Beranda Judul

Saturday, 7 December 2013

Jarum Suntik


Jarum Suntik
Karya Deddy Firtana Iman
 
setiap lelap terhenti dingin
aroma tabir kata, dekat,
kusut membentuk ketakutan
resah takdir sajak biru.

berbisik lorong manja kepada daun
gugur selaksa malu mengungkapkan
“maaf, anakmu tak tertolong!”
karena takut tertular rasa sakit
serupa di badan, ingatan recehan
di bawah bantal gulingmu.

2013

Deddy Firtana Iman, bergiat di Komunitas Kanot Bu.

Sumber: Serambi Indonesia

Rayuan Batu


Rayuan Batu
Karya Deddy Firtana Iman
 
tak ada yang mesti
ditunggu. bendera partai akan
menjamah setiap dinding toko,
trotoar, baliho, hingga pada tiang lampu
penerang jalan di malam hari.
sesekali anak-anak iseng melubangi
selebaran poster mereka. entah itu rambut,
mata, kumis atau jenggotnya. agar terlihat
seperti bajak laut yang disiarkan di televisi
sehabis ngompol untuk yang kesekian kalinya.

2013

Deddy Firtana Iman, bergiat di Komunitas Kanot Bu.

Sumber: Serambi Indonesia


Saturday, 24 August 2013

Nyanyian Tanah Air




Nyanyian Tanah Air
Karya Deddy Firtana Iman

Perjuangan belum berakhir
hidup atau mati masih menangisi
ratapan kehidupan anak pelangi
di bawah jembatan gantung.

Getaran tanah telah menghempaskan
gelombang syair iringan bendera
di simpang lima bersama kelelahan.

Tanah dan air telah melepuh
menjadi kenangan kuburan massal
di akhir tahun yang lalu.

Dan hanya nyanyian kosong
melepas rindu di bulan Agustus

2013

* Deddy Firtana Iman, bergiat di Komunitas Kanot Bu.


Sumber Serambi Indonesia
Minggu, 25 Agustus 2013

Tak mampu bayar penerbit, ini buku kami terbitkan sendiri



Tak mampu bayar penerbit, ini buku kami terbitkan sendiri

Menerka Gerak-Gerik Angin @Herman RN


HEMBUSAN bayu dan suhu terik tak mampu mengalahkan semangat beberapa anak muda di Taman Sari Banda Aceh. Mereka sedang menikmati pagelaran Piasan Seni 2013 Kota Banda Aceh, yang berlangsung 21-24 Agustus 2013.

Beberapa lelaki sedang berkumpul santai pada stan masing-masing. Ada yang sedang memetik gitar, ada yang sibuk membereskan asesoris stannya. Seorang lelaki asyik menabuh genderang di barisan stan Sastra. Tampak pula beberapa lelaki lain sedang golek-golek di ruang 9 x 3 meter itu.

Stan itu mestinya 3 x 3 meter. Hanya saja, ada tiga komunitas sastra yang membuka tabir stan mereka sehingga stan itu tampak panjang, bersatu mejadi 9 meter. Ada Komunitas Jeuneurop, Komunitas Kanot Bu, dan Forum Sastra Kedai Kopi.

“Kami sepakat tidak menyekat stan kami seperti stan orang lain. Ini sastra. Orang-orang sastra harus bersatu,” ujar Idrus dari Komunitas Kanot Bu.

Bagian depan setiap stan terpajang sejumlah buku. Pada stan Komunitas Jeuneurop ada buku Negeri dalam Sepatu. Buku yang diterbitkan oleh Bandar Publishing itu ditulis oleh Zahra Nurul Liza, dkk.

Yang lebih menarik adalah buku-buku yang terpajang pada halaman stan Kanot Bu. Di sana ada Sang Sui kumpulan sajak Idrus bin Harun, Reza Mustafa, Fuadi Syukri, Edi Miswar. Ada juga Setelah Putera Mahkota Dipancung kumpulan cerpen Edi Miswar, Menerka Gerak-Gerik Angin puisi Deddy Firtana Iman, Risalah Waroeng Kopi esai Reza Mustafa dan Idrus bin Harun.

Yang membuat buku-buku itu menarik adalah perkara penerbit. Buku itu mereka terbitkan secara indie dengan kertas kuarto yang sudah “dipotong” seukuran B5. Nama penerbitnya juga unik, tansopakoPRESS. Jika dimaknai kosa kata Aceh itu kurang lebih ‘Tak ada yang peduli PRESS’.

Buku-buku itu sudah mereka terbitkan sejak dua tahun terakhir. Pengakuan anggota Komunitas Kanot Bu, mereka sengaja mencetak buku itu alakadar dengan jumlah yang alakadar pula karena tersangkut dengan dana cetak.

“Kami tak mampu membayar penerbit, maka kami ceta
k sendiri,” ujar Deddy Firtana Iman.

Tahun 2013 ini, Kanot Bu dengan tansopakoPRESS-nya menerbitkan dua buku lagi. Buku itu berjudul Perempuan Aroma Hujan puisi Cut Dini Desita dan Hikayatul Hisbah kumpulan hikayat Fuady, Reza Azhar, Idrus bin Harun.

Lagi-lagi mereka hanya menggunakan jasa fotokopi dan mereka jilid buku-buku itu seadanya pada percetakan lepas. Itu semua terpaksa mereka lakukan, karena mereka belum mampu membayar penerbit.
“Kami merasa bertanggung jawab mengisi kekosongan buku-buku di Aceh, maka kami berusaha menerbitkan karya-karya kami. Kelihatannya memang seperti main-main, tapi kami sungguh-sungguh. Hanya saja, inilah kemampuan kami,” tutur Fuady.

Saat disinggung soal ISBN, menurut Fuady, tak ada hukum di negeri ini yang melarang orang menerbitkan buku hanya karena tak ada ISBN. “Biaya cetak fotokopi saja kami rogoh dari kantong sendiri. Kami jual buku ini dengan murah hanya untuk mengganti harga cetak. Dengan percetakan seadanya begini, bagaimana mungkin kami cetak pakai ISBN segala?” katanya.

Harga buku-buku mereka semua dibandrol Rp25 ribu per buku, untuk semua judul dan genre. Kata Fuady, mereka sudah merasa puas dan nikmat tatkala ada anak-anak Aceh yang mau membaca buku-buku tersebut.

“Soal kualitas karya, insya Allah kami tidak main-main. Sebagian besar karya dalam buku-buku kami adalah karya-karya kami yang sudah dipublikasi pada beberapa media. Mungkin kelemahan kami hanya soal belum mampu membayar penerbit,” papar alumnus Gelanggang Mahasiswa dan Satra Indonesia (Gemasastrin) FKIP Unsyiah itu.

Dalam anggapan Deddy dan kawan-kawan, menerbitkan buku zaman sekarang sudah beda dengan zaman dulu. Jika dulu, penulis dapat bayaran dari penerbit, sekarang malah penulis yang harus bayar penerbit.

Namun, tambah Deddy, ini tak berlaku pada semua penerbit. “Beberapa penerbit masih ada yang profesional, mereka bayar penulis. Hanya saja, sebagian penerbit harus kita bayar kalau mau karya kita diterbitkan,” ujar Deddy, mahasiswa angkatan 2006 FKIP Unsyiah yang akan wisuda akhir bulan ini.[]

Herman RN

Sumber Atjeh Post


Friday, 2 August 2013

Penggalian Kesan Puitik Dari Kata Biasa Jadi Tak Biasa Di "Januari" Deddy Firtana Iman



Karya Muhammad Rois Rinaldi

Tidak lain tidak bukan, jadi penyair adalah kecelakaan besar! penyair-penyair adalah mereka yang setiap harinya dibuat gelisah dan susah, tak jarang sampai mendesah lelah namun enggan juga menyerah. Seorang penyair setiap harinya akan berkutat pada kata dan kata yang kemudian diolah dalam rasa dengan berbagai bumbu khas sehingga disajikan di meja pembaca atau boleh jadi hanya dibiarkan tertutup tudung saji, namun tentu bukan jadi pilihan jika puisi dibiarkan basi kan?

Karya sastra (puisi) baik liris, imajis dan sebagainya merupakan buah karya dari pengamatan, pendalaman, pemahaman, dari keadan-keadaan yang dilihat olah kasat mata baik dirasakan sendiri atau menimpa orang di sekitar atau bahkan melihat berita di televise dan sebagainya. Dan boleh jadi juga buah perjalanan kebatinan yang amat mengesankan sehingga patut untuk diabadikan dalam puisi. Segalanya boleh jadi, sinyal-sinyal mampu merangsang hati terdalam untuk merangkai kata-kata demi meluapkan isi hati seutuhnya. Di sinilah ruang masak dengan dapur dan bumbu khas itu berada, tergantung pada tebal tipisnya dinding-dinding perasaan, dan juga pengalaman-pengalaman kebatinan yang dimiliki.  Lantas bagaimana dengan proses pemilihan kata (diksi)? Yang tujuannya adalah untuk memberikan kebaruan menu yang tentunya baik, sehat dan bergizi serta bermanfaat bagi para pembaca.

Dengan berlandaskan kegelisahan demi kegelisahan akan proses kretivitas kepenulisan inilah yang membuat para penyair, terutama yang masih berjiwa muda melakukan penggalian-penggalian kesan puitik pada kata-kata yang biasa digunakan dalam bahasa keseharian atau pun pada kata-kata yang asing sama sekali di kuping. Banyak sekali kemungkinan penggalian, yang jadi penghalang adalah keberanian penyair itu sendiri untuk mendobrak konvensi demi menemukan konvensi. Karena diakui atau tidak penyair adalah pengikut dan pembuat konvensi!

Begitu pun dengan Deddy Firtana Iman , kelahiran Banda Aceh 21 Juni 1986. Penerima pendidikan setelah di SMA Negeri Banda Aceh lantas lanjut ke FKIP UNSYIAH Pendidikan Bahasa Dan Sastra Indonesia  ini, rupanya tengah menggali kesan-kesan puitik dari rentetan kata keseharian. Dan inilah yang akan memperkaya kazanah Bahasa Indonesia juga kazanah kesusastraan Indonesia. Jadi ingat si Rumput Bergoyang (Ebit G Ade) Kepada Pemeluk Teguh (Chairil Anwar) dan kata-kata lainnya yang jadi amat melekat pada kedirian ucap penyairnya. Ya! Amat diperlukan dan boleh jadi ini serupa himbauan tanpa abai pada bahasa yang telah ada sebelumnya, penyair masa kini semestinya mencari dan terus menggali kemungkinan-kemungkinan dari kata-kata yang setiap harinya berseliweran tak usah mencari yang aneh-aneh selalu, cukup yang sederhana demi memperdalam kesan puitik dalam karya-karyanya. Dan tentu yang tidak kalah pentingnya adalah mempertajam kepekaan diri akan realita dan mimpi serta seluruh dekor-dekor keberadaan Robb, Manusia, dan alam semesta ini. 

Apakah benar Deddy tengah menggali kesan puitik dari kata-kata keseharian? Agar dapat mejawab pertanyaan ini, mari kita telusuri puisi berjudul  “Januari”

Januari
Karya: Deddy Firtana Iman

Korban kekerasan
Tikamlah aku
Sebelum saatnya

Korban keganasan
Injaklah aku
Sebelum kumarah

Korban kebohongan
Tipulah aku
Sebelum kusadar

Korban kebencian
Hinalah aku
Sebelum aku pergi

Januari
Itulah cerita negeri kami
Para penjilat lidah menari
Sebelum esok berganti Juni

2009

Dimuat di majalah "Lensa Unmuha" edisi VI/Maret 2009



Dengan memberi judul puisi “Januari” konsekuensinya adalah pada awal pembacaan tentu yang tertangkap adalah sebuah bulan antara dua belas bulan lainnya, yakni Januari (saja) daya tariknya akan sedikit kurang, namun akan lain hal jika ditelisik dari ruang konotatifnya atau makna yang tidak sebenarnya. Bulan Januari bisa saja berisikan rangkuman perjalanan hidup, gambaran sebongkah luka, wajah kekasih, wajah lawan dan kawan dan Hujan, Badai, Kematian, banyak hal yang bisa ditemukan dalam satu bulan saja. Lantas dalam puisi ini apakah yang terjadi dengan januari dan apakah korelasinya dengan penggalian kesan puitik pada kata-kata keseharian?  Mari lanjutkan penelusuran!


Korban kekerasan
Tikamlah aku
Sebelum saatnya

Pada bait pembuka, dapat dirasakan sebentuk kegeraman yang sebegitu garang. Dan di sana hanya ada kata-kata yang amat biasa saja kan? Tapi dengan bahasa sederhana bisa menghadirkan hentakan yang cukup menggetarkan relung pembaca, di sini masih meninggalkan tanda tanya, ada apa dengan “Korban kekerasan”? Mengapa harus menikam “Sebelum waktunya”?

Korban keganasan
Injaklah aku
Sebelum kumarah

Pada bait kedua masih dengan pola yang sama, “Korban keganasan” masih belum ditemukan dan kemarahan masih menderu jeram serta keterangan “Sebelum kumarah” menjadi penjelasan, paling tidak sedikit jelas apa maksud “Sebelum waktunya” di bait pertama. Dan belum saatnya menyimpulkan. Bagaimana dengan diksinya? “Korban/ganas/injak/aku/belum/marah” diksi-diksi pembangun puisi ini tetap biasa saja dan tetap sanggup menggambarkan sesuatu.


Korban kebohongan
Tipulah aku
Sebelum kusadar

Di sini, sebelum terjawab tentang “Korban keganasan” itu sudah dimunculkan symbol yang lain “Korban kebohongan” yang lagi-lagi bikin saya bertanya-tanya akan maksud symbol tersebut. Yang amat mendasar dan patut diajukan adalah, Mengapa korban yang seolah salah? Tentu belum usai penelusuran, sebaiknya tidak membuat kesimpulan. Mari kita urai kembali ada kata apa saja dalam bait ini. “Korban/bohong/tipu/aku/belum/sadar” dengan kata-kata seadanya itu, apakah yang dapat disampaikan? Tentu saja sampai di mata baca saya, bahwa masih juga bahkan kian meradang saja kemarahan itu. Bikin penasaran memang, mari lanjutkan!


Korban kebencian
Hinalah aku
Sebelum aku pergi

Pada bait ini masih juga menyulam kegeraman demi kegeraman yang bikin saya tambah penasaran juga tambah bertanya-tanya. Kali ini symbol yang dimunculkan adalah “Korban kebencian” larik “Hinalah aku” jadi sebuah tantangan yang benar-benar menantang, meski ada aroma pasrah, aroma geramnya jauh lebih kental dan bait ini pun bagi saya cukup berhasil memberi gambaran akan sebuah keadaan dan kenyataan. Diksinya? Mari temukan lagi! “Korban/Benci/Hina?Aku/Belum/Aku/Pergi” masih kata-kata biasa saja kan?


Januari
Itulah cerita negeri kami
Para penjilat lidah menari
Sebelum esok berganti Juni

Pada bait terakhir inilah akhirnya samar-samar saya temukan maksud, samar-samar? Bukankah diksi-diksi pembangun puisi ini biasa saja? Itulah hebatnya penyair, dari kata biasa masih sanggup menyimpan misteri. Pada bait terakhir terdapat sebuah kesimpulan bahwa si pembenci, pembohong, pengumpat, pendengki, pendendam, penipu dan sebagainya adalah si korban itu sendiri. Korban ketidaksanggupan mengemban amanah rakyat! Yang jadikan puisi ini misteri adalah larik terakhir “Sebelum juni”? ada apa dengan Juni? Rentang waktu yang cukup panjang sekitar empat bulan lagi baru menemu Juni. Semoga saja Deddy membuat puisi juni termaksud di atas itu. Agar dahaga keingintahuan saya terlepaskan.
.
Menelusuri puisi “Januari” dengan bahasa-bahasa yang amat biasa dengan memanfaatkan Makna leksikal yang kemudian dirubahnya dengan memanfaatkan makna gramatikan seperti “bodoh” menjadi “Kebodohan” dan sebagainya. Keinginan Deddy menyajikan sebuah hidangan yang lezat bagi penikmat puisi (Bahwa masih ada hal yang ganjil dan mengganjal di bumi pertiwi ini, dan sebagai pemuda Deddy wajarlah mengemukakan kemarahannya melaui puisi ini) dengan pola ucap yang apik bagi saya puisi ini telah selamat dan nikmat untuk disajikan. Di puisi ini saya hanya menemukan kata keseharian belum menemukan kata-kata baru dan semoga saya menemukan di puisi Deddy yang lain atau puisi penyair lainnya. Lantas apa lagi yang dapat saya katakan? Selain berseru pada diri sendiri dan berharap satu seruan dengan yang lain “Mari menggali dan menggali puisi hingga dalam sedalam-dalamnya!”
Demikianlah esai yang amat sederhana ini saya buatkan sebagai hadiah Ulang tahun Deddy Firtana Iman, walau cukup terlambat, lebih baik dari pada tidak sama sekali. Bertambah usia moga bertambah dewasa karya-karyanya. Sukses selalu!

Cilegon-Banten
24 Juni 2012

Sumber: Bengkel Puisi


Thursday, 25 July 2013

"Mawar" Aris Irawan yang Mencari Kehidupan


Mawar
Karya Aris Irawan

Saat senja aku mencari mawar
Diantara belukar rupawan
Akankah mau dihinggapi kumbang kesepian?
Rupawan menyingkirlah
Sisakan satu dengan mawar terindah
Yang rela dirangkai
Yang mau dihias di hati
Baik, Ini yang terbaik
Tapi rupawan dimana mawarmu
Apa kau tak bawa?
Atau memang kau tak punya?
Aku tak terlalu egois kan, rupawan?.
..Ah, bodo
Masih banyak mawar di belukar sana
Akan kutemukan mawar lain dari rupawan lain Yakin!

            Bicara persoalan bunga mawar, kita selalu diindahkan dengan penampakan tangkai yang berduri dan berwarna hijau. Di taman bunga atau sekedar melihatnya di halaman rumah kita sendiri. Namun, bunga itu ada juga yang tak sengaja kita alamatkan di dalam pikiran kita. Seperti contoh pada puisi di atas yang juga berjudul “Mawar”. Berikut perkenalannya di antara puisi tersebut:

Saat senja aku mencari mawar
Diantara belukar rupawan
Akankah mau dihinggapi kumbang kesepian?

            Telah kita ketahui permulaannya puisi itu hanya menggambarkan letak posisi mawar yang ingin dibicarakan oleh si “aku” pada puisi tersebut. “Diantara belukar rupawan” dan “Akankah mau dihinggapi kumbang kesepian?” Sampai di situ puisi ini telah mengajarkan kita tentang mawar dan kumbang. Baik buruknya sesuatu itu akan dimulai oleh pengelihatan kita sebagai manusia:

Sisakan satu dengan mawar terindah
Yang rela dirangkai
Yang mau dihias di hati

            “Sisakan satu dengan mawar terindah/ Yang rela dirangkai / dan  Yang mau dihias di hati”. Jawaban si penyair telah menguraikannya untuk si pembaca tentang mawar yang ingin dirangkai di dalam hati. Sebagai hiasan keindahan. Mungkin. Dan jawaban itu bias dinilai sebagai penerimaan atau sekedar melupakan penyesalan untuk mendapatkan yang lain:

Masih banyak mawar di belukar sana
Akan kutemukan mawar lain dari rupawan lain Yakin!

            Jawaban di akhir puisi ini sebagai penentu jawaban kenapa bunga mawar sebagai judul puisi dan kenapa juga si “aku” masih mencari penggantinya yang lain sebagai pengisi kekosongan di taman bunga? Atau sang penyairnya telah menemukan jawabannya sendiri ketika puisi ini belum selesai ditulisnya.

Sumber: Cendol

Wednesday, 24 July 2013

Apa Kata Deddy Tri Riyadi Tentang Cinta






      Suatu kebanggaan tersendiri bagi saya bisa mewawancarai penyair Deddy Try Riyadi. Penyair yang satu ini kerab sekali sajaknya hadir di surat kabar nasional seperti Tempo dan Kompas. Ada sesuatu yang menarik di sini tentang pengambaran obrolan mengenai “sajak” dan “cinta” yang membuat sang penyair telah lebih dulu mengabulkan jawaban itu semuanya. Tentunya pertanyaan itu ialah hasil wawancara di dunia maya. Berikut hasil wawancara tersebut:

1.  Bagaimana perasaan anda waktu jatuh cinta?
Jatuh cinta itu seperti sehelai daun yang jatuh dan dia mengingat betul erat tangkai yang melepaskannya.

2.  Suasana yang meliputi waktu itu bagaimana?
Malam seperti umumnya malam di kota besar. Panas, bintang tertutup polusi. Tidak ada yang romantis.

3.  Apakah anda mendapat semangat karena jatuh cinta?
Jatuh cinta itu sendiri sebuah semangat, seperti tadi saya ibaratkan daun itu selalu ingin kembali ke tangkainya.

4.  Pernahkah anda ditolak oleh seorang kekasih pujaan anda. Bagaimana perasaan anda waktu itu?
Saya orangnya pemalu. Jarang sekali mengungkapkan isi hati pada pujaan hati. Jadi, saya jarang ditolak.

5.  Banyakkah sajak yang anda ciptakan karena jatuh cinta?
Sajak saya kebanyakan sajak eksperimen, sajak yang saya buat karena saya menemukan hal-hal yang berkesan, sehingga menurut saya bagus untuk dibuat jadi sajak. Dan karena itu, lebih tepatnya disebut sajak jatuh hati tapi pada banyak hal, bukan cuma kekasih.

6.  Sajak apakah yang pernah anda berikan kepada kekasih anda untuk mengungkapkan isi hati anda?
Secara khusus untuk saya berikan ke dia belum pernah ada. Saya lebih suka orang membaca sajak saya dan mengartikannya sebagai apa saja, untuk siapa saja. Tapi, sajak saya kebanyakan sajak yang saya tempelkan pada pembicaraan intim, seperti sepasang kekasih.

7.  Bisa disebutkan satu contoh judul puisi yang anda ungkapkan untuk seorang kekasih anda?
Saya pernah menuliskan sajak “Berjalan di Sampingmu” dan dalam menuliskannya itu memang saya tujukan untuk istri dan anak saya.  Tapi tidak saya tuliskan secara khusus untuk mereka.

8.  Jika disuruh memilih, anda lebih memilih seorang kekasih atau sajak anda sebagai kekasih dalam hidup anda?
Hidup itu puitis. Segalanya bisa dijadikan tulisan atau puisi. Menyadari tanggungjawab sebagai anak manusia, saya memilih membahagiakan manusia yang lain. Sajak-sajak saya, adalah salah satu cara.

9.  Mengenai seorang kekasih, anda menulis sajak dimulai dari mana. Misalnya dari mata, rambut atau bibirnya?
Saya lebih suka menuliskan suasana yang ada. Hal-hal di luar tubuh dan kepribadian. Jendela yang rapuh, cat di pintu yang mengelupas, atau larik-larik cahaya yang terperangkap lantai keramik adalah hal-hal yang mengutuhkan cara saya memandang seorang kekasih.

10.  Bagi anda, hal yang paling menarik dari seorang wanita itu dinilai dari mananya?
Banyak hal yang sangat menarik bila bicara soal wanita. Saya pernah menuliskan sajak “Cepol” yang terinspirasi dari gaya rambut. Secara umum, wanita akan terlihat menarik jika sudah bicara. Karena berbicara itu sepertinya domain dan keahlian mereka. Nah, bagaimana mereka bicara akan membuat gambaran lengkap dari dirinya. 

11.  Apakah ada perbedaan perasaan jatuh cinta pada pertama kali, kedua dan seterusnya?
Saya bukan orang yang pandai bicara soal jatuh cinta. Saya mengimani betul bahwa kasih mula-mula dalam sebuah pertemuan dan pernikahan itu yang akan membuat kita kembali merenungkan perjalanan hidup kita terutama ketika sudah menikah.

12. Bagi anda, cemburu itu seperti apa?
Cemburu itu seperti panas dalam. Kita merasa harus terus mendapatkan perhatian, tapi tidak sadar bahwa itu asalnya dari dalam diri kita sendiri. Dari hati.


Sumber foto: Dedy Tri Riyadi