"Hanya ada satu kata: lawan!” Begitulah sebaris kata-kata yang terdapat pada judul “Peringatan”, karya Whiji Thukul. Masih menghiasi di antara pemikiran kita hingga hari ini. Meskipun perlawanannya telah berakhir ketika “Wiji Thukul diculik dan dilenyapkan oleh kaki tangan rezim Orde Baru karena puisi-puisinya serta aktivitasnya di dunia politik praktis, namun semangat perjuangan yang tercermin dalam sajak-sajaknya akan terus hidup.” (Sambodja, 2008). Walau diculik dan dilenyapkan, namun karya-karyanya tetap diikuti dan diapresiasikan hingga hari ini. Baik secara perorangan maupun secara nasional dengan konsep dan ideologi kekiniannya.
Antara Wiji Thukul dan W.S. Rendra, sama-sama mengusung tema yang sama walau ada beberapa puisi-puisi cinta yang dituliskan oleh W.S Rendra. Namun tetap bertemakan sosial yang cukup dikenang oleh pembacannya hingga hari ini.
Sehingga tidak mengherankan jika W.S Rendra, masih dihidupkan dengan “Sajak Sebatang Lisong”-nya. Baik yang dikatakan pada tiga baris di bait pertama, /dan di langit/ dua tiga cukong mengangkang,/ berak di atas kepala mereka//. Tentang perlawanan dan ungkapan rasa ketidakadilan dari para cukong yang meraut keuntungan. Dan /membentur jidat penyair-penyair salon,/ yang bersajak tentang anggur dan rembulan,// yang hanya bermain dengan puisi-puisi cinta. Tidak memperdulikan tentang apa yang sedang terjadi di sekitarnya. Baik secara ril maupun non ril.
Jika bercerita tentang keadilan dari puisi kekinian, maka Ramatsyah pun juga patut dikatakan sebagai penyair yang mengusung jalur yang sama-sama digariskan oleh Wiji Thukul dan W.S Rendra. Meski karya-karyanya hanya mampu dilahap di selembar koran lokal yang ada di Banda Aceh. Tepatnya di koran Serambi Indonesia dan Harian Aceh, seperti pada puisi di bawah ini:
Pedasi di Atas Kursi
Lepas suara siap berlaku
Para tuan pedasi yang bercinta
Bersilat lidah di atas pentas
Berkata janji si mulut setan
Senang alami di awal hari
Telah terpilih si tuan raja
Kami berdiri berharap itu janji
Menatap sang tuan yang berdasi
Di atas meja dan kursi putar
Selembar kertas terhitung rupiah
Hitungan jutaan sampai tak terhingga
Lengah mata Tuan Raja
Silaunya uang ia berdalih
Janji diingkari uang dicuri
Kami si miskin terlena akan janji
Terbuai kata jelmaan iblis
Kini, kami hanya menanti
Sang tuan raja seperti dalam mimpi
Rahmatsyah, 28 Maret 2012
Pada bait puisi yang ketiga, Rahmatsyah mengatakannya seperti ini. /Di atas meja dan kursi putar/ Selembar kertas terhitung rupiah/ Hitungan jutaan sampai tak terhingga/ Lengah mata tuan raja/ Silaunya uang ia berdalih//. Tidak dipungkiri jika di bait itu Tuan Raja ialah sebagai para penguasa di negeri ini. Menggunakan kekuasaan dan jabatannya hanya untuk menikmati kekayaan dari hasil yang bukan haknya. Hal tersebut terbukti pada bait keempat, menjelaskan perihal tentang /Janji diingkari uang dicuri/ Kami si miskin terlena akan janji/ Terbuai kata jelmaan iblis//. Tentu saja, hal tersebut membuat berang sang penyair yang juga mengatakan di bait kelimanya. /Kini, kami hanya menanti/ Sang Tuan Raja seperti dalam mimpi//. Yang juga merindukan sang penguasanya, walau hanya diungkapkan di “dalam mimpi”.
Meskipun puisi yang berjudul “Pedasi di Atas Kursi” masih bermain dengan penyampaian berpola rima ab-ab, pada bait kedua puisi tersebut. Namun puisinya mampu mempertegaskan pemikirannya kepada kita sebagai pembaca. Untuk merenungi tentang hak dan kewajiban sebagai pemimpin yang baik. Baik untuk diri sendiri maupun untuk orang lain.
Pada puisi di bawah ini pun menceritakan hal yang sama. Tetapi lebih difokuskan secara nasional, kepada pemimpin di negeri ini yang juga dijelaskan pada pengamatannya secara mendalam. Berikut sajian puisinya, perihal mengenai pemimpin dusta tersebut.
Negeri dan Pemimpin Dusta
Untuk apa hidup di negeri ini
Bila kalian hanya membuat kami menangis
Untuk apa kami memilih pemimpin
Bila sang pemimpim tak memimpin
Kami bagai makanan yang hanya kau lahap waktu lapar
Kenyangkah kalian sekarang dengan uang kami
Kau makan harta kami
Kau renggut sejahtera
Rakyat jelata hanya berbaring di atas kasur tua
Sedang kau mimpi indah dipembaringan mewah
Rakyat jelata kini duduk tak bisa bersuara
Jiwa mereka meronta tanpa bertindak
Mahasiswa berdiri di hadapan kalian
Mewakili mereka yang sedang istirahat, lalu mencari nafkah
Sesuap nasi hasil keringat
Kini beban mereka bertambah karena kalian
BBM kau naikkan,
Ah, pembohonglah kalian
Berjanji pada kami
Namun, kau hancurkan kemudian
Negeri dan pemimpin dusta
Rahmatsyah, 24 Maret 2012
Setelah membaca dan memahami perihal puisi yang berjudul “Negeri dan Pemimpin Dusta” tersebut. Ada serangkaian kejadian yang selalu berkaitan, sambung-menyambung menjadi suatu kejadian di setiap bait puisinya. Seperti pada bait pertama, yang begitu tegas dikatakannya /Bila sang pemimpim tak memimpin/ Kami bagai makanan yang hanya kau lahap waktu lapar//. Pada bait kedua, ditegaskan pula dengan dua baris yang juga menyatakan kelangsungan semasa penguasa memimpin negeri ini. /Kau makan harta kami/ Kau renggut sejahtera//. Dan pada bait terakhir inilah sang penyair berkata dengan lantang. /Ah, pembohonglah kalian/ Berjanji pada kami/ Namun, kau hancurkan kemudian//. Perihal tentang janji palsunya, tentang menaikkan harga BBM dan berbohong di balik kepemimpinannya. Adalah sebagai ungkapan dari “Negeri dan Pemimpin Dusta” tersebut, yang telah dinyatakan dengan ketegasannya sebagai penyair di negeri ini.
Dari kedua judul puisi tersebut, setelah membacanya dan memahami tentang apa yang ingin disampaikan oleh penyair Rahmatsyah tersebut. Adalah serangkaian pada masa-masa yang juga terjadi di akhir-akhir ini, tepatnya di “Negeri dan Pemimpin Dusta” ini. Ia menulis puisi yang bisa dimengerti oleh kalayak ramai tentang kenyataan hidup orang-orang yang melarat, dihimpit kemiskinan. Dan, pada akhirnya bahwa di tangan penyair, fakta sosial bisa menjadi kekuatan yang sangat luar biasa. Ia mengungkap fakta ketimpangan sosial dengan kepekaan kepenyairannya. Namun, kata-kata sang penyair seperti Rahmatsyah memiliki perjalanan yang panjang. Entah kapan, semoga sang penyair mampu menghasilkan karya-karyanya, hingga akhir hayatnya.
Antara Wiji Thukul dan W.S. Rendra, sama-sama mengusung tema yang sama walau ada beberapa puisi-puisi cinta yang dituliskan oleh W.S Rendra. Namun tetap bertemakan sosial yang cukup dikenang oleh pembacannya hingga hari ini.
Sehingga tidak mengherankan jika W.S Rendra, masih dihidupkan dengan “Sajak Sebatang Lisong”-nya. Baik yang dikatakan pada tiga baris di bait pertama, /dan di langit/ dua tiga cukong mengangkang,/ berak di atas kepala mereka//. Tentang perlawanan dan ungkapan rasa ketidakadilan dari para cukong yang meraut keuntungan. Dan /membentur jidat penyair-penyair salon,/ yang bersajak tentang anggur dan rembulan,// yang hanya bermain dengan puisi-puisi cinta. Tidak memperdulikan tentang apa yang sedang terjadi di sekitarnya. Baik secara ril maupun non ril.
Jika bercerita tentang keadilan dari puisi kekinian, maka Ramatsyah pun juga patut dikatakan sebagai penyair yang mengusung jalur yang sama-sama digariskan oleh Wiji Thukul dan W.S Rendra. Meski karya-karyanya hanya mampu dilahap di selembar koran lokal yang ada di Banda Aceh. Tepatnya di koran Serambi Indonesia dan Harian Aceh, seperti pada puisi di bawah ini:
Pedasi di Atas Kursi
Lepas suara siap berlaku
Para tuan pedasi yang bercinta
Bersilat lidah di atas pentas
Berkata janji si mulut setan
Senang alami di awal hari
Telah terpilih si tuan raja
Kami berdiri berharap itu janji
Menatap sang tuan yang berdasi
Di atas meja dan kursi putar
Selembar kertas terhitung rupiah
Hitungan jutaan sampai tak terhingga
Lengah mata Tuan Raja
Silaunya uang ia berdalih
Janji diingkari uang dicuri
Kami si miskin terlena akan janji
Terbuai kata jelmaan iblis
Kini, kami hanya menanti
Sang tuan raja seperti dalam mimpi
Rahmatsyah, 28 Maret 2012
Pada bait puisi yang ketiga, Rahmatsyah mengatakannya seperti ini. /Di atas meja dan kursi putar/ Selembar kertas terhitung rupiah/ Hitungan jutaan sampai tak terhingga/ Lengah mata tuan raja/ Silaunya uang ia berdalih//. Tidak dipungkiri jika di bait itu Tuan Raja ialah sebagai para penguasa di negeri ini. Menggunakan kekuasaan dan jabatannya hanya untuk menikmati kekayaan dari hasil yang bukan haknya. Hal tersebut terbukti pada bait keempat, menjelaskan perihal tentang /Janji diingkari uang dicuri/ Kami si miskin terlena akan janji/ Terbuai kata jelmaan iblis//. Tentu saja, hal tersebut membuat berang sang penyair yang juga mengatakan di bait kelimanya. /Kini, kami hanya menanti/ Sang Tuan Raja seperti dalam mimpi//. Yang juga merindukan sang penguasanya, walau hanya diungkapkan di “dalam mimpi”.
Meskipun puisi yang berjudul “Pedasi di Atas Kursi” masih bermain dengan penyampaian berpola rima ab-ab, pada bait kedua puisi tersebut. Namun puisinya mampu mempertegaskan pemikirannya kepada kita sebagai pembaca. Untuk merenungi tentang hak dan kewajiban sebagai pemimpin yang baik. Baik untuk diri sendiri maupun untuk orang lain.
Pada puisi di bawah ini pun menceritakan hal yang sama. Tetapi lebih difokuskan secara nasional, kepada pemimpin di negeri ini yang juga dijelaskan pada pengamatannya secara mendalam. Berikut sajian puisinya, perihal mengenai pemimpin dusta tersebut.
Negeri dan Pemimpin Dusta
Untuk apa hidup di negeri ini
Bila kalian hanya membuat kami menangis
Untuk apa kami memilih pemimpin
Bila sang pemimpim tak memimpin
Kami bagai makanan yang hanya kau lahap waktu lapar
Kenyangkah kalian sekarang dengan uang kami
Kau makan harta kami
Kau renggut sejahtera
Rakyat jelata hanya berbaring di atas kasur tua
Sedang kau mimpi indah dipembaringan mewah
Rakyat jelata kini duduk tak bisa bersuara
Jiwa mereka meronta tanpa bertindak
Mahasiswa berdiri di hadapan kalian
Mewakili mereka yang sedang istirahat, lalu mencari nafkah
Sesuap nasi hasil keringat
Kini beban mereka bertambah karena kalian
BBM kau naikkan,
Ah, pembohonglah kalian
Berjanji pada kami
Namun, kau hancurkan kemudian
Negeri dan pemimpin dusta
Rahmatsyah, 24 Maret 2012
Setelah membaca dan memahami perihal puisi yang berjudul “Negeri dan Pemimpin Dusta” tersebut. Ada serangkaian kejadian yang selalu berkaitan, sambung-menyambung menjadi suatu kejadian di setiap bait puisinya. Seperti pada bait pertama, yang begitu tegas dikatakannya /Bila sang pemimpim tak memimpin/ Kami bagai makanan yang hanya kau lahap waktu lapar//. Pada bait kedua, ditegaskan pula dengan dua baris yang juga menyatakan kelangsungan semasa penguasa memimpin negeri ini. /Kau makan harta kami/ Kau renggut sejahtera//. Dan pada bait terakhir inilah sang penyair berkata dengan lantang. /Ah, pembohonglah kalian/ Berjanji pada kami/ Namun, kau hancurkan kemudian//. Perihal tentang janji palsunya, tentang menaikkan harga BBM dan berbohong di balik kepemimpinannya. Adalah sebagai ungkapan dari “Negeri dan Pemimpin Dusta” tersebut, yang telah dinyatakan dengan ketegasannya sebagai penyair di negeri ini.
Dari kedua judul puisi tersebut, setelah membacanya dan memahami tentang apa yang ingin disampaikan oleh penyair Rahmatsyah tersebut. Adalah serangkaian pada masa-masa yang juga terjadi di akhir-akhir ini, tepatnya di “Negeri dan Pemimpin Dusta” ini. Ia menulis puisi yang bisa dimengerti oleh kalayak ramai tentang kenyataan hidup orang-orang yang melarat, dihimpit kemiskinan. Dan, pada akhirnya bahwa di tangan penyair, fakta sosial bisa menjadi kekuatan yang sangat luar biasa. Ia mengungkap fakta ketimpangan sosial dengan kepekaan kepenyairannya. Namun, kata-kata sang penyair seperti Rahmatsyah memiliki perjalanan yang panjang. Entah kapan, semoga sang penyair mampu menghasilkan karya-karyanya, hingga akhir hayatnya.
Sumber:
Negeri dan Pemimpin Dusta (Harian Aceh, 08 April 2012)
Pedasi di Atas Kursi (Harian Aceh, 08 April 2012)
Foto: Abu Rahmat
Tulisan ini ada di catatan Facebookku.
"Titik Temu di Antara Dua Titik"
No comments:
Post a Comment