oleh Usup Supriyadi
Yudi Damanhuri
SENJA BERIRAMA
: Begawan Penabur Kasih (Martin)
Semakin senja
selalu ceria
memainkan kata
selalu berirama
Semakin senja
tajam beraksara
dengan pena
menebus dosa
Banten 09/02/12
Ulasan: Jika saya perhatikan sajak-sajak Yudi Damanhuri memang lebih condong dengan puisi lirik gaya lama, yang padat serta cenderung singkat dan berrima yang kentara.Yang di atas adalah sajaknya yang bisa dibilang sebagai puisi dedikasi kepada Martin yang kalau dilihat dari isi puisinya menyimpulkan bahwa yang bersangkutan adalah sosok yang memiliki dedikasi, maka agaknya itulah yang menjadi alasan mengapa Yudi Damanhuri meluangkan diri untuk menuliskan puisi tersebut. Bagi yang tidak tahu, berapakah usia dari Martin, kata senja dalam sajak di atas begitu mengisaratkan perjalanan hidup yang bisa dibilang telah menikmati banyak asam-garam-gula kehidupan dan meski sudah tidak muda lagi dari segi usia, agaknya, digambarkan semangatnya masih tetap muda dengan "selalu ceria"-nya Martin. Dan menjadi sebuah kabar gembira baginya, dan bagi kita, jika "semakin senja" justru semakin baik dari segi berkarya dan bersikap dalam menghadapi kehidupan yang fana ini. Itu semua, sangat terang-benderang dijelaskan dari baris-baris bait pertama maupun bait kedua. Demikian, tetap berkarya Yudi Damanhuri. Salam.
Deddy Firtana Iman
HENING
Aku akan hilang tanpa menyentuh tanah
Seperti angin berisi daging Manusia
Mempermainkan kekosongan waktu
Demi ujung tali terputus isyarat cintanya
Tanpa kata-kata penutup mata kebisingan
Itulah titik akhir waktu persinggahanku
Terbakar oleh ketidakpastian cuaca pagi
Mengantarkanku pada roh persinggahanku
Hingga membuatku menelusuri surga dunia
2009
Ulasan: Puisi teman kita ini, yakni Deddy Firtana Iman dari titimangsanya termasuk puisinya yang sudah lawas, dan semoga sekarang masih tetap produktif berkarya-amin. Kalau kita mendengar kata Hening maka itu menunjukkan sebuah suasana yang jernih, bersih, dan bening, tapi di sini seakan-akan aku-lirik tengah merenungkan (mengenangkan) sesuatu. Ini adalah sebuah perenungan yang dalam atas untuk apa hadirnya ke dunia ini? Maka ia mencoba untuk sejenak lepas dari tanah tempat berpijak, dengan pengakuannya "aku akan menghilang tanpa menyentuh tanah" seumpama burung-burung yang terbang bebas diisaratkannya dengan "angin berisi daging" yang hidup dan mencoba mengotak-atik makna perputaran waktu apakah sebuah permainan belaka, ternyata tidak, "demi ujung tali" berupa agama yang telah Tuhan julurkan dari tempat-Nya seumpama tali yang kuat, yang dengan lahirnya ke dunia menjadikan kondisi keterputusan hubungan baik ruang dan waktu namun itu adalah "isarat cintanya" Maka di tengah kehidupan yang dilihatnya membuat "mata kebisingan" akhirnya ia sadar dan kembali kepada "titik akhir" yakni lahir ke dunia sebagai "waktu persinggahanku" meski setiap hari itu penuh dengan "ketidakpastian" seperti "cuaca pagi" di zaman kini yang benar-benar sulit diprediksi, justru "mengangantarkan pada roh persinggahan" yakni kesadaran akan hidup sebagai "manusia" ciptaan Tuhan. Dan, meski pun surga tidak ada di dunia, tapi "surga dunia" itu ada. Berupa kelegaan batiniah akibat dari pengheningan dari kehidupan. Itu yang bisa saya tangkap. Sajaknya mirip sebuah pengkabaran "aku-lirik" dalam "hening"-nya. Walapun ada pengulangan "persinggahanku" rasanya itu bukan sebagai pemborosan tapi penegasan dari sebuah level atau kondisi saja. Tetap berkarya. Salam!
Sagah Aditama
LUMRAH
Tergopoh-gopoh aku, melangkah menelusuri jalan tak berujung. Lunglai dalam satu badan, menjajah nafas sesampai jengah, sesak rasanya.
Tetap melangkah menyisir waktu yang sombong, panasnya suasana mengucur keringat dingin, waktu memang arogan, tak ada kompensasi, tak ada kata mufakat, semakin tua aku jadinya.
Satu demi satu sesampai kini, terlewat sudah setengah umur, perjalanan masih jauh dan aku masih tersungkur di antara bebatuan umur.
Semangat terus semangat, meski sesak lagi semakin tua dan serasa waktu melumpuhkan segalanya, aku tak akan berhenti berjalan.
Lumrahkan!
Sagah Aditama
Jakarta, 8-2-2012
Ulasan: Hidup, seharusnya selalu semakin baik setiap harinya, apalagi bila kita melihat kehidupan orang lain yang mungkin lebih "hijau" kita terkadang menjadi ingin, tapi, apakah hanya dengan rasa ingin akan membikin kita sehijau mereka yang kita lihat? Ternyata TIDAK! Maka, Sagah Aditama teriak LUMRAHKAN! Ada pepatah alah bisa karena biasa. Siapa yang rajin berlatih pasti terlatih. Itu intin soal yang bisa saya tangkap dari pengkabaran oleh aku-lirik yang dalam kondisi tengah berjuang di tengah waktu yang tak pernah mau menunggu dan benang umur yang kian hari ulurannya kian pendek saja. Ini adalah sajak bebas, malah kalau "tergopoh-gopoh aku, ..." menjadi "aku tergopoh-gopoh, melangkah menelusuri jalan tak berujung" lebih mirip sebuah kalimat prosais. Seperti "Aksi Boikot"-nya Sitor Situmorang, namun karena tipografis jadi tidak begitu tampak "curcol"-nya. Semoga Sagah Aditama selanjutnya bisa lebih mengutamakan bahasa citra, dan imaji dalam sajak-sajak yang diharapkan kesegarannya, dan untuk sampai ke taraf istimewa tersebut, Sagah Aditama memang tidak boleh "berhenti berjalan" bergerak, bergiat, berlatih terus. Semoga, semangat dalam berkarya dan hidup bagi Sagah Aditama sudah menjadi sebuah kelumrahankan? Demikianlah, Salam!
Kanjeng Senopati
MENJEMPUT SENJA
kekasih, mendekatlah!
merebahlah indah di dadaku, sepenuh manja seluruh mesramu, dengan lepasan panah-panah senyum bermata madu
ingin kukisahkan padamu akan kesahku
karena tak mungkin kuadukan resah pada gelisah, kuadukan gelap malam pada terang siang, karena keduanya juga terluka dalam putaran waktu, berurai airmata duka dalam senyap keheningan
bila bukan padamu, rahim mana lagi menjadi sandar keluh-keluh berpeluh tempat mengaduh
rasanya senja telah menghampiri, tangannya memberi isyarat seakan memanggilmanggil untuk kembali, bagaikan pisang tua yang melambaikan pelepahnya, saat semilir angin menggoda
sedang kelopak pagi baru saja mekar, putaran bumi belum sampai separuh, lembaran buku baru saja di buka
dan aku masih menjadi pejalan malam, mencari kayu bakar di belantara kegelapan, yang di kerumuni menjalar belukar berduri, semak-semak tamak membiak,
di kelilingi raung buas serangga malam yang siap memaksa kukucurkan darah dari kepalan jantung
pohon-pohon kekar tinggi menjulang, bagai pedang-pedang siap menantang perang, dan langkah kaki masih tertatih tanpa pelita penuntun jalan
aku masih saja bersenda gurau di tanah kepedihan ini, terbuai aroma harum mawar, namun tak pernah memetik kuntumnya, kutulis dan melepas kata-kata puja dalam rangkai sajak-sajak cinta, atau tembang rindu, namun hanya penghias belaka
selalu kupuji wangi melati, namun saat malam aku tenggelam dalam tasbih-tasbih fana, dan peraduanpun sepi dari semerbak aroma
kucium rekah tanah sebagai darma, namun jiwa masih kukecupkan pada membisu debu, hingga menjelaga melebihi hitam malam
hatiku masih terbolak balik, kekasih!
Seperti debu diterbangkan semilir takdir, dan saat sepenggalah terjebak di pusaran badai kepedihan, entah kemana akan dihempaskan, kembali merebah tanah indah, tersangkut di pucuk-pucuk daun, dan menunggu gerimis hujan untuk menurunkan kembali mula, atau bahkan musim gugur yang membuat berjatuhan di tanah melelap kubang duka
entahlah, kapan segalanya akan usai, meski tak ingin lama menyulam duka, namun tak ingin jua aku memerkosa waktu untuk segera mengkhatamkan, karena bulanpun akan bermuram dan bergegas berlarian menjelang pagi, mataharipun tak sanggup menahan kepakan sayap hitam kegelapan mendekap dalam selimut malam
biarlah semesta sendiri yang menghapus keagungan bintang dari pelupuk mata, karena dialah yang memula, kurengkuh lembar-lembar catatan jiwa dengan cinta, saat jalan menjemput senja
(KS,022012)
Ulasan: Kanjeng Senopati termasuk salah seorang warga BPSM yang subur dalam karyanya dan memang memiliki kekhasannya sendiri, begitu "lirih hati" sebagaimana kata yang selalu diucapkannya ketika menyudahi sebuah komentar: salam lirih hati. Pertama, jelas, semoga karyanya adalah sebuah upaya dari kesungguhan hati, dan agaknya itu memang begitu adanya, sehingga mampu merangkai kalimat demi kalimat yang memikat. Namun, untuk Menjemput Senja ini bagi saya lebih mirip prosa liris yang begitu naratif. Jadi mengingatkan saya kepada prosa liris Tengku Amir Hamzah. Aku-lirik tengah mengabarkan kondisinya yang tengah "menjemput senja" dan ketika dirinya tidak tahu "kapan segalanya akan usai" sedang dirinya "masih saja bersenda gurau" padahal ia sudah merasa bahwa "senja telah menghampiri" maka di tengah kondisi "hati yang masih terbolak-balik" tak ada cara lain selain merengkuh "lembaran-lembaran catatan jiwa dengan cinta" agar semuanya berakhir bahagia "saat jalan menjemput senja" Ya, dalam hidup, kita tidak boleh bersikap jabariyyah ataupun qadariyyah, tapi berpasrah dalam berserah dengan tetap berusaha dan berdoa. Begitu yang bisa saya tangkap dari apa yang disajikan oleh Kanjeng Senopati. Demikialah, salam!
Simpulan: Keempat sajak tersebut sebenarnya ada benang merahnya, semoga kita bisa menuju irama kehidupan yang hening tak peduli senja di ufuk mata, kita akan tetap berusaha melumrahkan kebiasaan baik. Makannya, saya tulis judul ini, melumrahkan jalan hening yang berirama! Salam!
Sumber: Bengkel Puisi Swadaya Mandiri
...
No comments:
Post a Comment