Sungai Hati
Karya Ambia Mursalin Iskandar II
Pikiran yang terus mengalir
Mengikuti waktu yang bergulir
Dalam sungai hati yang beriak
Dengan tenang tak pernah berteriak
Penyesalan gugur, jatuh dan melayang terbawa arus
Memberikan kesegaran terus menerus
Mengarahkan kesadaran ke jalan yang lurus
Pada catatanku yang berawal dari “Lurus yang Meluruskan”, sudah aku jelaskan tentang perjalan di antara tulisan puisi-puisi yang sebanding lurus. Dan kali ini, aku juga harus meluruskan “Sungai Hati” yang juga ingin mengalirkan airnya kepada hati yang tak ingin diasingkan ke lereng bukit yang bercabang dua, tiga atau empat.
Seperti pikiran-pikiran setiap manusia, ada air yang mengucur deras ketika kita sedang bermain dengan air. Tepatnya air itu kita hadirkan di atas kepala kita dengan gayung untuk membasuh dari segala kotoran, mungkin tepatnya aku mengatakan membasuh tubuh. Cukup membasuhnya saja dan jika ingin memakai bahan pembersih seperti sabun atau apalah yang kau inginkan, itu adalah bentuk dari tambahan-tambahan kecil menemadimu membersihkan diri. Agar sungai kehidupanmu mengalir ke dalam pipa-pipa pembuangan air.
Namun, semuanya kembali kepada aku dan kau sebagai sungainya. Serangkaian hati yang mengalir, tidak hanya disibukkan dengan diksi-diksi spontanitas yang gelap, lebih tepatnya lagi sungai itu nyata di puisi yang juga sedang aku suguhkan kepada tulisanku ini. Mari kita membacanya dengan aliran-aliran airnya, sehingga kita tahu “Sungai Hati” itu dikususkan untuk diri seseorang lawan penulis atau untuk kita sebagai pembacanya. Silahkan saja berandai—andai antara kau sebagai pembacanya dan juga aku sebagai penulisnya. Silahkan saja.
Rangkaian kata di atas yang mewakili “perenungan sejenak, pengasingan diri penulis dari dunia yang sesak menuju dunia tanya yang tanpa batas. Sebuah retorika, cermin diri, menatap jejak-jejak yang telah terpijak. Mengubah sesal menjadi hal yang positif. Meminta jawaban pada alam. Dan entah dengan angin yang terasa atau cahaya yang terlihat. Seketika berbisiklah alam tanpa suara, menuju hati.” Yang sedari awalnya perbincanganku dengan penulisnya. Itu adalah ungkapan dari sebuh mata air dan keluar di permukaan tanah, kemudian mengabarkannya kepada seluruh jalan air itu hingga sampai kepada kita si pembacanya. Tidak ada keraguan yang tidak mengalir atau terhenti di aliran air yang tanpa tujuan.Semuanya punya tujuannya masing. Selalu melengkapi dan selalu juga menghidupi tubuh-tubuh yang membutuhkan air. Seperti pada bait puisi yang aku utarakan di bawah ini:
Pikiran yang terus mengalir
Mengikuti waktu yang bergulir
Dalam sungai hati yang beriak
Dengan tenang tak pernah berteriak
“Pikiran yang terus mengalir,” sama seperti yang sedang kita alami di dunia yang nyata dan bebas sebebas-bebasnya. Saling kait-mengkaitnkan, “Mengikuti waktu yang bergulir,” tanpa sebuah hentian di kaki langit atau terhenti tanpa jejak dalam porosnya megikuti kesadarannya menuju yang paling terendah yaitu ke hati. Dan “Dalam sungai hati yang beriak” pun pernah juga kita terkejut dengan begitu banyaknya manusia-manusia mencari sesuatu yang entah apa yang dicarikan atau dibicarakannya. Semuanya “Dengan tenang tak pernah berteriak” tanpa kehendak hati yang ingin memaksakan diri untuk menentukan tujuannya ke dalam air laut yang asin. Semuanya tetap bersama dalam satu zat air yang sama dan kalaupun ada itu juga berkat dukungannya dari lawan jenisnya yaitu seorang wanita. “Sungai Hati” yang paling terdalam, tentang suatu jalan yang harus dipilih oleh sesamanya untuk sebuah jalan yang terbaik. Jalan menuju hati, kedamaian dan sebuah jalan rasa saling mencintai.
Dan kejelasan pada puisi “Sungai Hati” itu juga terlihat sebuah kejujuran dalam sebuah ungkapan yang memang benar-benar bermain di dalam zat yang sama. Sebuah keceriaan itu memang tidak jauh dan juga tidak berlawanan zat, sama-sama bermain dalam wadah tempat mereka berhenti dan bertemu. Sungai yang membuat mereka bertemu yang hanya berlawanan jenis tersebut. Untuk itu, akan dijelaskan seperti pada bait puisi yang juga akan menjelaskannya mengenai gambaran bagaimana sungai itu menghubungkan sebuah pertemuannya. Sehingga menyatu dalam ruang dan waktu yang sama-sama bermain di antara air yang juga sama. Di bawah ini, akan terlihat jelas bagaimana gambaran pada bait puisi tersebut:
Penyesalan gugur, jatuh dan melayang terbawa arus
Memberikan kesegaran terus menerus
Mengarahkan kesadaran ke jalan yang lurus
“Penyesalan gugur, jatuh melayang terbawa arus.” Ya, sebuah penyesalan itu semestinya sudah ada pada terhentinya anak-anak air yang telah mengering di persimpangan jalannya. Tetapi pada baris ini, “Memberikan kesegaran terus menerus” yang juga telah menyegarkan tubuh kita dengan airnya. Kita pun telah terlihat segar dengan barbagai zat air yang memenuhi tubuh kita dan “Mengarahkan kesadaran ke jalan yang lurus.” Sebuah jalan kembali pulang ke tempat dimana semuanya harus bersatu kembali. Ke dalam sungai hati yang juga telah menunggu kedatangannya untuk mengairi rasa cintanya setelah bersatu. Ialah jalan yang memang benar-benar lurus.
Hingga pada akhirnya yang pernah aku singgung sebelumnya, bahwa puisi ini juga berlaku untukku dan untuk kau sebagai pembaca. Disebabkan puisi hanyalah gambaran umum yang luas secara “kesadaran ke jalan yang lurus.” Tentunya puisi yang sangat lembut, mengajarkan kita kesederhanaan tentang sudut pandangnya terhadap zat air, saling mengikuti jalannya tidak ingin berhenti baik sedetik maupun berhari-hari. Benar-benar sebuah puisi yang lurus.
* Catatan kecil tentang puisi yang juga berjalan lurus.
Sumber Foto: Ambia Mursalin Iskandar II
Catatan di Facebookku."Titik Temu di Antara Dua Titik"
No comments:
Post a Comment