(Catatan Kecil untuk Puisi Parade Tiga Kampus)
Oleh; Herman RN
Puisi sebagai sebuah karya sastra yang “merdeka”, yang lahir dari proses kontemplasi mendalam bukanlah milik penyair sudah jadi semata. Akan tetapi, orang yang sudah berhasil menulis puisi dan produktif di wilayah kerjanya (menulis puisi) akan disebut sebagai penyair adalah sebuah keniscayaan. Pertanyaannya, bagaimanakah bila yang melakoni itu mahasiswa?
Sejatinya, banyak penyair Tanah Air di era kontemporer tercatat sebagai mahasiswa di salah satu perguruan tinggi—baik negeri maupun swasta. Di warkah ini, saya tak mesti menyebutnya satu per satu. Namun, dapat diamati dari berbagai lomba cipta puisi yang diadakan di berbagai daerah, peserta yang ikut kebanyakan dari mahasiwa. Bahkan, ada pula yang memang namanya “Lomba Cipta Puisi Tingkat Mahasiswa”. Lantas, saat mahasiswa tersebut berhasil meraih penghargaan, sebagian kecil mulai menggerayangi kerja penciptaan puisi sehingga ia pun diakui sebagai penyair, bolehkah?
Sulit memang mencari identitas kepenyairan dalam diri seseorang: apakah karena ia telah berhasil menulis sebuah puisi dan menang dalam sebuah lomba akan dikatakan sebagai penyair; atau mereka yang tidak menang lomba tetapi puisinya dimuat di salah satu media (koran) baru disebut sebagai penyair; atau mereka yang tak pernah menang lomba dan tak pernah dimuat di media, tetapi puisinya sudah pernah dibukukan dalam antologi bersama penyair lain yang boleh dikatakan sebagai penyair; atau mereka yang puisinya tidak pernah menang lomba, tidak pernah dimuat media, tidak pernah dibukukan dalam antologi bersama,
melainkan menerbitkan dalam buku sendiri, yang disebut sebagai penyair; atau mereka yang hanya menulis puisi pada buku catatan hariannya, tidak pernah dikirim ke media, tidak pernah diikutkan lomba, tidak pernah dibukukan, disebut sebagai penyair? Sulit mencari standardisasi ini, sebab predikat kepenyairan bukan diperoleh dari jenjang akademik, meskipun yang seorang penulis puisi ada yang sudah tiga kali menyandang gelar mahasiswa (sarjana, pascasarjana, dan doktoral). Gelar kepenyairan hanya dapat diperoleh dari pengakuan orang banyak, tentunya setelah si penulis puisi tersebut memang mampu menghasilkan karya untuk ortodoks dan dilakukan secara produktif.
Lantas, salahkah mereka—beberapa mahasiswa—yang mencoba-coba menulis puisi lalu mengirimkannya ke media? Dan bagaimanakah karya yang mereka kirimkan tersebut? Berikut ini saya coba mengamati karya-karya mahasiwa tersebut. Karena keterbatasan ruang, puisi yang saya amati tidak mungkin semua mahasiswa. Saya hanya mencoba mengamati puisi milik tiga mahasiswa yang berasal dari tiga perguruan tinggi, yang puisi-puisi mereka dimuat di Harian Aceh (lihat Parade Puisi Tiga Kampus).Oleh; Herman RN
Puisi sebagai sebuah karya sastra yang “merdeka”, yang lahir dari proses kontemplasi mendalam bukanlah milik penyair sudah jadi semata. Akan tetapi, orang yang sudah berhasil menulis puisi dan produktif di wilayah kerjanya (menulis puisi) akan disebut sebagai penyair adalah sebuah keniscayaan. Pertanyaannya, bagaimanakah bila yang melakoni itu mahasiswa?
Sejatinya, banyak penyair Tanah Air di era kontemporer tercatat sebagai mahasiswa di salah satu perguruan tinggi—baik negeri maupun swasta. Di warkah ini, saya tak mesti menyebutnya satu per satu. Namun, dapat diamati dari berbagai lomba cipta puisi yang diadakan di berbagai daerah, peserta yang ikut kebanyakan dari mahasiwa. Bahkan, ada pula yang memang namanya “Lomba Cipta Puisi Tingkat Mahasiswa”. Lantas, saat mahasiswa tersebut berhasil meraih penghargaan, sebagian kecil mulai menggerayangi kerja penciptaan puisi sehingga ia pun diakui sebagai penyair, bolehkah?
Sulit memang mencari identitas kepenyairan dalam diri seseorang: apakah karena ia telah berhasil menulis sebuah puisi dan menang dalam sebuah lomba akan dikatakan sebagai penyair; atau mereka yang tidak menang lomba tetapi puisinya dimuat di salah satu media (koran) baru disebut sebagai penyair; atau mereka yang tak pernah menang lomba dan tak pernah dimuat di media, tetapi puisinya sudah pernah dibukukan dalam antologi bersama penyair lain yang boleh dikatakan sebagai penyair; atau mereka yang puisinya tidak pernah menang lomba, tidak pernah dimuat media, tidak pernah dibukukan dalam antologi bersama,
melainkan menerbitkan dalam buku sendiri, yang disebut sebagai penyair; atau mereka yang hanya menulis puisi pada buku catatan hariannya, tidak pernah dikirim ke media, tidak pernah diikutkan lomba, tidak pernah dibukukan, disebut sebagai penyair? Sulit mencari standardisasi ini, sebab predikat kepenyairan bukan diperoleh dari jenjang akademik, meskipun yang seorang penulis puisi ada yang sudah tiga kali menyandang gelar mahasiswa (sarjana, pascasarjana, dan doktoral). Gelar kepenyairan hanya dapat diperoleh dari pengakuan orang banyak, tentunya setelah si penulis puisi tersebut memang mampu menghasilkan karya untuk ortodoks dan dilakukan secara produktif.
Mendengar nama mahasiswa, saya kira sejumlah orang akan membayangkan kata-kata “tawuran, demonstrasi, belajar, dosen, kuliah, sarjana, cita-cita, kos, susah hidup, cobaan, dan kisah cinta.” Asumsi sederhana ini tidak salah. Lantas, apakah semua kata-kata itu akan tumpah dalam bentuk puisi?
Kita mulai saja dengan puisi milik Muhammad Haekal. Judul puisi “Gulita yang Beganti” sudah jelas memperlihatkan tentang keresahan seseorang—dalam hal ini sebut saja si penulis puisi tersebut. Betapa kata “gulita” digambarkan sebagai cobaan pahit dan gamang, semakin terdeteksi pada bait pertama yang memakai frasa: semua tanpa warna, semu malam gulita, semilir angin tak ada, wajah gerah, semua terbang, melekat hampa, dan matahari tanpa bintang abadi.
Di sini kelihatan bahwa mahasiswa IAIN Ar-Raniry tersebut sedang gundah dan resah menghadapi cobaan dalam hidupnya. Perjalanan waktu yang penuh cobaan dan tantangan—apalagi sebagai mahasiswa—dipertegas dalam bait kedua: semua memberkas kilaunya…/Petang yang datang… hilang…/ Kesempurnaan awan yang menghujan…/Malam yang mengembun…menantang…/Tanpa selimut aku duduk di haluan…//.
Akan tetapi, meskipun gundah itu tergambar dalam, Haekal mencoba untuk tegar sehingga memunculkan sebuah keyakinan tentang adanya Tuhan dalam semesta cobaan. Hal ini dapat dilihat dalam kalimat: Berteman angin meyakin Tuhan… Sayangnya, penulis puisi ini terjebak pada kalimat penyesalan, padahal ia sudah berusaha tegar dalam godaan. Hal ini terlihat dalam barisan kalimat: Dan kusapa jenuh sang bulan pagi/ Yang sebentar lagi tergantikan oleh matahari…/.
Selanjutnya, pada puisi kedua, kerasahan Haekal mulai muncrat ke permukaan. Jika tadi resah itu ia simpan dalam bentuk gundah dalam hati, pada puisi “Mahasiswa?” ia mulai keluar sehingga acap menggunakan kalimat tanya: hanya itukah ilmumu? (kalimat ini sempat terjadi repetisi) dan masihkah kau mengaku mahasiswa?
Dapat dimaknai bahwa keresahan dalam puisi “Mahasiswa?” lebih kepada apa yang diamati oleh si penulis puisi. Ia gundah dengan apa yang dilakoni dan dihasilkan oleh mahasiswa sekarang. Menurut Haekal, kerja mahasiswa sekarang lebih kepada tawuran yang tak ada arti, yang tak ada hasil. Ia mengejeknya dengan “ilmu mahasiswa sebatas belajar melempar batu, saling teriak di jembatan, saling adu mulut sesama mahasiswa.” Sedangkah mahasiswa pada tahun ’98, menurut Haekal, tidak sekedar berteriak di tengah jembatan, tetapi juga dapat melengserkan jabatan dengan peluh dan darah yang siap dikorbankan. Dan lihatlah pendahulumu di ’98…/Mereka berdarah….berkorban…/Tumbangkan rezim tegakkan reformasi…/
Bahwa puisi tersebut sebagai petuah kepada para mahasiswa yang sekarang suka tawuran sesama tanpa membuahkan hasil apa-apa dipertegas Haekal melalui catatan kaki: refleksi tawuran antar-mahasiswa yang sering terjadi belakangan ini. Satu hal mungkin dapat dipertanyakan dalam puisi-puisi Haekal adalah mengapa setiap barisnya harus diakhiri dengan tanda elips (titik-titik)?
Membongkar Hati Hikmah
Berbeda dengan Haekal, dua puisi Nurhikmah (selanjutnya disapa Hikmah) yang terpilih dalam “Parade Puisi” di Harian Aceh ini lebih kepada perasaan, naluri, dan hati yang bergejolak atas nama cinta. Boleh dikatakan puisi yang pertama adalah keresahan dan penyesalan karena telah membuat seseorang mencintai (dalam hal ini sebut saja mencintai si penulis puisi). Penyesalan itu jelas terlihat dalam diksi pertama dipakai kata “maaf”. Dan penyesalan tersebut semakin nyata pada bait kedua saat mahasiswa Almuslim Peusangan ini berujar: //Taman yang kutahu dan kudengar keindahannya/Taman yang diagungkan orang keperawanannya/Namun kini…/Seakan ku tak percaya/Sebab aku ia ternoda?//.
Jika pada puisi tersebut mengungkapkan penyesalan telah ‘memasuki’ hati seseorang, puisi kedua, “Lelah”, menunjukkan keresahan hati si penulis puisi sendiri yang telah ‘dimasuki’ seseorang. Puisi “Lelah” seakan menjadi soal atau jawaban dari puisi pertama yang berjudul “Sebuah Pinta”. Hal ini terlihat sejak bait pertama: //Pada siapa harus kumengadu/Tentang hilangnya mutiara di dasar hatiku/Tersisa hanya noda kelam dan menyesatkan/Menambah gelapnya sisi hidupku/Aku lelah/Ingin rasanya aku menghilang/Jauh dari smua makhluk Tuhan/…
Ada pula kebimbangan dalam pusi ini: Kehampaaan menjadi teman/Ketakutan jadi hiasan/Aku berada disimpang jalan/Tak tahu kemana harus menyebrang/… Kebimbangan tersebut ternyata untuk mencari mutiara yang hilang//.
Jelaslah, kata kunci “mutiara” dapat menjadi perlambang cinta. Hal ini berdasarkan keseringan yang kita dengar bahwa ‘mencuri’ mutiara dari hati seseorang berarti sama dengan ‘mencuri’ cinta dan kasih sayangnya. Siapakah orangnya? Hanya Nurhikmah yang tahu, karena puisi sangat ambigu untuk menebak sebuah kepastian murni.
Penyesalan Deddy
Deddy Firtana Iman, mahasiswa FKIP Unsyiah, yang puisinya juga terpilih dalam episode “Parade Puisi” di Harian Aceh kali ini juga berkisah tentang keresahan. Namun, keresahan Deddy berbeda dengan resah Haekal tentang amatan masa sekarang dan resah Hikmah tentang ‘mutiaranya’ yang dicuri. Keresahan Deddy lebih kepada sebentuk penyesalan masa silam.
Hal ini dinukilkannya dalam kedua puisinya. Puisi pertama “Air Danau” berkisah tentang penyesalah hidup di perantauan yang mungkin takkan kacau-balau jika ia tak merantau. //Air berarak kacau/Danau yang tersudutkan/oleh perantau/menangis pilu lupakan kehidupan//.
Penyesalan mengapa si penulis puisi harus meninggalkan masa lalunya dan pergi merantau dipertegas bait penutup puisi tersebut. //Terseret oleh arus yang kacau/Menepis cemaran air danau//.
Pada puisi kedua, “Luka Kecilku”, Deddy langsung membuka sajaknya dengan ungkapan penyesalan masa lalu. //Waktuku berdosa di masa lalu/Tak mengenal arti Tuhan/Masa muda terabaikan /Peradaban luka kecilku//.
Penyesalan masa kecil itu ternyata karena ia harus percaya pada seorang pemimpin yang kemudian diketahui oleh si penulis puisi ini pemimpin itu bukanlah Tuhan pembawa kebenaran. Namun, kisah tentang itu semakin melekat dalam benaknya yang dilambangkan dengan kata: Kamarku mulai berhantu/ tentang kisah para pengikut suku//.
Membaca Zaman
Mengamati puisi-puisi yang ditulis oleh mahasiswa itu mengesankan bahwa dengan puisi mereka telah membaca perubahan zaman. Kendati masih ada galau yang disampaikan hanya berdasarkan dan untuk hati sendiri, sejatinya sebuah puisi telah dapat mewakilkan sebuah asa dan rasa: asa terhadap sebuah mimpi mengejar masa depan, baik atas nama pribadi maupun atas nama bangsa; serta rasa ingin mendapatkan kedaiaman. Inilah realisme mahasiswa kontemporer—mahasiswa yang hidup di zaman serba kacau-balau ini. Mereka lupa berkisah bagaimana ruang kuliah, seperti apa dosen mengajar, atau dari mana memperoleh uang jajan, tetapi mereka mulai berkisah tentang kondisi carut-marut zaman.
Herman RN adalah alumni Bahasa dan Sastra Indonesia Unsyiah
*Dimuat di koran lokal "Harian Aceh"
Minggu 14 Desember 2008
No comments:
Post a Comment