Beranda Judul

Tuesday, 21 May 2013

Selayang Pandang Kemiskinan dalam Kesenian







@Idrus bin Harun/ATJEHPOSTcom

“Apakah orang miskin tidak bisa menggambarkan penderitaannya sendiri?” Tanya Moelyono dalam catatan pembuka bukunya ‘Pak Moel Guru Nggambar”. “sebagai seniman, instrument kesenian yang hanya digunakan untuk mengharubirukan penderitaan orang miskin, sudah sepatutnya ditinggalkan” lanjutnya.
Moelyono adalah seorang perupa lulusan ISI Yogyakarta 1985. Baginya berkesenian adalah kerja nyata dan terlibat intens dalam masyarakat. Bukan semata mengangkat kembali penderitaan rakyat hingga menjadi konsumsi publik di ruang-ruang pamer mewah. Lelaki yang lahir di Tulungagung, Jawa Timur 5 Agustus 1957  adalah seniman militan yang  pernah ditolak dewan penguji ISI karena karya rupa ‘Kesenian Unit Desa’ KUD sebagai syarat ujian sarjana, dianggap memelintir makna ‘KUD’ yang oleh Orde Baru digembar-gemborkan sebagai pemerataan system koperasi hingga jauh ke pelosok desa terpencil. Walau kita tahu, KUD hanya akal-akalan semata.
Bagaimana pun tragisnya, kemiskinan tak sepenuhnya identik dengan ‘menjauh dari kebahagian’. Karena, antara kekayaan dan kebahagian bukanlah dua sisi dari satu koin. Meskipun secara umum kita beranggapan bahwa hanya keserbaadaanlah  membuat kita  dilingkupi kebahagiaan. Bahagia hanyalah perasaan nyaman yang kita bangun dalam intuisi. Bahkan, kebahagian justru tak ternalar. Karena, tiba-tiba kita merasa bahagia benar tanpa ada sesuatu motif apa pun yang mewajibkan kita untuk bahagia semacam terterimanya ajakan berpacaran dari lawan jenis. Rupa dari bahagia amat samar.
Meski pun kemiskinan ditolak dan dijauhi oleh setiap insan, keberadaannya amat populer. Dielu-elukan, diarak kemana-kemana. Bahkan kerap dijadikan komoditas yang amat menjual. Tidak hanya di dunia politik yang menjadikan kemiskinan sebagai barang dagangan dalam etalasenya. Dunia kesenian juga tak luput menjadikan kemiskinan sebagai alat yang terus menerus diangkat dan dihangatkan pewacanaannya. Karena orang miskin tidak pernah berkurang dan sejarah kemiskinan sama purbanya dengan ekspresi manusia. Dalam kesenian, kemiskinan tidak melulu diangkat dengan alasan mendongkrak karya. Bahkan, dalam kesenian, kemiskinan diangkat untuk memetamorfosiskan sifat-sifat kemanusiaan kita yang telah terbenam di dasar samudera kehidupan.
Jangan kamu bilang Negara ini kaya/kerna orang-orang miskin berkembang di kota dan di desa/jangan kamu bilang dirimu kaya/bila tetanggamu memakan bangkai Kucingnya/Lambang Negara ini mestinya trompah dan blacu/dan perlu diusulkan agar ketemu presiden tak perlu berdasi seperti Belanda/Dan tentara di jalan jangan seenaknya memukul mahasiswa.
Sajak yang dituliskan 4 Februari 1978 ini berjudul ‘Orang-Orang Miskin’. Tentu kita sudah sangat akrab dengan si burung Merak Rendra. Sajak-sajak protesnya populer hingga jauh melampaui masa hidupnya. Salahsatu penyair penting Indonesia ini menggedor pikiran orang kaya untuk melihat kekayaan dalam bentuk harta fisik bukanlah kekayaan hakiki. Kekayaan sejati adalah kemampuan berbagi sesama. Dan rasa empati adalah kuncinya. Karena kemiskinan bukanlah warisan dari keturunan. Kemiskinan adalah hasil dari kekacauan mengurus Negara. Kekacauan regulasi Negara dalam  mengatur hajat hidup orang banyak. Tanah, air dan udara tidak dikelola Negara dengan tangannya. Negara hanya sebagai fasilitator bagi pemodal menanamkan investasinya. Akhirnya Negara menjadi boneka bernyawa tanpa mampu bersuara di depan kuasa modal.
Kemiskinan menjadi indah bagi seseorang yang selalu mencukupkan diri pada apa yang diterima. Kemiskinan macam ini adalah kekayaan dalam bentuk lain yang diidam-idamkan orang. Hanya orang-orang rajin berusahalah kemiskinan macam ini selalu mendekat. Seperti kata hadih maja Aceh; “menyoe tatem useuha, adak han kaya ta duek seunang”.
Penyair muda Aceh, Deddy Firtana Iman dalam salahsatu puisinya di antologi ‘Menerka Gerak-Gerik Angin’ terbitan Tansopako Press tahun 2012, memotret kemiskinan dalam bentuk apa adanya tanpa berusaha untuk menyalahkan sesiapa atas kemiskinan yang dideritai seorang perempuan tua yang asyik menunaikan tugasnya mencari nafkah. Sajak ‘Nyak Maneh’ menghadirkan kemiskinan yang indah. Kemiskinan yang tanpa kehadiran air mata untuk menyempurnakan ketragisan nasib. Kemiskinan hanyalah lebel semata. Tak perlu diratapi pun disesalkan kehadirannya. Karena, keluasan hati dan pikiran adalah anugerah bagi jiwa yang Allah bonuskan untuk kita. /Mimpinya tak banyak/Untuk membahagiakan orang-orang terkasih/Pakaian using/Memakai topi jerami/Sandal jepit/Keranjang sampah dan mulai berjalan lurus ke depan sambil mewaspadai gerak-gerik angin menemani setiap langkah kakinya/Nafasmu/Melaju baying-bayang semu/Mengukir pengganjal perut/mengalir di setiap gerakan tangan/kakinya berkerut/dan tubuhnya kurus/tak pernah lelah mengais rezeki/dalam tumpukan sampah penuh bau busuk/ dan berbagai penyakit tak mengusiknya berhenti/matanya gesit/tangannya cekatan/ada kaleng/botol plastik/dan semuanya bisa dijual/dikumpulkan dalam keranjang sampahnya/untuk sesuap nasi hari ini/
Pada titik ini, mungkin seorang pekerja miskin tidak akan punya waktu untuk melukiskan deritanya sendiri (Walau dalam status fesbuk sekali pun) karena waktu mereka habis tersedot untuk pemenuhan isi perut yang ‘sehari cari, sehari makan’. Kehadiran seorang seniman dalam sengkarut kemiskinan amat penting untuk mengabarkan tentang kemiskinan yang tidak mungkin sepenuhnya terakomodasi dalam ruang surat kabar.
Begitulah, kemiskinan juga penting terpelihara. Kalau tidak, mana mungkin saban hari silih berganti peminta-peminta keluar masuk warung kopi. Kemiskinan tak lagi menyedihkan di zaman ini. Karena bisa menjadi lahan rezeki. Wassalam.[]

Idrus bin Harun, bekerja untuk ATJEHPOST.COM. bergiat di Komunitas Kanot Bu. Banda Aceh.

Sumber:

No comments: