Ibu mengayuh tangan
menghajar batu kekal
di tepi gunung yang jurangya memikat
kematian
Pulang-pulang
tanganya berlumuran darah
baju basah kuyub
segoni batu-batu telah didapatnya
dengan perasaan yang galau
penuh tanda tanya yang mengherankan
“untuk apa kita hidup
hanya berbekal penipuan yang angkuh
sirna dihapus hujan
tidak abadi di hinggap matahari”
Kami semuanya terdiam
mendengar jerit hatinya
mulai mengeluarkan air batu
dari bola matanya yang resah
aku pikirkan jerit hatinya
tentu saja tapak tanganya
tiada berhenti untuk bekerja
memenuhi kebutuhan kami
hingga Ibu meninggal dirintih kesakitan
oleh hidup melarat kemiskinan
(2009)
*Dimuat di koran lokal "Harian Aceh"
Minggu, 11 April 2010
No comments:
Post a Comment