Beranda Judul

Tuesday, 25 June 2013

Resensi Puisi “Penantian Kemeja Tua” Oleh Rahmatsyah




 Resensi Puisi “Penantian Kemeja Tua” Oleh Rahmatsyah
Penantian Kemeja Tua
Karya: Deddy Firtana Iman
Kain perca terbuang percuma
Di sini aku mewujudkan ruh impian kehangatan
Pada rongga-rongga lipatan ketulusan empat segi
Menerawang pada ujung pangkal leherku
Terus mengikat kemolekan seuntai bunga terselip di dada
Aku menatapnya penuh resah
Si tua yang menuai kesakitan
Menunggu bunga bermekaran di tubuh perjuangannya
Tersungkur dan terseok-seok
Kepiluan itu terjangkit memanaskan otakku
Sebagai anaknya
Semoga wujudku menyatu pada sehelai benangmu
Merapat sedekat kulitku, menyatu melipatkan tubuhku
Sehingga wujudku tersembunyi di balik kelembutanmu
Kemeja tua
Terlupakan karena umurmu yang telah meninggi
Terkunci pada lemari gudang-gudang kebencian penguasa jalanan
Dan aku menangisi memuliakan para veteran
Terbatuk-batuk di pojok kamarnya
Sebentar lagi, mungkin dia akan meninggal
Selamat jalan ayahku
Kau adalah pejuang dalam batinku
            Resensi Puisi
Keindahan untaian kata, imajinasi, nada, makna, tema, amanat, dan suasana ada pada puisi karya Deddy Firtana Iman. Inilah makna yang terkandung dalam puisi Penantian Kemeja Tua yang akan  saya coba untuk memahami makna dan dapat diambil tema sekaligus amanat. // Kain perca terbuang percuma // Di sini aku mewujudkan ruh impian kehangatan// penulis mengawali untaian katanya dengan ingin mencapai suatu yang ia rindukan selama ini. // Pada rongga-rongga lipatan ketulusan empat segi // Menerawang pada ujung pangkal leherku // Terus mengikat kemolekan seuntai bunga terselip di dada//. Mencoba melepaskan penat rindu selama ini yang tersimpan di dada, hanya mampu menahan dan belum sempat menyatakan dalam geraknya.
Cukup sulit memahami puisi dengan keseluruhan karena setiap pembaca mempunyai makna tersendiri. Sang penulis puisi kembali memprkuat kerinduannya pada bait selanjutnya.
Aku menatapnya penuh resah
Si tua yang menuai kesakitan
Menunggu bunga bermekaran di tubuh perjuangannya
Tersungkur dan terseok-seok
Kepiluan itu terjangkit memanaskan otakku
Sebagai anaknya
            Pada bait kedua ini penulis mencoba menampakkan sedikit penjelasan pada baris satu dan dua // Aku menatapnya penuh resah // Si tua yang menuai kesakitan // dua baris tersebut bisa dikatakan kata kunci pada bait kedua. “Si tua” adalah orang tua yang sedang sakit yang sudah lama hidup dalam perjuangan, // Kepiluan itu terjangkit memanaskan otakku // Sebagai anaknya // saat “Si tua” sedang menuai kesakitan si  anak dapat merasakan kesedihan melihat “si tua” yang berarti ayah.
Semoga wujudku menyatu pada sehelai benangmu
Merapat sedekat kulitku, menyatu melipatkan tubuhku
Sehingga wujudku tersembunyi di balik kelembutanmu
Di sini kita tidak dapat menemukan kata kunci seperti pada bait sebelumnya hingga tidak bisa dengan mudah menemukan makna pada bait tersebut, namun dari bahasa yang di pakai Deddy Firtana Iman menjelaskan bahwa ia sedang mendoakan “si tua” yang sedang menuai kesakitan. Penulis puisi tiada meenaruh kata langsung, melainkan kata imajinasi sehingga setiap pembaca bisa memberikan arti menurut masing-masing. Pemberian arti oleh setiap pembaca memang sudah hal lazim dan penulis pun tidak dapat mengahalaunya. Karena apabila penulis memainkan imajinasi pada karya sastra khususnya puisi akan mempunyai banyak arti. Seperti prinsip dasar sebuah puisi adalah  berkata sedikit mungkin, tetapi mempunyai arti sebanyak mungkin.
Di baris terakhir bait dua terakhir penulis puisi menerangkan bahwa // Sebentar lagi, mungkin dia akan meninggal //. Penggalan bait tersebut dia mengatakan mungkin “si tua” akan meningga, umur yang telah di makan oleh waktu. Alur puisi ini terus berlanjut sampai di bait terakhir // Selamat jalan ayahku // “si tua” yang sudah meninggal, dari bait-bait sebelumnya penulis menggunakan kata “si tua” yang dimaksud adalah sang ayah. Ayah yang menurut Deddy Firtana Iman // Kau adalah pejuang dalam batinku//.
Dari serangkaian cerita dalam puisi tersebut dapat kita simpulkan adalah kisah pilu ketika kehilangan seorang yang sangat dekat dengan kita, seorang yang selalu memberi kita nafkah dari hasil jerit payahnya sendiri. Tema yang terkandung dalam puisi tersebut adalah ketegaran sang anak saat kehilangan ayah tercinta. Amanat yang dapat kita ambil dari puisi tersebut adalah bagaimana kita dapat berlapang dada dengan ikhlas melepaskan seseorang yang disayangi dan dapat mengambil contoh baik dari ayah, karena pemimpin dalam rumah tangga adalah ayah, buka orang orang lain. Ayah adalah sosok yang patut kita beri jempol juga bisa banyak belajar dari keseharian yang dilaluinya, bertanggung jawab terhadap keluarga hingga ayah dapat dikatakan kau adalah pejuang batinku. Seperti kata Deddy Firtana Iman dalam Puisi Penantian Kemeja Tua.

Sumber: Blog pribadi Rahmatsyah

No comments: