Sangat sulit sekali mencari badut yang bisa bermain dengan begitu sempurna–baik dengan kelucuan atau pakaiannya secara universal. Karena lebih ditekankan dari bahasa tubuh dan bukan dari bahasa tulisan atau yang sekarang kita kaji adalah bentuk dari Mbeling itu sendiri. Apa hubungannya dengan judul di atas “Mendingan Aku Daripada Badut”. Ya, tentu saja tulisan ini adalah sebuah jalan penerang dari unsur kelucuan makna dan juga bentuk penyajiannya (mbeling).
Puisi telah banyak dilahirkan dari pandangan-pandangan si penulisnya yang serius. Puisi yang serius itu adalah puisi yang bercerita mengenai “memuisi” yang lebih spesifik dari penjiwaan manusia si penciptanya. Lalu bagaimana dengan puisi-puisi yang menghibur atau kita katakan dengan kelucuannya seperti badut yang sedang kita nikmati di sela-sela hiburan malam. Dengan pakaiannya yang unik, memakai warna putih dan mempunyai tonjolan warna merah bulat seperti bola berjarak beberapa senti meter dari jaraknya yang lain. Dan dengan kemahirannya pun ia mulai mengibur kita dengan permainan bola atau botol minuman yang dilambung antara ke kiri dan kanan dengan kedua tangannya–saling penuh perhatian penuh. Hingga akhirnya dihadiahi tepukan tangan karena kita pun menganggapnya sebuah kelucuan dan juga rasa takjub di akhir permainannya.
Bagaimana dengan hiburan tentang apa yang kita baca melalui sebuah puisi. Baik itu puisi yang serius atau sebalinya sebagai puisi yang mbeling secara hiburannya.
Ada dua contoh puisi yang ingin diutarakan di bawah ini sebagai bentuk puisi kelucuan dari mbeling tersebut. Puisi karya Abah Yoyok, dari sebuah buku yang saya kutip berjudul “Antologi Puisi Mbeling Suara Suara yang Terpinggirkan” (Semarang, 2012). Dan kedua puisi itu juga bagian dari kelucuan dan ketegasan dari apa yang ingin disampaikan oleh si penulisnya. Hal ini terbukti dari judul puisi “Benar-Benar Badut” (Halaman 1) yang tersaji di bawah ini.
BENAR-BENAR BADUT
Bila benar bapak berbuat baik
bagi bangsa
bagaimana bisa
bala bencana bolak balik
berdatangan
bikin bumi berantakan
betapapun bapak berkata
bahwa bila bersama bakal bisa
bikin bahagia bangsa
buktinya bohong belaka
bapak benar-benar bagai badut
bangsa bisa bangkrut bila begini
Cisauk, 14.05.11
Benar-benar sebuah permainan antara “aku” sebagai pencipta puisi–penyaji pentas dan badut sebagai pelaku kelucuan dalam sebuah puisi. Maksud puisi itu ditegaskan dengan sangat rapi dari permunculan di akhir puisi sebagai bentuk kelucuan dari si pelaku sebagai “Bapak” seperti di bawah ini.
bapak benar-benar bagai badut
bangsa bisa bangkrut bila begini
Bapak yang dimaksudkan di dalam bait tersebut justru kepada penguasa yang membuat keputusan dengan kehendaknya sendiri namun malah membuat kelucuan dengan apa yang sedang ia lakukan di atas panggung. “Bangsa bisa bangkrut bila begini” adalah bentuk ketidaklucuannya yang ingin ditegaskan di bait tersebut. Sebagai badut yang kita anggap suatu pandangan kelucuan. Dan kita pun mengeluarkan uang banyak demi sebuah harapan kelucuan dan kehebatannya.
Mendingan aku mendingan daripada badut, ialah sebuah harapan untuk lebih baik dan tidak sekedar membuat kelucuan yang bisa menyebabkan orang-orang mengeluarkan uang untuknya, untuk sebuah permainan yang sengaja direncanakan dengan baik. Namun di akhir pementasan itu adalah sebuah harapan yang buruk, kerugian dan sebagainya yang membuat rakyat sengsara oleh permainannya semasa menjabat sebagai “Bapak”, penguasa.
“Daripada daripada mendingan aku mendingan” (Halaman 5), juga menegaskan hal yang sama. Tetapi bentuk dari perlawanan yang sesungguhnya kita sebagai manusia yang berakal sehat. Mempunyai visi dan misi lebih baik dari hasil penerangannya yang buruk sebagai Bapak yang berjiwa badut. Tetapi puisi di bawah ini juga bagian yang sama di akhir puisinya, sama-sama menegaskan bentuk kelucuan di antara puisinya tersendiri.
DARIPADA DARIPADA
MENDINGAN AKU MENDINGAN
sudah kuculumunyun segalagalanyaman segalamanyun
hidup malah makin manyun markunyun
sementara kamu terus berkelomang bulukutuk merkutuk
dan para ontohod asyik mengecipirit seiprit demi seiprit
turun naik si kalamenjing
sampai aku terkaingkaing bagai anjing menggunjangganjing
lantaran bumi mulai miring, otakotak miring dan orangorang semakin
sinting tnah subur rejeki garing mongering bagai nasi aking
maling teriak maling melengking sampai kencingnya menggemerincing
hidup makin manyun markunyun
amburadul berjenduljendul
diacakacak yul gemuyul tuyul
bangsa lelembut peliharaan para semprul
ya sudahlah kalau begitu
dari pada daripada
mendingan aku mendingan!
Cisauk, 29 April 2011
Seperti maksud dan tujuan dari puisi di atas, juga menjelaskan sebuah bentuk kehidupan yang sedang diperankan oleh anak manusia yang juga terus-terusan dihadapkan dengan kejanggalan. Sebuah ketidaknyamanannya pun semakin tajam, tertanam di ingatakannya yang tidak bisa berjalan berlogika dengan baik. Semua manusia ingin melihat perubahan dan bukan sebuah panggung sandiwara yang keseluruahannya pun bukan dimainkan dengan keistimewaan manusia, tetapi dimainkan oleh sebuah kelucuan.
Di antara penyajian puisi di atas, mempunyai beberapa yang dianggap bisa mewakilkan bentuk ketegasan dan kelucuan tersebut. Setidaknya ketegasan itu bisa kita baca di bawah ini sebagai image pada penyajiannya.
ya sudahlah kalau begitu
dari pada daripada
mendingan aku mendingan!
Seperti pada penyajian bait di atas, bentuk rasa hormat yang paling dalam. Semuanya dipisahkan dari setiap objek pandangan manusia atau boleh disebutkan sebagai “aku” si penulisnya. Ingin menganugerahi tanggung jawab memenuhi koridornya sebagai manusia yang mulia. Anak manusia tanpa kesalahan, baik itu sebagai penikmat di tempat ia berdiri sebagai penonton. “Ya sudahlah kalau begitu/ dari pada daripada/ mendingan aku mendingan!”. Ialah bentuk dari rasa bersyukur itu sendiri, sebagai manusia yang serba mempunyai tujuannya yang baik. Tidak buruk seperti badut yang sedang melucu dengan segala keunikan di tubuhnya.
Terlepas dari penyajian dua puisi di atas, tentu saja adalah sebuah kelucuan yang sangat saya nikmati sebagai pembaca dan menuliskan untuk kita nikmati bersama. Menertawakan si Bapak dan Badut sebagai pembawa kebangkrutan di pentas tanah dan air Indonesia.
*Tulisan ini ada di catatan Facebook.
No comments:
Post a Comment