Beranda Judul

Friday 8 June 2012

Lurus yang Meluruskan


Cukup sudah, jalanku menulis juga sudah lancar dan damai pada selembar kertas putih. Mari meluruskan tulisan yang ingin diluruskan. Setidaknya aku memulainya di selembar kertas yang sudah duluan ada garis-garis lurusnya. Namun, aku tidak tahu garis itu sebenarnya untuk apa, dan untuk apa pula tujuan dibuatkannya garis-garis lurus tersebut. Pertanyaanku yang kedua juga belum aku temukan secara menyeluruh, dari organ-organ ingatanku yang sempat menuliskannya penuh naik dan turun. Seperti jalan yang tak pernah berhasil dengan lurus dan datar. Kacau sekali jika kebenaran itu hanya tertumpu pada garis lurus yang aku sebutkan tadi. Sungguh, aku dibuatnya harus tunduk pada logika garis lurus tersebut. Maka dari itu, aku pun tidak ingin tertipu lagi dengan jalan berkelok-kelok dua arah.

Pertama, arah tujuanku menulis sudah berulang kali aku katakan di puisi “Pensil Kayu.” Jika kau membacanya, garis lurus itu sudah ada semenjak pensil kayu mengikuti tulisanmu. Dan lagipula kau tidak mesti mengharuskanya untuk mengikuti alur lurus tulisan yang pernah aku tuliskan. Sejatinya dirimu punya goresannya tersendiri, punya keunikannya sendiri dan juga mempunyai pemikiran-pemikiran yang tidak kolot dan sambil tertawa tentang sebuah kebodohan. Jika kau membacanya, sekilas goresan garis lurus itu sudah ada pada awalnya. Tinggal mengikuti keinginanmu meluruskannya ke mana dan tujuannya ia berhenti sampai ke arah mana. Tentu saja hanya dirimulah tujuan mengikuti kehendak Tuannya. Hanya mengikuti!

Atau yang kedua, tinggal kenangan dan sebuah ingatan masa kecil. Mungkin kau ingin menulisnya tentang keindahan, silahkan saja kau tulisnya tanpa harus memperdulikan kegelapan yang gelap. Semua tulisanmu pasti datar dan gelap. Itu wajar saja dan sah-sah saja kau terima dengan lapang dada. Asalkan kau tidak mengeluh dengan hasil yang sudah ada. Atau jika kau ingin mengolahnya untuk secuil napas di tulisan itu, mungkin ada baiknya tinggal kau luruskan saja di antara dua arah. Lurus ke atas dan juga lurus ke bawah. Luruskan saja, agar bisa dibaca dengan pikiran yang lurus juga.

Tepat dan sudah jelas dari kedua penjelasanku di atas. Semua tulisan tidak berbanding mundur, jika pun ada itu hanyalah gerak terbalik sebuah pemikiranmu untuk menjelaskannya kepada orang lain. Bahwa, kau sedang menjelaskan sebuah kejadian yang sudah terjadi. Tinggal kau balikkan saja arah tujuan sebuah jalan di dalam tulisanmu. Sebut saja dia, jalan mundur ke belakang. Dan kau mesti harus berhati-hati, sebab orang sering dipusingkan dengan sebuah cerita yang maju dan mundur yang membuat puising kepala. Jika kau menyuruhnya untuk dibacakan kepadaku sungguh aku akan mengatakan hal yang sama, “aku tidak mau kau pusingkan!” Karena yang aku inginkan kau harus maju untuk menulis dan bukan mundur untuk menulis. Walau kesamaannya hanyalah berbanding terbalik dari sebuah tulisan, antara maju dan mundur. Tetapi tetap ingin lurus dan sejalan dengan sebuah keinginan dan tujuanmu menulis.

Tidak ada yang dirugikan jika kau menulis, maka aku yang akan membacanya dan sebaliknyalah aku juga akan mengatakan hal yang sama. Selagi kau tidak ingin dipusingkan dengan tulisan yang masih bermain dengan mundur dan mundur. Tentu kau pasti akan memarahiku akan tulisan yang masih jalan di tempat atau kau lebih gila lagi mengatakannya seperti ini, “tulisan kau tersesat di dua arah!” Sungguh, aku sangat takut sekali. Maka dari itu, aku harus meluruskannya.

Seperti yang aku tuliskan sekarang tentang sebuah puisi-puisi yang juga masih jalan di tempat. Maaf, jika aku harus melanjutkannya tanpa memperdulikan kau yang juga sedang sibuk menulis. Selagi ada waktu, aku tetap menulis baik itu sebuah puisi atau sebuah tulisan kecil yang seperti aku tuliskan hingga haris ini. Semestinya memang harus seperti itu, jalan lurus ke depan dan tetap maju untuk menulis. Aku menyukainya dan jika boleh aku mengatakannya dengan sebuah kejujuran, kau lebih gila lagi menyukai perihal tulis dan menulis.

* Catatan kecil tentang aku yang sedang menulis.