Sunday, 11 December 2011
Deddy Firtana Sang Penyair
Menjelang Kelahiran Antologi Suara-Suara Dari Pinggiran
Membaca Tabir Kalbu Mahasiswa Kontemporer
Oleh; Herman RN
Puisi sebagai sebuah karya sastra yang “merdeka”, yang lahir dari proses kontemplasi mendalam bukanlah milik penyair sudah jadi semata. Akan tetapi, orang yang sudah berhasil menulis puisi dan produktif di wilayah kerjanya (menulis puisi) akan disebut sebagai penyair adalah sebuah keniscayaan. Pertanyaannya, bagaimanakah bila yang melakoni itu mahasiswa?
Sejatinya, banyak penyair Tanah Air di era kontemporer tercatat sebagai mahasiswa di salah satu perguruan tinggi—baik negeri maupun swasta. Di warkah ini, saya tak mesti menyebutnya satu per satu. Namun, dapat diamati dari berbagai lomba cipta puisi yang diadakan di berbagai daerah, peserta yang ikut kebanyakan dari mahasiwa. Bahkan, ada pula yang memang namanya “Lomba Cipta Puisi Tingkat Mahasiswa”. Lantas, saat mahasiswa tersebut berhasil meraih penghargaan, sebagian kecil mulai menggerayangi kerja penciptaan puisi sehingga ia pun diakui sebagai penyair, bolehkah?
Sulit memang mencari identitas kepenyairan dalam diri seseorang: apakah karena ia telah berhasil menulis sebuah puisi dan menang dalam sebuah lomba akan dikatakan sebagai penyair; atau mereka yang tidak menang lomba tetapi puisinya dimuat di salah satu media (koran) baru disebut sebagai penyair; atau mereka yang tak pernah menang lomba dan tak pernah dimuat di media, tetapi puisinya sudah pernah dibukukan dalam antologi bersama penyair lain yang boleh dikatakan sebagai penyair; atau mereka yang puisinya tidak pernah menang lomba, tidak pernah dimuat media, tidak pernah dibukukan dalam antologi bersama,
"dua penyair di balik bing" - jojo mohak jalang dan delima de wilde sri"
jojo jalang
cinta di balik puisi
Lembaran lama diantara sejuta puisi
Ini ada sedikit diksi tertunda ke beranda matamu
Dikala malam menjemput mimpi-mimpi indah
Menemanimu bersemayam lembaran puisiku
Ketika untaian kata bertegur sapa dengan ingatan
Beberapa ucapan kegelisahanku berserakan
Diantara lembaran putih untukmu
Ini ada sedikit puisi
Di balik sejuta daya imajinasiku
Beberapa bulan yang lalu
Dengan berat hati
Aku berkata padamu
“Cinta di balik puisi”
2010
Antologi Puisi Seratus Penyair Dunia Maya
Nyak Maneh
Mimpinya tak banyak
Untuk membahagiakan
orang-orang terkasih
Pakaian usang
Memakai topi jerami
Sandal jepit
Keranjang sampah
dan mulai berjalan lurus ke depan
Sambil mewaspadai gerak-gerik angin
Menemani setiap langkah kakinya
Napasmu
Melaju bayang-bayang semu
Mengukir pejanggal perut
Mengalir di setiap gerakan tangan
Kakinya berkerut
Dan tubuhnya kurus
Tak pernah lelah mengais rezeki
Dalam tumpukan sampah
Penuh dengan bau busuk
Dan berbagai penyakit
Tak mengusiknya untuk berhenti
Matanya gesit
Tangannya cekatan
Ada kaleng, botol plastik
Dan semuanya bisa dijual
Dikumpulkan dalam keranjang sampahnya
Untuk sesuap nasi di hari ini
Sunday, 20 November 2011
Ekspresi Puisi Menentang Eksekuasi - Essai Oleh A.Kohar Ibrahim
Sajak Obrolan Kopi Susu
Bunga kopi ini pernah mengambang di atas air. Meluncur ketepian saringan kopi. Menebarkan harum. Dan kian menegur hidungmu yang mancung. Jangan bicara keras-keras, tentang keistimewaan kopi kita. Tentang aroma dan tentang segala curahan pengolahannya yang tiada duanya. Cukup menegur dengan uapnya dan hidangan itu seakan ada di dalam lambungmu yang terbuat dari cangkir yang kecil .
Kaleng ini pernah juga menderaskan kucuran susu sapi entah dari mana asalnya. Mungkin kau enggan menceritakan sejauh mana kau singgahi kandangnya yang terbuat dari pohon bambu. Atau kau ingin bersembunyi sebagai manisannya di dalam secangkir kopiku. Di malam yang dingin ini. Entahlah, naluriku berkata lain .
2011
Deddy Firtana Iman adalah pegiat di Komunitas Kanot Bu.
Dimuat tanggal 16 November 2011.
Sumber:
Aceh Corner
...
Sajak Lelah
Lipatan resah telah tertulis cinta gemuruh diantara beranda hatimu yang resah. Aku enggan menuliskan letak suara sepi itu dimana hadirnya. Yang aku tahu kesetian kedua kalinya ada di kantong hatimu seorang dan jika aku menutup sela, berarti aku telah mengunci pelataran hatiku juga .
Lelah di sini, berarti lelah mengabarkan cinta walaupun cinta palsu yang hadir .
Lampu kota juga menjadi penerangan untuk merapat duduk berdua, cahayanya penerang isi hati untuk mengabarkan kebenaran. Kita pun telah mengucapkan kelelahan itu diantara dua isi, antara aku dan kau .
Januari 2011
Deddy Firtana Iman adalah pegiat di Komunitas Kanot Bu.
Dimuat tanggal 16 November 2011.
Sumber:
Aceh Corner
...
Thursday, 6 October 2011
Deddy Firtana Sang Penyair
Nota Ringkas
Oleh A.Kohar Ibrahim
KERAP kali datang rangkaian pertanyaan dari kalangan generasi muda sekaitan dengan aktivitas-kreativitas tulis menulis. Salah satunya pertanyaan tentang kepenyairan. Seketika aku jadi teringat sekian waktu yang lalu, nada ranya nyaris serupa pun diajukan kepada penyair Sejuta Puisi Hasan Aspahani. Yang memberi jawaban cekak-aos: Penyair ya menulis syair.
Dalam variasi ekspresi lainnya, aku sering bilang bahwasanya: Penulis ya menulis dan pelukis ya melukis. Hasil nyata kreativitas bukti utamanya. Sekaligus bukti esksistensinya.
Begitulah anggap tanggapanku akan sorang seperti Deddy Firtana Iman, kelahiran Banda Aceh 21 Juni 1986. Penerima pendidikan setelah di SMA Negeri Banda Aceh lantas lanjut ke FKIP UNSYIAH Pendidikan Bahasa Dan Sastra Indonesia.
Maka tak mengherankan jikalau putera Negeri Serambi Mekah ini punya perhatian pada kesusastraan dunia umumnya, khususnya Indonesia. Salah satu sosok penyair dunia yang dikenalnya adalah penyair Chili: Pablo Neruda. Dan tak heran kalau dia suka membaca, khususnya sederetan sastrawan dan penyair Indonesia. Seperti antara lain Chairil Anwar, Joko Pinurbo, WS Rendra, Wiji Thukul dan sudah tentu Pramoedya Ananta Toer yang ujar katanya dijadikan Kutipan yang paling disenangi: “Kalian boleh maju dalam pelajaran, mungkin mencapai deretan gelar kesarjanaan apa saja, tapi tanpa mencintai sastra, kalian tinggal hanya hewan yang pandai.”
Maka tak heran pula, wajarlah, jikalau Deddy mengayomi itikad menjadi penulis atau penyair yang berkemampuan menyampaikan sesuatu yang bermakna demi menggugah kesadaran manusia sesamanya. Suatu itikad selaras kesadaran yang mendasar.
ITIKAD Deddy memang layak simak layak perhatian lantaran selain mendasar sekalian juga mengantar hari depan. Dan sudah terbuktikan oleh hasil kreasi pulisi berupa sajak-sajak yang disiar di beberapa media cetak pun elektronika. Seperti antara lain “Serambi Indonesia” dan “Harian Aceh” edisi Minggu serta di Majalah “Lensa Unmuha”. Juga naskah puisi termaktub dalam antologi “Tsunami Kopi” dan“Lelaki Di Gerbang Kampus”.
Kesan yang diperoleh dari menyimak berkas sajak-sajak Deddy Firtana pertama-tama iyalah kekonsekwenannya menghayati itikadnya dan selanjutnya terkesankan pula akan bakatnya sebagai penyair berkesadaran untuk apa menulis itu. Puisinya rangkai kata kata lugas tertata apik, sarat ungkapan berirama sederhana tanpa keganjenan intelektualita yang tak mudah tercerna bagi pembaca kebanyakan. Puisinya nyanyian jiwa – karenanya mampu menyentuh sesamanya. Puisinya lagu manusia.yang bervariasi dalam ekspresi juang perjuangan hidup kehidupan. Suka dan duka kehidupan. Berdimensi lokal sekaligus internasional global. Seperti ungkap mengungkapkan manifestasi aksi kekerasan alam Tsunami. Seperti manifestasi aksi kekerasan sang pembelah batu demi cari rezki – semata mata bukti bakti Sang Ibunda membesarkan anak-anaknya. Seperti perhatian sekalian perasaan simpatinya pada perjuangan rakyat Palestina melawan tindak ketidak-adilan dan kekerasan Israel. Seperti juga pengungkapan tentang peristiwa yang berawal dari Gerakan 30 September 1965 dan kelanjutannya berupa Tragedi Nasional.
Berikut ini saya turunkan beberapa kreasi puisi berupa sajak-sajak Deddy Firtana Iman sebagai perkenalan pertama.
*
Kumpulan puisi
Karya: Deddy Firtana Iman
Coretan penuh makna
Goresan penuh sukma
Aku menuliskan puisi
Sambil melamun sendiri
Diantara mimpi suci
Satu dua tiga
Jadilah cerita cinta
Puisi lengkap nada senja
Dan puisiku melanglang buana
Diantara mimpi tertunda
2009
*
Air Mata Ibu
Karya: Deddy Firtana Iman
Ibu mengayuh tangan
menghajar batu kekal
di tepi gunung yang jurangya memikat
kematian
Pulang-pulang
tanganya berlumuran darah
baju basah kuyub
segoni batu-batu telah didapatnya
dengan perasaan yang galau
penuh tanda tanya yang mengherankan
“untuk apa kita hidup
hanya berbekal penipuan yang angkuh
sirna dihapus hujan
tidak abadi dihinggap matahari”
Kami semuanya terdiam
mendengar jerit hatinya
mulai mengeluarkan air batu
dari bola matanya yang resah
aku pikirkan jerit hatinya
tentu saja tapak tanganya
tiada berhenti untuk bekerja
memenuhi kebutuhan kami
hingga Ibu meninggal dirintih kesakitan
oleh hidup melarat kemiskinan
(2009)
*Dimuat di koran lokal "Harian Aceh"
Minggu, 11 April 2010
*
Palestina
Karya: Deddy Firtana Iman
Terluka, kaku dan kelaparan
Dihantam duka keganasan Israel
Doaku untukmu
Walaupun kutahu
Negaramu masi terancam mencekam
Sudikah diriku
Mengorbankan nyawaku untukmu
Kurasa belum cukup akan
Mayat yang bergelimpangan dihadapanmu
2009
*
Uang Rakyat
Karya: Deddy Firtana Iman
Tersenyumlah dengan kemewahan
Bangga akan kemenangan
Harta kekayaan demi kekuasaan
Uang rakyat dan penindasan
Kami tertindas
Merasakan terhempas
Oleh penguasa yang beringas
Pejabat duduk hingga puas
Semuanya serba pas
Hingga rakyat tewas
Lalai akan tugas
2009
*
Januari
Karya: Deddy Firtana Iman
Korban kekerasan
Tikamlah aku
Sebelum saatnya
Korban keganasan
Injaklah aku
Sebelum kumarah
Korban kebohongan
Tipulah aku
Sebelum kusadar
Korban kebencian
Hinalah aku
Sebelum aku pergi
Januari
Itulah cerita negeri kami
Para penjilat lidah menari
Sebelum esok berganti Juni
2009
Dimuat di majalah "Lensa Unmuha" edisi VI/Maret 2009
*
Munajat Burung Merak
Karya: Deddy Firtana Iman
Siapa sangka
Tulisanya telah tertulis di batu nisan
Hingga tertidur dengan senyum
Hingga hujan pun membasahi kota kami
Mendengarkan kepergianya
Hilang sudah
Suaranya yang bergetar itu
Kepakan sayapnya yang megah itu
Warna yang merekah itu
Kembali kepadaNya
2009
Dimuat di koran lokal "Harian Aceh"
Minggu, 13 September 2009
*
Munajat Natijah
Karya: Deddy Firtana Iman
Kebahagianku dariMu
Milikku adalah milikMu
Segalanya.
Kesabaranku belum dapat diukur
Dengan keimananku
Tunjukkanlah jalanMu
Semoga aku dapat menikmati buah Kurmamu
Ketika Ramadhan berkumandang Sahur
Terwujudlah kesabaran dan keimananku untukMu
Buah-buahan
Kenikmatan tiada tara
Setara atau pun tidak
Adalah milikMu
Munajat Natijah
2009
Dimuat di koran lokal "Harian Aceh"
Minggu, 13 September 2009
*
Gerakan 30 September
Karya Deddy Firtana Iman
Ade Irma Suryani Nasution
Si gadis kecil dipelukan ibunya
terdiam berbalut perih
tertembak!
Kebengisan mereka mengudara
ke pusat ketakutan manusia
bercampur bingkisan kematian
Lubang Buaya tertutup darah
setelah penangkapan
pembantaian sayap kanan
membanjiri Sungai Brantas
“terbendung mayat”
Monumen Pancasila Sakti
bertaburan bunga-bunga kesedihan
tentang kepergian Pahlawan Revolusi
Tangisan Ketakutan
Indonesia
melahirkan manusia-manusia
penindasan berlandaskan
Pancasila yang kaku
atau ompongnya ketuhanan
terhadap diri sendiri
Suara rentetan senapan
suara jeritan kematian
suara ancaman penindasan
dan suara peguasa
masih menghantui kita
Indonesia
memperkuat boneka kekuasaan
terjebak sejengkal isi perut
dan kematian mengejar
manusia sebatas kebohongan
*
Catatan :
Nota Ringkas A.Kohar Ibrahim « Deddy Firtana Iman Sang Penyair » ini pertama disiar Facebook 5 Oktober 2011.
* Deddy Firtana Iman
Sumber : Abdul Kohar Ibrahim
Saturday, 1 October 2011
Gerakan 30 September
Saturday, 10 September 2011
Kota Mati
Sumber: Serambi Indonesia
Fatamorgana
Sumber: Serambi Indonesia
Sunday, 28 August 2011
Waktu
waktu kebahagiaan untukmu
izinkan aku mengabarkan
sesuatu kebahagiaan
sebelum mimpi indahmu
pergi menemani tidurmu
Ketahuilah wahai kekasihku
detak jantungku tak mampu
meneruskan kepercayaan
cintaku untukmu
bersabarlah menunggu
demi waktu yang tersisa untukmu
17 September 2010
Dimuat di koran lokal "Harian Aceh"
Minggu, 03 Oktober, 2010
Mawar Merah
Mawar merah
dan segenggam madu.
Kian merekah
mengukir kelabu.
Menatap sepi
pada pelangi mengibarkan jingga.
Langkah kaki ini kian berhenti
melamun menatapnya.
Kumbang yang datang
madu tak tergenggam.
Cerita ini kian mengarang
membasuh cahaya malam.
Mawar merah
dan segenggam madu.
Cerita lama
dan isyarat membisu.
2010
Ujung Pancu
mandi dengan keringat perkotaan
hingga lupa pada air yang jernih dan suci
mata air di ujung sana sudah menanti
Perjalanan kita sudah melampaui setengah jam
dengan semburan angin angin menyegarkan
perjalanan kita di pagi yang cerah ini
dan persinggahan hanya sekejap saja
Lihatlah ke sebelah kiri dan kanan kita
rumput rumput menari nari dengan alunan angin
suara burung burung bersahutan riang gembira
dengan kehadiran si anak kota yang aneh
Cepatkanlah langkah kaki kita kawan
tak banyak waktu melamun tentang keindahannya
dan kita juga harus menyisakan keindahan itu
dalam pikiran dan selembar foto yang damai
Kau rasakanlah suara ombak dan angin yang kencang
suasana yang tenang dan nyaman untuk menyendiri
bersama sahabat sahabat dan membuang kebosanan
2010
Prettyca Yudra Perdana
melambatkan gerak-gerik
tubuh tak menentu
melayang ke arah lantai dasar hatimu
kian terpukul menangis
Aku mulai jatuh
kesakitan diantara batu-batu mutiara
cahaya kilauanmu
Begitu menyedihkan
jika tatapanku tak mampu
mampir di deretan cahaya matamu
17 Juli 2010
Youtube
Bunga Mawar
dan segenggam madu.
Kian merekah
mengukir kelabu.
Menatap sepi
pada pelangi mengibarkan jingga.
Langkah kaki ini kian berhenti
melamun menatapnya.
Kumbang yang datang
madu tak tergenggam.
Cerita ini kian mengarang
membasuh cahaya malam.
Mawar merah
dan segenggam madu.
Cerita lama
dan isyarat membisu.
2010