Beranda Judul

Sunday, 16 September 2012

Magrib yang Menegur Hamba



“Burung-burung tidak pernah lupa untuk kembali kepada sarangnya, ketika langit menggapai warna kemerahannya.” Dan menjadi gelap sampai hadir sebagai pembuka pada puisi yang berjudul "Magrib yang Mengiba" karya Pilo Poly. Kini sang penyair itu pun sedang menatap magrib di pulau Jawa, tempatnya menetap di dalam sarangnya (rumah impiannya).

Mungkin tidak terlalu penting aku harus menulisnya untuk diriku sendiri, tetapi alangkah bahagianya jika tulisan ini bisa sampai pada waktu yang tepat. Di layar tampilannya di sana, media dunia maya. Dia sedang membacanya, puisinya sendiri!

Seperti serangkaian cahaya yang masuk pada mataku hingga dini hari dan aku tambah semakin yakin dengan puisinya, “Matahari terbit dari mataku/ menelan yang purnama semalam/.” Kedekatannya semakin membuatku harus kembali kepada renungan di malam ini. Malam yang mengiba.

Apakah kau mau percaya, jika puisi yang berjudul “Magrib yang Mengiba” itu diperuntukkan kepada kita yang beberapa hari yang lalu pun puisi itu dibaca oleh kalayak ramai? Tentu saja, kata “magrib” itu diutarakannya untuk kita, aku dan penulisnya sendiri. Dilihat dari penalarannya yang diam-diam telah mendekati hambanya yang luluh padaNya.


Magrib yang Mengiba

Oleh Pilo Poly


Matahari terbit dari mataku

menelan yang purnama semalam

dan kita merengkuh semua

dengan alasan tak sempurna


Kemana kita bawa cahaya

yang kita tangkap

dari balik magrib

yang mengiba salik


Apa telah kita telan juga?

asma-asma Tuhan

tak lagi mendera

di indera telinga


Puri Gading, 2012


Ada pertanyaan kecil pada puisi di atas itu. Apa bunyinya? “Kemana kita bawa cahaya/ yang kita tangkap/ dari balik magrib/.” Kau punya jawabannya? Kalau tidak, aku punya jawabannya seperti ini. Silahkan kau dekatkan pemikiranmu untuk jawabanku ini. Contohnya seperti ini, “Ketika mangrib, yang tidak berakal pun kembali kepada sarangnya. Entah itu seekor ayam, burung, atau kambing sekalipun. Mereka kembali, singgah di sebuah tempat tinggalnya masing-masing. Berkumpul dengan keluarga. Lalu kita yang mempunyai akal, pikiran dan juga kepercayaan yang dianutnya tentu sajar rumah yang kedua itu singgahnya kepada rumahNya. Rumpah tempat berkum dan beribadah secara bermasyarakat antar sesamanya.

Dan kita merengkuh semua/ dengan alasan tak sempurna/.” Sangat sakit sekali jika kata-kata itu diperdengarkan oleh sahabat kita yang juga sedang mengeluh atau malah kita sendiri yang tega mengucapkannya. Menghalalkan segala cara untuk menghindar, tetapi tidak menghalakan untuk singgah ke rumahnya. Baik di rumah sendiri dengan “sajadah panjangnya” yang seperti dinyanyikan oleh Bimbo atau malah mencari jalan panjang ke negeri Roma yang entah sampai kapan kita akan sampai ke situ.

Sementara ketidakyakinku pada “asma-asma Tuhan/ tak lagi mendera/ di indera telinga//.” Telah membuat kita menjadi lupa pada rumah yang kedua itu. Rumah persinggahan terakhir kita secara rohani. Kuping kita telah ditutupi dengan segala hiburan atau malah duduk di kedai kopi sambil menikmati secangkir kopi dan yang wanitanya mungkin sedang diasyikkan oleh nyanyian gombalan sinetron yang alurnya tidak pernah berubah. Sungguh disayangkan sekali. Dan aku pun memahami jika puisi itu telah sampai dengan selamat, menegur kita lewat puisinya yang lembut dan menawan itu.


Sumber puisi: Magrib yang Mengiba

Sumber Foto: Pilo Poly


No comments: