Beranda Judul

Thursday, 9 February 2012

Wajah







oleh Jurnal Sastratuhan Hudan pada 9 Februari 2012 pukul 16:22 ·
1. foto
berfoto dengan para penyair dengan buku tsunami kopi. antaranya jojo jalang yang lama telah menjadi kawanku di maya juga. aku haru melihat mereka. membawakan bukunya padaku saat aku lagi termenung. ini tsunami kopi kata mereka lalu duduk bersamaku. kami tergelak, tertawa dan senang di sore yang redup dan muram itu. aku haru oleh orang terus menerus membuat sastra. siapa yang biayai buku ini, kataku, dan mereka menjawab ada seorang dokter yang baik dan membuatkan mereka buku. sang dokter pun rupanya membuat puisi dan ia bersama kawankawannya di dalam buku puisi tsunami kopi, yang esainya telah kukerjakan tapi lum juga kelar kelar. begitulah perjuangan orang menuliskan sastra. entah mengapa selalu memberikanku perasaan sedih dalam hati.
mungkin hanya sedikit kesedihan dalam batin. entahlah akhir akhir ini, jo, aku suka terserang melankolia tanpa tahu apa sebabnya. kukira jalan bahasa telah sedemikian jauh sedang bahasa tampak masih di sini sini juga. seolah ia lari di tempat. mungkin inilah yang disebut oleh afrizal dalam puisinya itu: siti nurbaya berlari lari, dedi firman alias jojo jalang.
di foto ini kalau dari jauh, aku merasakan wajahku seolah hantu yang muncul dari balik gelap malam. kalau agak dekat tampak seakan wajah dari tiga lelaki di mana wajahku mungkin lelah, sedang dua kawanku segar oleh mereka masih muda sedang aku sedang naik ke usia matangku. sedih melihat wajahku di foto ini. ia senyum tapi seakan senyum tak jadi. atau jadi? atau bagaimana sebenarnya wajah kita itu. kita tak pernah tahu akan wajah kita sendiri, kecuali ia diabadikan ke dalam foto sehingga kita bisa melihatnya dalam keadaannya yang kita sedang tak tahu. wajah kita itu menurutku sangatlah aneh. ia lama di muka kita, tanpa pernah lelah menjadi wajah manusia ya kita itu. kaki dan tangan kita juga menurutku aneh. mereka tergantung menjadi anggota badan dan mereka bergerak kalau pikiran kita bergerak. minum kata kita dan tangan kita telah menuangkan botol langsung ke mulutnya. atau gelas yang kita hirup pelan pelan sambil terus menerus mengucapkan syukur. apa yang tak kita dapatkan dalam hidup ini? kita mendapatkan semuanya dalam hidup ini. kita punya tubuh yang ke mana kalau dia hilang kita membelinya. kita punya jiwa dan pikiran yang sama juga: ke pabarik mana kita membeli pikiran kalau mendadak ia disepier. itulah rasa syukur kita kepada hidup ini.
tubuh kita sehat dan muda dan muda serta sehatnya tubuh kita aktif dan kreatif. banyak kekurangan tapi pukul rata kita dalam kelengkapan, oleh ketidakmungkinnya kita mengadakan semata sekedar sepasang jari tangan. semua diadakan oleh dia yang maha kuasa. maka kadang aku sedih melihat hidupku. sedemikian melimpah segala yang patut kita syukuri. tapi rasanya sedemikian kecil bakti kita kepada dunia ini. kerap juga kata bakti itu kutarik kembali. bakti apa kataku, kita tak pernah berbakti dalam dunia. kita hanya bergerak oleh kehendak yang mengatur gerakan. termasuk sedih dan senang. ah banyak pengalaman batin dalam palung hatiku ini, yang orang lain tak pernah tahu, seperti aku pun tak tahu kesedihan apa yang menjadi palung jiwa mereka pula.
(kau tahu jo? aku tak tahu.)
2. wajah
ketiga kawanku itu telah pulang atau ke lima kawaku itu telah pulang atau, aduh berapa orang sebenarnya kawanku itu tadi? kami berlima atau berberapa saat diambil oleh sebuah foto sehingga wajah kami diabadikan di sana. kurasa berlima. tapi di foto itu bertiga jadi ini adalah berberapa foto dari beberapa foto sebelumnya.
aku berpikir sambil berjalan pulang saat mereka pun melambaikan tangan kepadaku. hari sudah hendak malam dan hujan pun mulai turun. kami pulang dulu kata jojo dan aku mengangguk tanpa mengucapkan satu patahpun. aku pulang juga kataku dalam hati saat mereka telah pergi. aku memang pulang dan mulailah aku memasuki kamar hatiku. di sini kulihat kembali wajahku di depan cermin dan aku mulai merasakan keanehan makin dalam akan wajahku sendiri. kali ini aku hanya seorang diri menghadapi wajahku di depan cermin.
ini wajahku dan memang itu wajahmu. apa yang aneh itu memang wajahmu. sekian puluh tahun menjadi kulit pembalut mukamu. ia hadir saat kau di mana saja berada. kau tidur ia ikut tidur. kau berjalan ia ikut berjalan. kau sedih pun ia ikut sedih. seperti aku mencoba tertawa saat berdiri di depan kaca memandang ke dalam mataku yang tampak muram di depan kaca.
itu mataku kataku dan memang mataku di wajahku itu. di liang mataku dan liang mataku kadang kurasakan perih dan kerap air menetes dari liang mataku. apakah itu sumur yang mengeluarkan mata air atau itu air mata lelaki dewasa, kataku saat memikirkan mataku di depan kaca. kukira itu keduanya dan aku mulai mereka reka seperti apa sumur tua yang dihasilkan oleh liang mata manusia dewasa. seperti apa pula kalau itu adalah air mata dan apakah sebab air mata keluar dari liang di wajah kita.
aku berpikir andai mataku tak ada, hanya ada liang tanpa mata dan alangkah menakutkannya wajahku. kubayangkan wajahku tanpa mata hanya liangnya saja. tak terbayangkan. mataku masih ada di liang mataku di depan wajahku di dalam kaca itu. bagaimana caranya kataku membayangkan wajah sendiri tanpa matanya kecuali liangnya.

Sumber: Jurnal Sastratuhan Hudan

No comments: