Karya Muhammad Rois Rinaldi
Tidak lain tidak bukan, jadi penyair adalah kecelakaan besar! penyair-penyair adalah mereka yang setiap harinya dibuat gelisah dan susah, tak jarang sampai mendesah lelah namun enggan juga menyerah. Seorang penyair setiap harinya akan berkutat pada kata dan kata yang kemudian diolah dalam rasa dengan berbagai bumbu khas sehingga disajikan di meja pembaca atau boleh jadi hanya dibiarkan tertutup tudung saji, namun tentu bukan jadi pilihan jika puisi dibiarkan basi kan?
Karya sastra (puisi) baik liris, imajis dan sebagainya merupakan buah karya dari pengamatan, pendalaman, pemahaman, dari keadan-keadaan yang dilihat olah kasat mata baik dirasakan sendiri atau menimpa orang di sekitar atau bahkan melihat berita di televise dan sebagainya. Dan boleh jadi juga buah perjalanan kebatinan yang amat mengesankan sehingga patut untuk diabadikan dalam puisi. Segalanya boleh jadi, sinyal-sinyal mampu merangsang hati terdalam untuk merangkai kata-kata demi meluapkan isi hati seutuhnya. Di sinilah ruang masak dengan dapur dan bumbu khas itu berada, tergantung pada tebal tipisnya dinding-dinding perasaan, dan juga pengalaman-pengalaman kebatinan yang dimiliki. Lantas bagaimana dengan proses pemilihan kata (diksi)? Yang tujuannya adalah untuk memberikan kebaruan menu yang tentunya baik, sehat dan bergizi serta bermanfaat bagi para pembaca.
Dengan berlandaskan kegelisahan demi kegelisahan akan proses kretivitas kepenulisan inilah yang membuat para penyair, terutama yang masih berjiwa muda melakukan penggalian-penggalian kesan puitik pada kata-kata yang biasa digunakan dalam bahasa keseharian atau pun pada kata-kata yang asing sama sekali di kuping. Banyak sekali kemungkinan penggalian, yang jadi penghalang adalah keberanian penyair itu sendiri untuk mendobrak konvensi demi menemukan konvensi. Karena diakui atau tidak penyair adalah pengikut dan pembuat konvensi!
Begitu pun dengan Deddy Firtana Iman , kelahiran Banda Aceh 21 Juni 1986. Penerima pendidikan setelah di SMA Negeri Banda Aceh lantas lanjut ke FKIP UNSYIAH Pendidikan Bahasa Dan Sastra Indonesia ini, rupanya tengah menggali kesan-kesan puitik dari rentetan kata keseharian. Dan inilah yang akan memperkaya kazanah Bahasa Indonesia juga kazanah kesusastraan Indonesia. Jadi ingat si Rumput Bergoyang (Ebit G Ade) Kepada Pemeluk Teguh (Chairil Anwar) dan kata-kata lainnya yang jadi amat melekat pada kedirian ucap penyairnya. Ya! Amat diperlukan dan boleh jadi ini serupa himbauan tanpa abai pada bahasa yang telah ada sebelumnya, penyair masa kini semestinya mencari dan terus menggali kemungkinan-kemungkinan dari kata-kata yang setiap harinya berseliweran tak usah mencari yang aneh-aneh selalu, cukup yang sederhana demi memperdalam kesan puitik dalam karya-karyanya. Dan tentu yang tidak kalah pentingnya adalah mempertajam kepekaan diri akan realita dan mimpi serta seluruh dekor-dekor keberadaan Robb, Manusia, dan alam semesta ini.
Apakah benar Deddy tengah menggali kesan puitik dari kata-kata keseharian? Agar dapat mejawab pertanyaan ini, mari kita telusuri puisi berjudul “Januari”
Januari
Karya: Deddy Firtana Iman
Korban kekerasan
Tikamlah aku
Sebelum saatnya
Korban keganasan
Injaklah aku
Sebelum kumarah
Korban kebohongan
Tipulah aku
Sebelum kusadar
Korban kebencian
Hinalah aku
Sebelum aku pergi
Januari
Itulah cerita negeri kami
Para penjilat lidah menari
Sebelum esok berganti Juni
2009
Dimuat di majalah "Lensa Unmuha" edisi VI/Maret 2009
Dengan memberi judul puisi “Januari” konsekuensinya adalah pada awal pembacaan tentu yang tertangkap adalah sebuah bulan antara dua belas bulan lainnya, yakni Januari (saja) daya tariknya akan sedikit kurang, namun akan lain hal jika ditelisik dari ruang konotatifnya atau makna yang tidak sebenarnya. Bulan Januari bisa saja berisikan rangkuman perjalanan hidup, gambaran sebongkah luka, wajah kekasih, wajah lawan dan kawan dan Hujan, Badai, Kematian, banyak hal yang bisa ditemukan dalam satu bulan saja. Lantas dalam puisi ini apakah yang terjadi dengan januari dan apakah korelasinya dengan penggalian kesan puitik pada kata-kata keseharian? Mari lanjutkan penelusuran!
Korban kekerasan
Tikamlah aku
Sebelum saatnya
Pada bait pembuka, dapat dirasakan sebentuk kegeraman yang sebegitu garang. Dan di sana hanya ada kata-kata yang amat biasa saja kan? Tapi dengan bahasa sederhana bisa menghadirkan hentakan yang cukup menggetarkan relung pembaca, di sini masih meninggalkan tanda tanya, ada apa dengan “Korban kekerasan”? Mengapa harus menikam “Sebelum waktunya”?
Korban keganasan
Injaklah aku
Sebelum kumarah
Pada bait kedua masih dengan pola yang sama, “Korban keganasan” masih belum ditemukan dan kemarahan masih menderu jeram serta keterangan “Sebelum kumarah” menjadi penjelasan, paling tidak sedikit jelas apa maksud “Sebelum waktunya” di bait pertama. Dan belum saatnya menyimpulkan. Bagaimana dengan diksinya? “Korban/ganas/injak/aku/belum/marah” diksi-diksi pembangun puisi ini tetap biasa saja dan tetap sanggup menggambarkan sesuatu.
Korban kebohongan
Tipulah aku
Sebelum kusadar
Di sini, sebelum terjawab tentang “Korban keganasan” itu sudah dimunculkan symbol yang lain “Korban kebohongan” yang lagi-lagi bikin saya bertanya-tanya akan maksud symbol tersebut. Yang amat mendasar dan patut diajukan adalah, Mengapa korban yang seolah salah? Tentu belum usai penelusuran, sebaiknya tidak membuat kesimpulan. Mari kita urai kembali ada kata apa saja dalam bait ini. “Korban/bohong/tipu/aku/belum/sadar” dengan kata-kata seadanya itu, apakah yang dapat disampaikan? Tentu saja sampai di mata baca saya, bahwa masih juga bahkan kian meradang saja kemarahan itu. Bikin penasaran memang, mari lanjutkan!
Korban kebencian
Hinalah aku
Sebelum aku pergi
Pada bait ini masih juga menyulam kegeraman demi kegeraman yang bikin saya tambah penasaran juga tambah bertanya-tanya. Kali ini symbol yang dimunculkan adalah “Korban kebencian” larik “Hinalah aku” jadi sebuah tantangan yang benar-benar menantang, meski ada aroma pasrah, aroma geramnya jauh lebih kental dan bait ini pun bagi saya cukup berhasil memberi gambaran akan sebuah keadaan dan kenyataan. Diksinya? Mari temukan lagi! “Korban/Benci/Hina?Aku/Belum/Aku/Pergi” masih kata-kata biasa saja kan?
Januari
Itulah cerita negeri kami
Para penjilat lidah menari
Sebelum esok berganti Juni
Pada bait terakhir inilah akhirnya samar-samar saya temukan maksud, samar-samar? Bukankah diksi-diksi pembangun puisi ini biasa saja? Itulah hebatnya penyair, dari kata biasa masih sanggup menyimpan misteri. Pada bait terakhir terdapat sebuah kesimpulan bahwa si pembenci, pembohong, pengumpat, pendengki, pendendam, penipu dan sebagainya adalah si korban itu sendiri. Korban ketidaksanggupan mengemban amanah rakyat! Yang jadikan puisi ini misteri adalah larik terakhir “Sebelum juni”? ada apa dengan Juni? Rentang waktu yang cukup panjang sekitar empat bulan lagi baru menemu Juni. Semoga saja Deddy membuat puisi juni termaksud di atas itu. Agar dahaga keingintahuan saya terlepaskan.
.
Menelusuri puisi “Januari” dengan bahasa-bahasa yang amat biasa dengan memanfaatkan Makna leksikal yang kemudian dirubahnya dengan memanfaatkan makna gramatikan seperti “bodoh” menjadi “Kebodohan” dan sebagainya. Keinginan Deddy menyajikan sebuah hidangan yang lezat bagi penikmat puisi (Bahwa masih ada hal yang ganjil dan mengganjal di bumi pertiwi ini, dan sebagai pemuda Deddy wajarlah mengemukakan kemarahannya melaui puisi ini) dengan pola ucap yang apik bagi saya puisi ini telah selamat dan nikmat untuk disajikan. Di puisi ini saya hanya menemukan kata keseharian belum menemukan kata-kata baru dan semoga saya menemukan di puisi Deddy yang lain atau puisi penyair lainnya. Lantas apa lagi yang dapat saya katakan? Selain berseru pada diri sendiri dan berharap satu seruan dengan yang lain “Mari menggali dan menggali puisi hingga dalam sedalam-dalamnya!”
Demikianlah esai yang amat sederhana ini saya buatkan sebagai hadiah Ulang tahun Deddy Firtana Iman, walau cukup terlambat, lebih baik dari pada tidak sama sekali. Bertambah usia moga bertambah dewasa karya-karyanya. Sukses selalu!
Cilegon-Banten
24 Juni 2012
Sumber: Bengkel Puisi
No comments:
Post a Comment