@Idrus
bin Harun/ATJEHPOSTcom
“Apakah orang miskin tidak bisa
menggambarkan penderitaannya sendiri?” Tanya Moelyono dalam catatan pembuka
bukunya ‘Pak Moel Guru Nggambar”. “sebagai seniman, instrument kesenian yang
hanya digunakan untuk mengharubirukan penderitaan orang miskin, sudah
sepatutnya ditinggalkan” lanjutnya.
Moelyono adalah seorang perupa
lulusan ISI Yogyakarta 1985. Baginya berkesenian adalah kerja nyata dan
terlibat intens dalam masyarakat. Bukan semata mengangkat kembali penderitaan
rakyat hingga menjadi konsumsi publik di ruang-ruang pamer mewah. Lelaki yang
lahir di Tulungagung, Jawa Timur 5 Agustus 1957 adalah seniman militan yang
pernah ditolak dewan penguji ISI karena karya rupa ‘Kesenian Unit Desa’
KUD sebagai syarat ujian sarjana, dianggap memelintir makna ‘KUD’ yang oleh
Orde Baru digembar-gemborkan sebagai pemerataan system koperasi hingga jauh ke
pelosok desa terpencil. Walau kita tahu, KUD hanya akal-akalan semata.
Bagaimana pun tragisnya,
kemiskinan tak sepenuhnya identik dengan ‘menjauh dari kebahagian’. Karena,
antara kekayaan dan kebahagian bukanlah dua sisi dari satu koin. Meskipun
secara umum kita beranggapan bahwa hanya keserbaadaanlah membuat
kita dilingkupi kebahagiaan. Bahagia hanyalah perasaan nyaman yang kita
bangun dalam intuisi. Bahkan, kebahagian justru tak ternalar. Karena, tiba-tiba
kita merasa bahagia benar tanpa ada sesuatu motif apa pun yang mewajibkan kita
untuk bahagia semacam terterimanya ajakan berpacaran dari lawan jenis. Rupa
dari bahagia amat samar.
Meski pun kemiskinan ditolak dan
dijauhi oleh setiap insan, keberadaannya amat populer. Dielu-elukan, diarak
kemana-kemana. Bahkan kerap dijadikan komoditas yang amat menjual. Tidak hanya
di dunia politik yang menjadikan kemiskinan sebagai barang dagangan dalam
etalasenya. Dunia kesenian juga tak luput menjadikan kemiskinan sebagai alat
yang terus menerus diangkat dan dihangatkan pewacanaannya. Karena orang miskin
tidak pernah berkurang dan sejarah kemiskinan sama purbanya dengan ekspresi
manusia. Dalam kesenian, kemiskinan tidak melulu diangkat dengan alasan
mendongkrak karya. Bahkan, dalam kesenian, kemiskinan diangkat untuk
memetamorfosiskan sifat-sifat kemanusiaan kita yang telah terbenam di dasar
samudera kehidupan.
Jangan kamu
bilang Negara ini kaya/kerna orang-orang miskin berkembang di kota dan di
desa/jangan kamu bilang dirimu kaya/bila tetanggamu memakan bangkai
Kucingnya/Lambang Negara ini mestinya trompah dan blacu/dan perlu diusulkan
agar ketemu presiden tak perlu berdasi seperti Belanda/Dan tentara di jalan
jangan seenaknya memukul mahasiswa.
Sajak yang dituliskan 4 Februari
1978 ini berjudul ‘Orang-Orang Miskin’. Tentu kita sudah sangat akrab dengan si
burung Merak Rendra. Sajak-sajak protesnya populer hingga jauh melampaui masa
hidupnya. Salahsatu penyair penting Indonesia ini menggedor pikiran orang kaya
untuk melihat kekayaan dalam bentuk harta fisik bukanlah kekayaan hakiki.
Kekayaan sejati adalah kemampuan berbagi sesama. Dan rasa empati adalah
kuncinya. Karena kemiskinan bukanlah warisan dari keturunan. Kemiskinan adalah
hasil dari kekacauan mengurus Negara. Kekacauan regulasi Negara dalam
mengatur hajat hidup orang banyak. Tanah, air dan udara tidak dikelola Negara
dengan tangannya. Negara hanya sebagai fasilitator bagi pemodal menanamkan
investasinya. Akhirnya Negara menjadi boneka bernyawa tanpa mampu bersuara di
depan kuasa modal.
Kemiskinan menjadi indah bagi
seseorang yang selalu mencukupkan diri pada apa yang diterima. Kemiskinan macam
ini adalah kekayaan dalam bentuk lain yang diidam-idamkan orang. Hanya
orang-orang rajin berusahalah kemiskinan macam ini selalu mendekat. Seperti
kata hadih maja Aceh; “menyoe tatem useuha, adak han kaya ta duek seunang”.
Penyair muda Aceh, Deddy Firtana
Iman dalam salahsatu puisinya di antologi ‘Menerka Gerak-Gerik Angin’ terbitan
Tansopako Press tahun 2012, memotret kemiskinan dalam bentuk apa adanya tanpa
berusaha untuk menyalahkan sesiapa atas kemiskinan yang dideritai seorang
perempuan tua yang asyik menunaikan tugasnya mencari nafkah. Sajak ‘Nyak Maneh’
menghadirkan kemiskinan yang indah. Kemiskinan yang tanpa kehadiran air mata
untuk menyempurnakan ketragisan nasib. Kemiskinan hanyalah lebel semata. Tak
perlu diratapi pun disesalkan kehadirannya. Karena, keluasan hati dan pikiran
adalah anugerah bagi jiwa yang Allah bonuskan untuk kita. /Mimpinya tak
banyak/Untuk membahagiakan orang-orang terkasih/Pakaian using/Memakai topi
jerami/Sandal jepit/Keranjang sampah dan mulai berjalan lurus ke depan sambil
mewaspadai gerak-gerik angin menemani setiap langkah kakinya/Nafasmu/Melaju
baying-bayang semu/Mengukir pengganjal perut/mengalir di setiap gerakan
tangan/kakinya berkerut/dan tubuhnya kurus/tak pernah lelah mengais
rezeki/dalam tumpukan sampah penuh bau busuk/ dan berbagai penyakit tak
mengusiknya berhenti/matanya gesit/tangannya cekatan/ada kaleng/botol
plastik/dan semuanya bisa dijual/dikumpulkan dalam keranjang sampahnya/untuk
sesuap nasi hari ini/
Pada titik ini, mungkin seorang
pekerja miskin tidak akan punya waktu untuk melukiskan deritanya sendiri (Walau
dalam status fesbuk sekali pun) karena waktu mereka habis tersedot untuk
pemenuhan isi perut yang ‘sehari cari, sehari makan’. Kehadiran seorang seniman
dalam sengkarut kemiskinan amat penting untuk mengabarkan tentang kemiskinan
yang tidak mungkin sepenuhnya terakomodasi dalam ruang surat kabar.
Begitulah, kemiskinan juga
penting terpelihara. Kalau tidak, mana mungkin saban hari silih berganti peminta-peminta
keluar masuk warung kopi. Kemiskinan tak lagi menyedihkan di zaman ini. Karena
bisa menjadi lahan rezeki. Wassalam.[]
Idrus bin Harun, bekerja untuk
ATJEHPOST.COM. bergiat di Komunitas Kanot Bu. Banda Aceh.
Sumber: