi
Sedangkan aku di tinggal pergi
Walaupun menyusuri jalan kaki
Berarti aku hanya kalah sendiri

Matahari pagi telah berdiri
Menyinari isi hati
Memberikan cahaya penenang diri
Untukku dikala sendiri

Inilah aku yang sendiri
Tentang ketiadaan cinta sejati
Hampa disisiku tiada arti
Terasa berat hidupku ini
Yang dilukai oleh wanita iri hati
25-08-2008


Dimuat di http://gemasastrin.wordpress.com/puisi/puisi-dedy-firtana-iman/

Kejamnya Negaramu

Berton-ton bahan peledak

Bermain ke udara menuju

Negara saudaraku

Yang tak tau arah kemana

Masi tersenyum

Dengan kelakarmu

Yang hina itu

Atau kau memang pengecut

Diantara teroris tikus kantor

Seperti di Kotaku

Saad ini dan kau sama saja

2009


Dimuat di http://gemasastrin.wordpress.com/puisi/puisi-dedy-firtana-iman/

Palestina

Terluka, kaku dan kelaparan

Dihantam duka keganasan Israel

Doaku untukmu

Walaupun kutahu

Negaramu masi terancam mencekam

Sudikah diriku

Mengorbankan nyawaku untukmu

Kurasa belum cukup akan

Mayat yang bergelimpangan dihadapanmu

2009


Dimuat di http://gemasastrin.wordpress.com/puisi/puisi-dedy-firtana-iman/

Setelah Perjalanan

Merebahkan tubuh yang lelah

Udara menembus sukmaku

Setelah aku berjalan lelah

Jauhku mimpikan cita-cita

Mencari jati diri sukma

Terhuyung di padang pasir

Setelah cita-cita berlarian

Ke udara dan ke langit

Sejatinya begitulah aku

Terhimpit sukma yang kotor

Tentang imajinasi liarku

Terkungkung terdiam

2009


Dimuat di http://gemasastrin.wordpress.com/puisi/puisi-dedy-firtana-iman/

Puisi Sunyi

Puisiku mati membusuk

Terhina namum terdiam

Seakan manja berteriak

Akan suatu isyarat

Kata tersembunyi telat

Menimbulkan tiada tepat

Kata dan maknanya

Yang rekat dan padat

Seruling sunyi

Gelisah bernyanyi

Puisiku mati suri

2009


Dimuat di http://gemasastrin.wordpress.com/puisi/puisi-dedy-firtana-iman/

Kumpulan puisi

Coretan penuh makna

Goresan penuh sukma

Aku menuliskan puisi

Sambil melamun sendiri

Diantara mimpi suci

Satu dua tiga

Jadilah cerita cinta

Puisi lengkap nada senja

Dan puisiku melanglang buana

Diantara mimpi tertunda

2009


Dimuat di http://gemasastrin.wordpress.com/puisi/puisi-dedy-firtana-iman/

Hitam Putih

Dua warna membaur

Abu-abu terjalin

Akan keresahan yang ragu

Semisalnya perkelahian

Diantara aku dan k au

Memadu kasih

Memeluk erat terjerat

Dalam lubang kedamaian

Hingga wajahku memutih

Ketuaan dimakan waktu

Yang resah dan kaku

2009



Pencuri Hati

Sembunyi

Dari ketiak rasa takut

Lirikan mata penuh

Was-was

Bicarakanlah

Tentang cinta pendiam

Tak bersuara

Terguncang

Penuh ketakutan

Dimakan waktu

Ada rasa

Cibir keluh

Keresahan

Ketakutan

Seakan malu berkata

“Aku mencintaimu”

03-01-2009


Dimuat Gemasastrin PBSID pada Februari 8, 2009

Uang Rakyat

Tersenyumlah dengan kemewahan

Bangga akan kemenangan

Harta kekayaan demi kekuasaan

Uang rakyat dan penindasan

Kami tertindas

Merasakan terhempas

Oleh penguasa yang beringas

Pejabat duduk hingga puas

Semuanya serba pas

Hingga rakyat tewas

Lalai akan tugas

2009


Dimuat Gemasastrin PBSID pada Februari 8, 2009

Wednesday 18 March 2009

Pelangi

Karya Deddy Firtana Iman

Cahaya dari balik alam langit
Antara malam tinggal kenangan
Sebelum awan datang menyempit
Manusia bersyukur dengan kegirangan

Cahayanya penyejuk hati manusia
Berbisik lugu kepada awan
Untuk bumi cucurkan air hujan
Biarkan manusia yang menikmatinya

Bumi menunggu akan tibanya pelangi
Bercahaya di atas bumi
Sambil tersenyum memberi arti
Senantiasa impikan sanubari

Tampa sebab akibat ia pergi
Terang benderang iapun selesai
Sambil pergi berbenah diri
Cahaya pelangi pun mulai sepi

2008


*Dimuat di koran lokal "Harian Aceh"
Dimuat tanggal 19-10-2008


Sunday 8 March 2009

Katakan Percuma

Katakan Percuma

Oleh; Deddy Firtana Iman

Mari menari

Dengan iringan lagu

Atau musick lirik cinta

Hanya sebaris kata cinta

Dari malam

Sampai mata terbuka

Untuk melihatku tertawa

Katakan percuma

Dari relung hatimu

Ketika aku masih tersenyum

Untuk dilihat saja

Dari ucapanku

Kalau tak sanggup

Bernyanyi untukku

Katakan percuma

Sebagai ungkapan

Kesesalan darimu

Semoga aku mengerti

13/08/2008


*Dimuat di koran lokal "Harian Aceh"
Minggu 8 Maret 2009

Aku Sungguh Ada

Aku Sungguh Ada

Oleh; Deddy Firtana Iman

Kau mungkin tak yakin

Kalau aku masih berjalan

Setelah berjalan berpetualangan

Sesudah mencarimu di pinggiran jalan

Aku sungguh ada

Aku serahkan tiada dua

Agar nanti bahagia

Asalkan kau tak kecewa

Kau mungkin tak yakin

Aku masih dibutuhkan

Dibutuhkan saling pengertian

Agar nantinya dapat merasakan kebahagiaan

13/08/2008


*Dimuat di koran lokal "Harian Aceh"
Minggu 8 Maret 2009

Friday 20 February 2009

Ruang Kosong

Sepi menyindir

Bercahaya gelap gulita

Mata kucing mulai bercahaya

Bocah menangis tiada tanya

Sepiring kumal tanda jadi

Sepintas lemah pun mati

Kematian

Auman kelaparan

Menjadi belenggu tiada akhir

Mencabik-cabik ruangan

Kunci pegangan mulai pergi

Ke arah Matahari

Tiada arti si Kecil sendiri

Mati nanti mungkin hari ini

2009

Dimuat di Majalah Lensa Unmuha

Kamis
, 2009 Januari 29
rumoeh.blogspot.com

Tuesday 10 February 2009

Membaca Tabir Kalbu Mahasiswa Kontemporer


(Catatan Kecil untuk Puisi Parade Tiga Kampus)


Oleh; Herman RN

Puisi sebagai sebuah karya sastra yang “merdeka”, yang lahir dari proses kontemplasi mendalam bukanlah milik penyair sudah jadi semata. Akan tetapi, orang yang sudah berhasil menulis puisi dan produktif di wilayah kerjanya (menulis puisi) akan disebut sebagai penyair adalah sebuah keniscayaan. Pertanyaannya, bagaimanakah bila yang melakoni itu mahasiswa?

Sejatinya, banyak penyair Tanah Air di era kontemporer tercatat sebagai mahasiswa di salah satu perguruan tinggi—baik negeri maupun swasta. Di warkah ini, saya tak mesti menyebutnya satu per satu. Namun, dapat diamati dari berbagai lomba cipta puisi yang diadakan di berbagai daerah, peserta yang ikut kebanyakan dari mahasiwa. Bahkan, ada pula yang memang namanya “Lomba Cipta Puisi Tingkat Mahasiswa”. Lantas, saat mahasiswa tersebut berhasil meraih penghargaan, sebagian kecil mulai menggerayangi kerja penciptaan puisi sehingga ia pun diakui sebagai penyair, bolehkah?

Sulit memang mencari identitas kepenyairan dalam diri seseorang: apakah karena ia telah berhasil menulis sebuah puisi dan menang dalam sebuah lomba akan dikatakan sebagai penyair; atau mereka yang tidak menang lomba tetapi puisinya dimuat di salah satu media (koran) baru disebut sebagai penyair; atau mereka yang tak pernah menang lomba dan tak pernah dimuat di media, tetapi puisinya sudah pernah dibukukan dalam antologi bersama penyair lain yang boleh dikatakan sebagai penyair; atau mereka yang puisinya tidak pernah menang lomba, tidak pernah dimuat media, tidak pernah dibukukan dalam antologi bersama, melainkan menerbitkan dalam buku sendiri, yang disebut sebagai penyair; atau mereka yang hanya menulis puisi pada buku catatan hariannya, tidak pernah dikirim ke media, tidak pernah diikutkan lomba, tidak pernah dibukukan, disebut sebagai penyair? Sulit mencari standardisasi ini, sebab predikat kepenyairan bukan diperoleh dari jenjang akademik, meskipun yang seorang penulis puisi ada yang sudah tiga kali menyandang gelar mahasiswa (sarjana, pascasarjana, dan doktoral). Gelar kepenyairan hanya dapat diperoleh dari pengakuan orang banyak, tentunya setelah si penulis puisi tersebut memang mampu menghasilkan karya untuk ortodoks dan dilakukan secara produktif.

Lantas, salahkah mereka—beberapa mahasiswa—yang mencoba-coba menulis puisi lalu mengirimkannya ke media? Dan bagaimanakah karya yang mereka kirimkan tersebut? Berikut ini saya coba mengamati karya-karya mahasiwa tersebut. Karena keterbatasan ruang, puisi yang saya amati tidak mungkin semua mahasiswa. Saya hanya mencoba mengamati puisi milik tiga mahasiswa yang berasal dari tiga perguruan tinggi, yang puisi-puisi mereka dimuat di Harian Aceh (lihat Parade Puisi Tiga Kampus).

Mendengar nama mahasiswa, saya kira sejumlah orang akan membayangkan kata-kata “tawuran, demonstrasi, belajar, dosen, kuliah, sarjana, cita-cita, kos, susah hidup, cobaan, dan kisah cinta.” Asumsi sederhana ini tidak salah. Lantas, apakah semua kata-kata itu akan tumpah dalam bentuk puisi?

Kita mulai saja dengan puisi milik Muhammad Haekal. Judul puisi “Gulita yang Beganti” sudah jelas memperlihatkan tentang keresahan seseorang—dalam hal ini sebut saja si penulis puisi tersebut. Betapa kata “gulita” digambarkan sebagai cobaan pahit dan gamang, semakin terdeteksi pada bait pertama yang memakai frasa: semua tanpa warna, semu malam gulita, semilir angin tak ada, wajah gerah, semua terbang, melekat hampa, dan matahari tanpa bintang abadi.

Di sini kelihatan bahwa mahasiswa IAIN Ar-Raniry tersebut sedang gundah dan resah menghadapi cobaan dalam hidupnya. Perjalanan waktu yang penuh cobaan dan tantangan—apalagi sebagai mahasiswa—dipertegas dalam bait kedua: semua memberkas kilaunya…/Petang yang datang… hilang…/ Kesempurnaan awan yang menghujan…/Malam yang mengembun…menantang…/Tanpa selimut aku duduk di haluan…//.

Akan tetapi, meskipun gundah itu tergambar dalam, Haekal mencoba untuk tegar sehingga memunculkan sebuah keyakinan tentang adanya Tuhan dalam semesta cobaan. Hal ini dapat dilihat dalam kalimat: Berteman angin meyakin Tuhan… Sayangnya, penulis puisi ini terjebak pada kalimat penyesalan, padahal ia sudah berusaha tegar dalam godaan. Hal ini terlihat dalam barisan kalimat: Dan kusapa jenuh sang bulan pagi/ Yang sebentar lagi tergantikan oleh matahari…/.

Selanjutnya, pada puisi kedua, kerasahan Haekal mulai muncrat ke permukaan. Jika tadi resah itu ia simpan dalam bentuk gundah dalam hati, pada puisi “Mahasiswa?” ia mulai keluar sehingga acap menggunakan kalimat tanya: hanya itukah ilmumu? (kalimat ini sempat terjadi repetisi) dan masihkah kau mengaku mahasiswa?

Dapat dimaknai bahwa keresahan dalam puisi “Mahasiswa?” lebih kepada apa yang diamati oleh si penulis puisi. Ia gundah dengan apa yang dilakoni dan dihasilkan oleh mahasiswa sekarang. Menurut Haekal, kerja mahasiswa sekarang lebih kepada tawuran yang tak ada arti, yang tak ada hasil. Ia mengejeknya dengan “ilmu mahasiswa sebatas belajar melempar batu, saling teriak di jembatan, saling adu mulut sesama mahasiswa.” Sedangkah mahasiswa pada tahun ’98, menurut Haekal, tidak sekedar berteriak di tengah jembatan, tetapi juga dapat melengserkan jabatan dengan peluh dan darah yang siap dikorbankan. Dan lihatlah pendahulumu di ’98…/Mereka berdarah….berkorban…/Tumbangkan rezim tegakkan reformasi…/

Bahwa puisi tersebut sebagai petuah kepada para mahasiswa yang sekarang suka tawuran sesama tanpa membuahkan hasil apa-apa dipertegas Haekal melalui catatan kaki: refleksi tawuran antar-mahasiswa yang sering terjadi belakangan ini. Satu hal mungkin dapat dipertanyakan dalam puisi-puisi Haekal adalah mengapa setiap barisnya harus diakhiri dengan tanda elips (titik-titik)?

Membongkar Hati Hikmah

Berbeda dengan Haekal, dua puisi Nurhikmah (selanjutnya disapa Hikmah) yang terpilih dalam “Parade Puisi” di Harian Aceh ini lebih kepada perasaan, naluri, dan hati yang bergejolak atas nama cinta. Boleh dikatakan puisi yang pertama adalah keresahan dan penyesalan karena telah membuat seseorang mencintai (dalam hal ini sebut saja mencintai si penulis puisi). Penyesalan itu jelas terlihat dalam diksi pertama dipakai kata “maaf”. Dan penyesalan tersebut semakin nyata pada bait kedua saat mahasiswa Almuslim Peusangan ini berujar: //Taman yang kutahu dan kudengar keindahannya/Taman yang diagungkan orang keperawanannya/Namun kini…/Seakan ku tak percaya/Sebab aku ia ternoda?//.

Jika pada puisi tersebut mengungkapkan penyesalan telah ‘memasuki’ hati seseorang, puisi kedua, “Lelah”, menunjukkan keresahan hati si penulis puisi sendiri yang telah ‘dimasuki’ seseorang. Puisi “Lelah” seakan menjadi soal atau jawaban dari puisi pertama yang berjudul “Sebuah Pinta”. Hal ini terlihat sejak bait pertama: //Pada siapa harus kumengadu/Tentang hilangnya mutiara di dasar hatiku/Tersisa hanya noda kelam dan menyesatkan/Menambah gelapnya sisi hidupku/Aku lelah/Ingin rasanya aku menghilang/Jauh dari smua makhluk Tuhan/…

Ada pula kebimbangan dalam pusi ini: Kehampaaan menjadi teman/Ketakutan jadi hiasan/Aku berada disimpang jalan/Tak tahu kemana harus menyebrang/… Kebimbangan tersebut ternyata untuk mencari mutiara yang hilang//.

Jelaslah, kata kunci “mutiara” dapat menjadi perlambang cinta. Hal ini berdasarkan keseringan yang kita dengar bahwa ‘mencuri’ mutiara dari hati seseorang berarti sama dengan ‘mencuri’ cinta dan kasih sayangnya. Siapakah orangnya? Hanya Nurhikmah yang tahu, karena puisi sangat ambigu untuk menebak sebuah kepastian murni.

Penyesalan Deddy

Deddy Firtana Iman, mahasiswa FKIP Unsyiah, yang puisinya juga terpilih dalam episode “Parade Puisi” di Harian Aceh kali ini juga berkisah tentang keresahan. Namun, keresahan Deddy berbeda dengan resah Haekal tentang amatan masa sekarang dan resah Hikmah tentang ‘mutiaranya’ yang dicuri. Keresahan Deddy lebih kepada sebentuk penyesalan masa silam.

Hal ini dinukilkannya dalam kedua puisinya. Puisi pertama “Air Danau” berkisah tentang penyesalah hidup di perantauan yang mungkin takkan kacau-balau jika ia tak merantau. //Air berarak kacau/Danau yang tersudutkan/oleh perantau/menangis pilu lupakan kehidupan//.

Penyesalan mengapa si penulis puisi harus meninggalkan masa lalunya dan pergi merantau dipertegas bait penutup puisi tersebut. //Terseret oleh arus yang kacau/Menepis cemaran air danau//.

Pada puisi kedua, “Luka Kecilku”, Deddy langsung membuka sajaknya dengan ungkapan penyesalan masa lalu. //Waktuku berdosa di masa lalu/Tak mengenal arti Tuhan/Masa muda terabaikan /Peradaban luka kecilku//.

Penyesalan masa kecil itu ternyata karena ia harus percaya pada seorang pemimpin yang kemudian diketahui oleh si penulis puisi ini pemimpin itu bukanlah Tuhan pembawa kebenaran. Namun, kisah tentang itu semakin melekat dalam benaknya yang dilambangkan dengan kata: Kamarku mulai berhantu/ tentang kisah para pengikut suku//.

Membaca Zaman

Mengamati puisi-puisi yang ditulis oleh mahasiswa itu mengesankan bahwa dengan puisi mereka telah membaca perubahan zaman. Kendati masih ada galau yang disampaikan hanya berdasarkan dan untuk hati sendiri, sejatinya sebuah puisi telah dapat mewakilkan sebuah asa dan rasa: asa terhadap sebuah mimpi mengejar masa depan, baik atas nama pribadi maupun atas nama bangsa; serta rasa ingin mendapatkan kedaiaman. Inilah realisme mahasiswa kontemporer—mahasiswa yang hidup di zaman serba kacau-balau ini. Mereka lupa berkisah bagaimana ruang kuliah, seperti apa dosen mengajar, atau dari mana memperoleh uang jajan, tetapi mereka mulai berkisah tentang kondisi carut-marut zaman.

Herman RN adalah alumni Bahasa dan Sastra Indonesia Unsyiah

*Dimuat di koran lokal "Harian Aceh"
Minggu 14 Desember 2008

Parade Puisi Mahasiswa di Tiga Kampus



GULITA YANG BERGANTI

Muhammad Haekal


Dan semua tanpa warna…

Semu malam gulita…

Bersemilir angin tak berkala…

Aku mewajah gerah…

Tanpa usang semua terbang…

Dengan debu melekat hampa…

Kutawar berada pagi…

Yang biasa bermatahari tanpa bintang abadi…


Dan semua memberkas kilaunya…

Petang yang datang…hilang…

Kesempurnaan awan yang menghujan…

Malam yang mengembun…menantang…

Tanpa selimut aku duduk di haluan…

Berteman angin meyakin Tuhan…


Dan semua sejalan berpaling…

Tak mampu kulupakan dengan sekepul asap…

Tak mampu hilang dengan secangkir panas hitam…


Dan kusapa jenuh sang bulan pagi…

Yang sebentar lagi tergantikan oleh matahari…

Sang cahaya yang terkadang menepi namun memberi…

Berkias alam menebar wangi…

Tempat ombak biru yang tak pernah kudaki…

Ruang kenyataan tanpa palung hati…

Sebuah hiasan terbaik yang kumiliki di semua dimensi hari…

(19 november 2008)


MAHASISWA?

Muhammad Haekal

Hanya itukah ilmu mu?

Belajar untuk melempar batu…

Di tengah jembatan kau adu uratmu…

Sesama saudara membunuh tanpa malu…

Hanya itukah ilmu mu?

Meneriakkan kata setia dengan jiwa…

Namun melepasnya dalam sekejap mata…

Dan lihatlah pendahulumu di ’98…

Mereka berdarah….berkorban…

Tumbangkan rezim tegakkan reformasi…

Dan lihat dirimu…

Yang darahnya tertumpah sia-sia..

Tanpa guna suatu apa..hanya derita dan jerit tanpa nyawa…

Hai kau di sana!!!!!

Masihkah kau mengaku mahasiswa?!

(25 November 2008)

*refleksi tawuran antar-mahasiswa yang sering terjadi belakangan ini



SEBUAH PINTA

Nurhikmah


Maaf

Bila kalimatku

Bila sikapku

Bila candaku

Telah mengotori taman hatimu


Taman yang kutahu dan kudengar keindahannya

Taman yang diagungkan orang keperawanannya

Namun kini…

Seakan ku tak percaya

Sebab aku ia ternoda?


Maaf

Aku akan pergi saja

Agar kau lupa

Agar tamanmu kembali seperti sediakala


(Taman hatiku. Minggu/ 19 oktober 08)


LELAH

Nurhikmah


Pada siapa harus kumengadu

Tentang hilangnya mutiara di dasar hatiku

Tersisa hanya noda kelam dan menyesatkan

Menambah gelapnya sisi hidupku

Aku lelah

Ingin rasanya aku menghilang

Jauh dari smua makhluk Tuhan

Kehampaaan menjadi teman

Ketakutan jadi hiasan

Aku berada disimpang jalan

Tak tahu kemana harus menyebrang

Mencari mutiara yang telah hilang


Aku hilang

Terbang melayang

Terhenti

Ditempat yang tak kukenali

Dan mutiaraku tak kutemui.


(Alam maya/ November 2008)



AIR DANAU

Deddy Firtana Iman


Luasan genangan alas

air dalam kolam

Setipis sulaman

Mengikat talam dalam

genangan daun


menyemakkan danau

melukiskan kuncupan daun


Air berarak kacau

Danau yang tersudutkan

oleh perantau

menangis pilu lupakan kehidupan


Terseret oleh arus yang kacau

Menepis cemaran air danau


(2008)




LUKA KECILKU

Deddy Firtana Iman


Waktuku berdosa di masa lalu

Tak mengenal arti Tuhan

Masa muda terabaikan

Peradaban luka kecilku


Kosong melompong pikiran batinku

Hanya ucapan terasa-rasa kalbu

Kamarku mulai berhantu

Tentang kisah para pengikut suku


Pisau di tangan pembunuh berdarah

Tak tersentuh pertaubatan

Matipun takut aku rasakan


Telah bersusah payah aku berbaik hati

Cuma rasa kasihan mati

Itupun sehari semalam

Impian luka yang tenggelam


20-07-2008


Muhammad Haekal, mahasiswa IAIN Ar-Raniry

Nurhikmah, mahasiswa Almuslim Peusangan

Deddy Firtana Iman, mahasiswa FKIP Unsyiah

*Dimuat di koran lokal "Harian Aceh"
Minggu 14 Desember 2008