Beranda Judul

Sunday, 11 December 2011

Deddy Firtana Sang Penyair



Nota Ringkas

Oleh A.Kohar Ibrahim

KERAP kali datang rangkaian pertanyaan dari kalangan generasi muda sekaitan dengan aktivitas-kreativitas tulis menulis. Salah satunya pertanyaan tentang kepenyairan. Seketika aku jadi teringat sekian waktu yang lalu, nada ranya nyaris serupa pun diajukan kepada penyair Sejuta Puisi Hasan Aspahani. Yang memberi jawaban cekak-aos: Penyair ya menulis syair.

Dalam variasi ekspresi lainnya, aku sering bilang bahwasanya: Penulis ya menulis dan pelukis ya melukis. Hasil nyata kreativitas bukti utamanya. Sekaligus bukti esksistensinya.

Begitulah anggap tanggapanku akan sorang seperti Deddy Firtana Iman, kelahiran Banda Aceh 21 Juni 1986. Penerima pendidikan setelah di SMA Negeri Banda Aceh lantas lanjut ke FKIP UNSYIAH Pendidikan Bahasa Dan Sastra Indonesia.

Maka tak mengherankan jikalau putera Negeri Serambi Mekah ini punya perhatian pada kesusastraan dunia umumnya, khususnya Indonesia. Salah satu sosok penyair dunia yang dikenalnya adalah penyair Chili: Pablo Neruda. Dan tak heran kalau dia suka membaca, khususnya sederetan sastrawan dan penyair Indonesia. Seperti antara lain Chairil Anwar, Joko Pinurbo, WS Rendra, Wiji Thukul dan sudah tentu Pramoedya Ananta Toer yang ujar katanya dijadikan Kutipan yang paling disenangi: “Kalian boleh maju dalam pelajaran, mungkin mencapai deretan gelar kesarjanaan apa saja, tapi tanpa mencintai sastra, kalian tinggal hanya hewan yang pandai.”

Menjelang Kelahiran Antologi Suara-Suara Dari Pinggiran


Salam bahagia kepada anda semua, terutama kepada segenap anggota Kelompok Studi sastra Bianglala dan komunitas haiku Danau Angsa. Hari demi hari terlewati, akhirnya proses penerbitan antologi puisi mbeling Suara Suara dari Pinggiran semakin mendekati proses kelahirannya. Antologi puisi ini sepertinya akan menjadi sebuah antologi yang khas dan berkualitas.
Kata pengantarnya ditulis oleh Remy Sylado, penyair, novelis, aktor dan ahli bahasa, pencetus gerakan puisi mbeling di tahun ’70-an, yang mewarnai sejarah sastra Indonesia. Esai pembuka ditulis oleh Heru Emka dan esai penutupnya, ditulis oleh Cunong Nunuk Suraja. Gambar sampulnya dibuat oleh Eddie Hara, perupa kontemporer kita. Oh ya, Eddhie Hara telah datang dari Swiss ke Semarang 10 November silam ) untuk menyerahkan printing art-nya kepada saya ). Terima kasih Eddie !
Yang membuat saya bahagia adalah selain banyak bergabung nama-nama beken dari dunia sastra kita, banyak juga nama-nama baru dari para penyair muda, dengan karyanya yang menggigit dan menggemaskan. Lebih dari 50 nama berhimpun dalam antologi ini, yang akan diterbitkan oleh Kelompok Studi Sastra Bianglala. Di bawah ini adalah nama-nama para penyair yang akan menjadi bagian dari antologi ini. Bila anda berminat untuk bergabung, belum terlambat. Kirimkan 20 puisi mbeling anda, berikut foto dan biodata ke heruemka@yahoo.com, hingga 5 Desember 2011.
Inilah daftar para penyair antologi puisi mbeling Suara Suara dari pinggiran :

Membaca Tabir Kalbu Mahasiswa Kontemporer

(Catatan Kecil untuk Puisi Parade Tiga Kampus)

Oleh; Herman RN

Puisi sebagai sebuah karya sastra yang “merdeka”, yang lahir dari proses kontemplasi mendalam bukanlah milik penyair sudah jadi semata. Akan tetapi, orang yang sudah berhasil menulis puisi dan produktif di wilayah kerjanya (menulis puisi) akan disebut sebagai penyair adalah sebuah keniscayaan. Pertanyaannya, bagaimanakah bila yang melakoni itu mahasiswa?

Sejatinya, banyak penyair Tanah Air di era kontemporer tercatat sebagai mahasiswa di salah satu perguruan tinggi—baik negeri maupun swasta. Di warkah ini, saya tak mesti menyebutnya satu per satu. Namun, dapat diamati dari berbagai lomba cipta puisi yang diadakan di berbagai daerah, peserta yang ikut kebanyakan dari mahasiwa. Bahkan, ada pula yang memang namanya “Lomba Cipta Puisi Tingkat Mahasiswa”. Lantas, saat mahasiswa tersebut berhasil meraih penghargaan, sebagian kecil mulai menggerayangi kerja penciptaan puisi sehingga ia pun diakui sebagai penyair, bolehkah?

Sulit memang mencari identitas kepenyairan dalam diri seseorang: apakah karena ia telah berhasil menulis sebuah puisi dan menang dalam sebuah lomba akan dikatakan sebagai penyair; atau mereka yang tidak menang lomba tetapi puisinya dimuat di salah satu media (koran) baru disebut sebagai penyair; atau mereka yang tak pernah menang lomba dan tak pernah dimuat di media, tetapi puisinya sudah pernah dibukukan dalam antologi bersama penyair lain yang boleh dikatakan sebagai penyair; atau mereka yang puisinya tidak pernah menang lomba, tidak pernah dimuat media, tidak pernah dibukukan dalam antologi bersama,

"dua penyair di balik bing" - jojo mohak jalang dan delima de wilde sri"


Penulis: Hudan Hidayat


jojo jalang
cinta di balik puisi

Lembaran lama diantara sejuta puisi
Ini ada sedikit diksi tertunda ke beranda matamu
Dikala malam menjemput mimpi-mimpi indah
Menemanimu bersemayam lembaran puisiku
Ketika untaian kata bertegur sapa dengan ingatan
Beberapa ucapan kegelisahanku berserakan
Diantara lembaran putih untukmu

Ini ada sedikit puisi
Di balik sejuta daya imajinasiku
Beberapa bulan yang lalu
Dengan berat hati
Aku berkata padamu
“Cinta di balik puisi”

2010

Antologi Puisi Seratus Penyair Dunia Maya

Kami, dari Kelompok Studi Sastra Bianglala, telah mencoba menjadikan Facebook ini sebagai media budaya alternatif, untuk memelihara semangat mencintai sastra Indonesia.Kami tak saja menyediakan ruang bagi puisi, cerpen dan esai sastra ( terima kasih untuk teman-teman yang sudah bergabung dan memanfaat ruang maya ini untuk berbagi semangat mencintai sastra Indonesia ) namun juga mengupayakan penerbitan alternatif dan pembelajaran penulisan kreatif melalui dunia maya. Tentang pelatihan menulis kreatif, saya dan beberapa teman sedang menyusun pola dan metodenya. Sedangkan poenerbitan alternatif, sudah dimulai dengan menerbitkan antologi haiku Danau Angsa ( bekerja sama dengan Gramedia Pustaka Utama ) dan bukunya kini sudah beredar luas di seluruh took buku Gramedia di Indonesia.
Sebagai tindak lanjutnya, akan segera diterbitkan juga tiga antologi puisi lagi. Yang pertama adalah antologi haiku Danau Angsa 2. Yang ini khusus berisi haiku karya 50 penyair perempuan Indonesia, dan penggarapannya sedang berjalan.
Yang kedua adalah penerbitan antologi Suara Suara dari Pinggiran ( Voices From The Edge ) yang berisikan Puisi Mbeling karya 50 penyair Indonesia. Kata pengantarnya ditulis oleh Remy Silado, sastrawan dan penggagas gerakan puisi mbeling di tahun ’70-an. Esai pembuka ditulis oleh Heru Emka, esai penutup ditulis oleh Cunong Nunuk Suraja, sedangkan gambar sampulnya dibuat oleh Eddie Hara, pelukis kontemporer kita yang kini bermukim di Swiss. Antologi ini memuat puisi alternatif yang menyegarkan khasanah sastra Indonesia, dari para penyair beken seperti Yudhistira ardi Nugraha, F. Rahardi, hingga penyair pemula seperti La Rose Djayakusuma dan Ratnaq Dewi Barrie.
Yang ketiga adalah penerbitan antologi puisi Seratus Penyair Dunia Maya, yang berisi seratus puisi terpilih dari para sahabat kita di dunia maya. Antologi ini bukanlah sekedar antologi puisi dunia maya, seperti biasanya, karena rencananya akan diterbitkan dalam dua bahasa ( Inggris dan Indonesia ) dan akan didistribusikan juga di manca negara.

Nyak Maneh

Karya Deddy Firtana Iman


Mimpinya tak banyak
Untuk membahagiakan
orang-orang terkasih
Pakaian usang
Memakai topi jerami
Sandal jepit
Keranjang sampah
dan mulai berjalan lurus ke depan
Sambil mewaspadai gerak-gerik angin
Menemani setiap langkah kakinya
Napasmu
Melaju bayang-bayang semu
Mengukir pejanggal perut
Mengalir di setiap gerakan tangan
Kakinya berkerut
Dan tubuhnya kurus
Tak pernah lelah mengais rezeki
Dalam tumpukan sampah
Penuh dengan bau busuk
Dan berbagai penyakit
Tak mengusiknya untuk berhenti

Matanya gesit
Tangannya cekatan
Ada kaleng, botol plastik
Dan semuanya bisa dijual
Dikumpulkan dalam keranjang sampahnya
Untuk sesuap nasi di hari ini

Deddy Firtana Iman bergiat di Komunitas Kanot Bu.

Dimuat Minggu, 11 Desember 2011 08:19 WIB

Sunday, 20 November 2011

Ekspresi Puisi Menentang Eksekuasi - Essai Oleh A.Kohar Ibrahim

Kreasi Puisi Ekspresi Menentang Eksekusi
Sekitar Aktivitas Kreativitas Tulis Menulis Di Luar Garis
(19)

Oleh : A.Kohar Ibrahim
*
Di sinilah sekarang
dan dari sini
kami bertekad :
bangkit
bangkitlah
demi kemerdekaan
maju
majulah
demi kemanusiaan
(Hersri Setiawan)
*
Mereka menyalakan api
menuntut demokrasi
menuntut hak azasi
menetang eksekusi
(Chalik Hamid)
*
Manifestasi Ekspresi Melawan Represi Eksekusi
KREASI N° 5 yang sedikit banyaknya mempertandakan cerminan « situasi sastra : sastra situasi » tanahair itu, istimewa sekali tersajikannya seberkas karya tulis berkenaan dengan situasi yang gawat sekaligus mencemarkan cita bangsa Indonesia. Yakni berupa bukti dari manifestasi aksi pelanggaran HAM alias suatu kejahatan kemanusiaan, sebagai pelengkap kejahatan rezim Orde Baru lainnya, yakni Kolusi Korupsi Nepotisme alias KKN.

Sajak Obrolan Kopi Susu

Karya Deddy Firtana Iman



Bunga kopi ini pernah mengambang di atas air. Meluncur ketepian saringan kopi. Menebarkan harum. Dan kian menegur hidungmu yang mancung. Jangan bicara keras-keras, tentang keistimewaan kopi kita. Tentang aroma dan tentang segala curahan pengolahannya yang tiada duanya. Cukup menegur dengan uapnya dan hidangan itu seakan ada di dalam lambungmu yang terbuat dari cangkir yang kecil .

Kaleng ini pernah juga menderaskan kucuran susu sapi entah dari mana asalnya. Mungkin kau enggan menceritakan sejauh mana kau singgahi kandangnya yang terbuat dari pohon bambu. Atau kau ingin bersembunyi sebagai manisannya di dalam secangkir kopiku. Di malam yang dingin ini. Entahlah, naluriku berkata lain .

2011


Deddy Firtana Iman adalah pegiat di Komunitas Kanot Bu.

Dimuat tanggal 16 November 2011.

Sumber:
Aceh Corner


...

Sajak Lelah

Karya Deddy Firtana Iman


Lipatan resah telah tertulis cinta gemuruh diantara beranda hatimu yang resah. Aku enggan menuliskan letak suara sepi itu dimana hadirnya. Yang aku tahu kesetian kedua kalinya ada di kantong hatimu seorang dan jika aku menutup sela, berarti aku telah mengunci pelataran hatiku juga .

Lelah di sini, berarti lelah mengabarkan cinta walaupun cinta palsu yang hadir .

Lampu kota juga menjadi penerangan untuk merapat duduk berdua, cahayanya penerang isi hati untuk mengabarkan kebenaran. Kita pun telah mengucapkan kelelahan itu diantara dua isi, antara aku dan kau .

Januari 2011


Deddy Firtana Iman adalah pegiat di Komunitas Kanot Bu.

Dimuat tanggal 16 November 2011.

Sumber:
Aceh Corner

...

Thursday, 6 October 2011

Deddy Firtana Sang Penyair

Nota Ringkas


Oleh A.Kohar Ibrahim


KERAP kali datang rangkaian pertanyaan dari kalangan generasi muda sekaitan dengan aktivitas-kreativitas tulis menulis. Salah satunya pertanyaan tentang kepenyairan. Seketika aku jadi teringat sekian waktu yang lalu, nada ranya nyaris serupa pun diajukan kepada penyair Sejuta Puisi Hasan Aspahani. Yang memberi jawaban cekak-aos: Penyair ya menulis syair.


Dalam variasi ekspresi lainnya, aku sering bilang bahwasanya: Penulis ya menulis dan pelukis ya melukis. Hasil nyata kreativitas bukti utamanya. Sekaligus bukti esksistensinya.


Begitulah anggap tanggapanku akan sorang seperti Deddy Firtana Iman, kelahiran Banda Aceh 21 Juni 1986. Penerima pendidikan setelah di SMA Negeri Banda Aceh lantas lanjut ke FKIP UNSYIAH Pendidikan Bahasa Dan Sastra Indonesia.


Maka tak mengherankan jikalau putera Negeri Serambi Mekah ini punya perhatian pada kesusastraan dunia umumnya, khususnya Indonesia. Salah satu sosok penyair dunia yang dikenalnya adalah penyair Chili: Pablo Neruda. Dan tak heran kalau dia suka membaca, khususnya sederetan sastrawan dan penyair Indonesia. Seperti antara lain Chairil Anwar, Joko Pinurbo, WS Rendra, Wiji Thukul dan sudah tentu Pramoedya Ananta Toer yang ujar katanya dijadikan Kutipan yang paling disenangi: “Kalian boleh maju dalam pelajaran, mungkin mencapai deretan gelar kesarjanaan apa saja, tapi tanpa mencintai sastra, kalian tinggal hanya hewan yang pandai.”


Maka tak heran pula, wajarlah, jikalau Deddy mengayomi itikad menjadi penulis atau penyair yang berkemampuan menyampaikan sesuatu yang bermakna demi menggugah kesadaran manusia sesamanya. Suatu itikad selaras kesadaran yang mendasar.


ITIKAD Deddy memang layak simak layak perhatian lantaran selain mendasar sekalian juga mengantar hari depan. Dan sudah terbuktikan oleh hasil kreasi pulisi berupa sajak-sajak yang disiar di beberapa media cetak pun elektronika. Seperti antara lain “Serambi Indonesia” dan “Harian Aceh” edisi Minggu serta di Majalah “Lensa Unmuha”. Juga naskah puisi termaktub dalam antologi “Tsunami Kopi” dan“Lelaki Di Gerbang Kampus”.


Kesan yang diperoleh dari menyimak berkas sajak-sajak Deddy Firtana pertama-tama iyalah kekonsekwenannya menghayati itikadnya dan selanjutnya terkesankan pula akan bakatnya sebagai penyair berkesadaran untuk apa menulis itu. Puisinya rangkai kata kata lugas tertata apik, sarat ungkapan berirama sederhana tanpa keganjenan intelektualita yang tak mudah tercerna bagi pembaca kebanyakan. Puisinya nyanyian jiwa – karenanya mampu menyentuh sesamanya. Puisinya lagu manusia.yang bervariasi dalam ekspresi juang perjuangan hidup kehidupan. Suka dan duka kehidupan. Berdimensi lokal sekaligus internasional global. Seperti ungkap mengungkapkan manifestasi aksi kekerasan alam Tsunami. Seperti manifestasi aksi kekerasan sang pembelah batu demi cari rezki – semata mata bukti bakti Sang Ibunda membesarkan anak-anaknya. Seperti perhatian sekalian perasaan simpatinya pada perjuangan rakyat Palestina melawan tindak ketidak-adilan dan kekerasan Israel. Seperti juga pengungkapan tentang peristiwa yang berawal dari Gerakan 30 September 1965 dan kelanjutannya berupa Tragedi Nasional.


Berikut ini saya turunkan beberapa kreasi puisi berupa sajak-sajak Deddy Firtana Iman sebagai perkenalan pertama.

*


Kumpulan puisi

Karya: Deddy Firtana Iman


Coretan penuh makna

Goresan penuh sukma

Aku menuliskan puisi

Sambil melamun sendiri

Diantara mimpi suci

Satu dua tiga

Jadilah cerita cinta

Puisi lengkap nada senja

Dan puisiku melanglang buana

Diantara mimpi tertunda


2009

*


Air Mata Ibu

Karya: Deddy Firtana Iman


Ibu mengayuh tangan

menghajar batu kekal

di tepi gunung yang jurangya memikat

kematian


Pulang-pulang

tanganya berlumuran darah

baju basah kuyub

segoni batu-batu telah didapatnya

dengan perasaan yang galau

penuh tanda tanya yang mengherankan

“untuk apa kita hidup

hanya berbekal penipuan yang angkuh

sirna dihapus hujan

tidak abadi dihinggap matahari”


Kami semuanya terdiam

mendengar jerit hatinya

mulai mengeluarkan air batu

dari bola matanya yang resah

aku pikirkan jerit hatinya

tentu saja tapak tanganya

tiada berhenti untuk bekerja

memenuhi kebutuhan kami

hingga Ibu meninggal dirintih kesakitan

oleh hidup melarat kemiskinan


(2009)


*Dimuat di koran lokal "Harian Aceh"

Minggu, 11 April 2010

*



Palestina

Karya: Deddy Firtana Iman


Terluka, kaku dan kelaparan

Dihantam duka keganasan Israel

Doaku untukmu

Walaupun kutahu

Negaramu masi terancam mencekam

Sudikah diriku

Mengorbankan nyawaku untukmu

Kurasa belum cukup akan

Mayat yang bergelimpangan dihadapanmu


2009

*



Uang Rakyat

Karya: Deddy Firtana Iman


Tersenyumlah dengan kemewahan

Bangga akan kemenangan

Harta kekayaan demi kekuasaan

Uang rakyat dan penindasan

Kami tertindas

Merasakan terhempas

Oleh penguasa yang beringas

Pejabat duduk hingga puas

Semuanya serba pas

Hingga rakyat tewas

Lalai akan tugas


2009

*



Januari

Karya: Deddy Firtana Iman


Korban kekerasan

Tikamlah aku

Sebelum saatnya


Korban keganasan

Injaklah aku

Sebelum kumarah


Korban kebohongan

Tipulah aku

Sebelum kusadar


Korban kebencian

Hinalah aku

Sebelum aku pergi


Januari

Itulah cerita negeri kami

Para penjilat lidah menari

Sebelum esok berganti Juni


2009


Dimuat di majalah "Lensa Unmuha" edisi VI/Maret 2009

*



Munajat Burung Merak

Karya: Deddy Firtana Iman


Siapa sangka

Tulisanya telah tertulis di batu nisan

Hingga tertidur dengan senyum

Hingga hujan pun membasahi kota kami

Mendengarkan kepergianya


Hilang sudah

Suaranya yang bergetar itu

Kepakan sayapnya yang megah itu

Warna yang merekah itu

Kembali kepadaNya


2009


Dimuat di koran lokal "Harian Aceh"

Minggu, 13 September 2009

*



Munajat Natijah

Karya: Deddy Firtana Iman


Kebahagianku dariMu

Milikku adalah milikMu

Segalanya.


Kesabaranku belum dapat diukur

Dengan keimananku

Tunjukkanlah jalanMu

Semoga aku dapat menikmati buah Kurmamu

Ketika Ramadhan berkumandang Sahur

Terwujudlah kesabaran dan keimananku untukMu


Buah-buahan

Kenikmatan tiada tara

Setara atau pun tidak

Adalah milikMu

Munajat Natijah


2009


Dimuat di koran lokal "Harian Aceh"

Minggu, 13 September 2009

*



Gerakan 30 September

Karya Deddy Firtana Iman


Ade Irma Suryani Nasution

Si gadis kecil dipelukan ibunya

terdiam berbalut perih

tertembak!


Kebengisan mereka mengudara

ke pusat ketakutan manusia

bercampur bingkisan kematian

Lubang Buaya tertutup darah

setelah penangkapan

pembantaian sayap kanan

membanjiri Sungai Brantas

“terbendung mayat”


Monumen Pancasila Sakti

bertaburan bunga-bunga kesedihan

tentang kepergian Pahlawan Revolusi


Tangisan Ketakutan

Indonesia

melahirkan manusia-manusia

penindasan berlandaskan

Pancasila yang kaku

atau ompongnya ketuhanan

terhadap diri sendiri


Suara rentetan senapan

suara jeritan kematian

suara ancaman penindasan

dan suara peguasa

masih menghantui kita


Indonesia

memperkuat boneka kekuasaan

terjebak sejengkal isi perut

dan kematian mengejar

manusia sebatas kebohongan


*



Catatan :

Nota Ringkas A.Kohar Ibrahim « Deddy Firtana Iman Sang Penyair » ini pertama disiar Facebook 5 Oktober 2011.

* Deddy Firtana Iman


Sumber : Abdul Kohar Ibrahim

Saturday, 1 October 2011

Gerakan 30 September

Karya Deddy Firtana Iman


Ade Irma Suryani Nasution
Si gadis kecil dipelukan ibunya
terdiam berbalut perih
tertembak!

Kebengisan mereka mengudara
ke pusat ketakutan manusia
bercampur bingkisan kematian

Lubang Buaya tertutup darah
setelah penangkapan
pembantaian sayap kanan
membanjiri Sungai Brantas
“terbendung mayat”

Monumen Pancasila Sakti
bertaburan bunga-bunga kesedihan
tentang kepergian Pahlawan Revolusi

Tangisan Ketakutan
Indonesia
melahirkan manusia-manusia
penindasan berlandaskan
Pancasila yang kaku
atau ompongnya ketuhanan
terhadap diri sendiri

Suara rentetan senapan
suara jeritan kematian
suara ancaman penindasan
dan suara peguasa
masih menghantui kita

Indonesia
memperkuat boneka kekuasaan
terjebak sejengkal isi perut
dan kematian mengejar
manusia sebatas kebohongan


*Dimuat Minggu, 2 Oktober 2011 08:25 WIB


...

Saturday, 10 September 2011

Kota Mati

Karya Deddy Firtana Iman


Di atas langit ada tetesan air
kuharap kau menghitungnya dengan wajah menengadah ke atas
entah itu sambil duduk atau berdiri
yang terpenting kau menghitung tiap ia mampir di wajahmu
dan jika ia tergelincir sejengkal dari wajahmu
berarti ia mampu menghindar dari hitungan palsumu

Atau kau pernah dengar
tentang kicauan burung-burung penghambat daun telingamu
akan kabar yang tak sedap untuk kau dengar dan ia
sengaja menggerutu akan keanehan yang ia lihat
benarkah kau melihatnya

Sekarang
kau lihat di sekitar dirimu
tempat-tempat yang pernah kau singgahi
berapa kalikah orang-orang menghinamu sambil berkata
“orang aneh masuk kota.”

Tentu saja
ia adalah air dan kicauan burung-burung menyebalkan
yang tercipta dari tetesan kegelisahan suara-suara kota
dan kau tentu saja akan mengumpat dalam hati dan sambil berkata
“Kota sialan.”

* Deddy Firtana Iman, bergiat di Komunitas Kanot Bu

Minggu, 11 September 2011 09:11 WIB
Sumber: Serambi Indonesia

Fatamorgana

Karya Deddy Firtana Iman


Khayalan kita berdebu bercampur air
tak terhingga dimana kita mesti berlabuh

Khayalan kita hanya sebatas
materi di ujung pejalan setapak di
dekat emperan toko berbau bubuk kopi

Khayalan dan imajinasi rindu
seutas kata-kata pun tak mampu
mengibaskan luka serpihan penipuan publik
Seperti laut
dataran khayalan menjadi asin


* Deddy Firtana Iman, bergiat di Komunitas Kanot Bu

Dimuat Minggu, 11 September 2011 09:11 WIB
Sumber: Serambi Indonesia

...

Sunday, 28 August 2011

Waktu

Karya Deddy Firtana Iman


Misalnya aku menjadi detik
ketika jam dinding mengabarkan
waktu kebahagiaan untukmu
izinkan aku mengabarkan
sesuatu kebahagiaan
sebelum mimpi indahmu
pergi menemani tidurmu

Ketahuilah wahai kekasihku
detak jantungku tak mampu
meneruskan kepercayaan
cintaku untukmu
bersabarlah menunggu
demi waktu yang tersisa untukmu

17 September 2010

Dimuat di koran lokal "Harian Aceh"
Minggu, 03 Oktober, 2010

Lihat di link ini:


Mawar Merah

Karya Deddy Firtana Iman



Mawar merah
dan segenggam madu.
Kian merekah
mengukir kelabu.

Menatap sepi
pada pelangi mengibarkan jingga.
Langkah kaki ini kian berhenti
melamun menatapnya.

Kumbang yang datang
madu tak tergenggam.
Cerita ini kian mengarang
membasuh cahaya malam.

Mawar merah
dan segenggam madu.
Cerita lama
dan isyarat membisu.

2010

Lihat di link ini:


Ujung Pancu

Karya Deddy Firtana Iman


Keringat kita sudah terlalu lelah
mandi dengan keringat perkotaan
hingga lupa pada air yang jernih dan suci
mata air di ujung sana sudah menanti

Perjalanan kita sudah melampaui setengah jam
dengan semburan angin angin menyegarkan
perjalanan kita di pagi yang cerah ini
dan persinggahan hanya sekejap saja

Lihatlah ke sebelah kiri dan kanan kita
rumput rumput menari nari dengan alunan angin
suara burung burung bersahutan riang gembira
dengan kehadiran si anak kota yang aneh

Cepatkanlah langkah kaki kita kawan
tak banyak waktu melamun tentang keindahannya
dan kita juga harus menyisakan keindahan itu
dalam pikiran dan selembar foto yang damai

Kau rasakanlah suara ombak dan angin yang kencang
suasana yang tenang dan nyaman untuk menyendiri
bersama sahabat sahabat dan membuang kebosanan

2010

Lihat di link ini:

Prettyca Yudra Perdana

Karya Deddy Firtana Iman


Jalan menuju cahaya matamu
melambatkan gerak-gerik
tubuh tak menentu
melayang ke arah lantai dasar hatimu
kian terpukul menangis

Aku mulai jatuh
kesakitan diantara batu-batu mutiara
cahaya kilauanmu

Begitu menyedihkan
jika tatapanku tak mampu
mampir di deretan cahaya matamu

17 Juli 2010

Lihat di link ini:
Youtube

Bunga Mawar

Karya Deddy Firtana Iman


Mawar merah
dan segenggam madu.
Kian merekah
mengukir kelabu.

Menatap sepi
pada pelangi mengibarkan jingga.
Langkah kaki ini kian berhenti
melamun menatapnya.

Kumbang yang datang
madu tak tergenggam.
Cerita ini kian mengarang
membasuh cahaya malam.

Mawar merah
dan segenggam madu.
Cerita lama
dan isyarat membisu.

2010

Lihat di link ini:
Youtube

Thursday, 27 January 2011

Undangan Peluncururan Antologi Puisi “Tsunami Kopi



Salam hangat untuk bapak/ibu/saudara sekalian yang berbahagia.
Kami dari Gelanggang Mahasiswa Sastra Indonesia (Gemasastrin) Pendidikan Bahasa dan Sasastra Indonesia FKIP Unsyiah berkenan mengundang Anda untuk hadir pada:

...Hari/tanggal : Sabtu, 29 Januari 2011
Pukul : 20.30 s.d. 23.00 WIB
Tempat : Jambo Kupi Apa Kaoy (Lampaseh Kota – Banda Aceh)
Acara :
- Peluncururan Antologi Puisi “Tsunami Kopi
- Diskusi Buku

Pembicara
1. Iskandar Norman
2. Ahmad Fauzan (konfirmasi)

________________________

Kumpulan puisi ‘Tsunami Kopi” ini memberi kabar bahwa pilihan-pilihan pola ungkap dalam puisi mutakhir di Aceh adalah proses belajar terus-menerus berkait kelindan dengan sejarah sastra nusantara sejak bahasa resmi ditemukan pada 1928 sampai Chairil Anwar dan Sutardji Calzoum Bahri pernah dicap serupa ‘mata kanan-mata kiri’ sastra nasional. Lirisme sangat dominan, beberapa dalam semangat balada dan mencoba haiku serta satu-dua mengasah puisi pamplet.
[Ahmad Fauzan, Rektor Sekolah Menulis Dokarim]


“Membaca sajak-sajak karya penyair muda berbakat asal Aceh di antologi "Tsunami Kopi," Sungguh membuat saya yang suka sajak ini bukan hanya terhenyak tapi juga terpana. Ternyata para penyair yang berasal dari tanah yang berjuluk Serambi Mekah ini, mampu berpuisi dengan ucap sajak yang baik. Padahal jika dirunut ke belakang, daerah tempat mereka bermain di masa kanak-kanaknya ini, pernah dianggap bergolak dan disapu dahsyatnya tsunami, tetapi puisi-puisi di buku antologi ini tidak membiaskan dendam apalagi yang berbau agitasi.”
[Hardho Sayoko SPB, penyair asal Ngawi]


"Kekuatan pada puisi adalah pada pilihan kata. Antologi puisi ini telah berusaha ke arah sana. Membacanya seperti tengah menyusuri wilayah tanah rencong dengan segala peristiwa yang pernah singgah di sana, tsunami misalnya."
[Dianing Widya Yudhistira, penulis novel NAWANG dan WETON]


“Syair-syair dalam antologi ini mungkin tidak terlalu "canggih," tapi pertautan kata yang berangkat dari perenungan dan kejujuran selalu layak mendapat tempat satu tingkat di bawah kitab suci.”
[Reza Idria, penyair Aceh]


Note: DAPATKAN HADIAH MENARIK DARI PENERBIT DIWANA.
DISKON PENJUALAN BUKU ANTOLOGI HINGGA 35%.....!!!

Demikian undangan ini kami sertakan. Atas perhatian dan partisipasi dari bapak/ibu/saudara kami ucapkan terima kasih.


Salam
Azrol Rizki
Ketua Umum Ge
masastin