Sunday, 13 September 2009
Munajat Burung Merak
Siapa sangka
Tulisanya telah tertulis di batu nisan
Hingga tertidur dengan senyum
Hingga hujan pun membasahi kota kami
Mendengarkan kepergianya
Hilang sudah
Suaranya yang bergetar itu
Kepakan sayapnya yang megah itu
Warna yang merekah itu
Kembali kepadaNya
2009
Dimuat di koran lokal "Harian Aceh"
Minggu, 13 September 2009
Munajat Natijah
Kebahagianku dariMu
Milikku adalah milikMu
Segalanya.
Kesabaranku belum dapat diukur
Dengan keimananku
Tunjukkanlah jalanMu
Semoga aku dapat menikmati buah Kurmamu
Ketika Ramadhan berkumandang Sahur
Terwujudlah kesabaran dan keimananku untukMu
Buah-buahan
Kenikmatan tiada tara
Setara atau pun tidak
Adalah milikMu
Munajat Natijah
2009
Dimuat di koran lokal "Harian Aceh"
Minggu, 13 September 2009
Munajat Nyanyian
Penuh Doa-doa
Kebahagiaan itu hadir dipelukanku
Seperti senja menarik fajar
Kenikmatan apa lagi
Yang hadir dalam rebahan takdirku
Penuh sujud syukur
Kebahagiaan itu hadir kembali
Di hari esok yang kelabu
Nyanyian hati
Bahasa jiwa yang terpatri
Dari hari ke hari
Penuh kesabaran
2009
Dimuat di koran lokal "Harian Aceh"
Minggu, 13 September 2009
Munajat Kerinduan
Terbuka mataku
Cerahan cahaya menusuk
Membenarkan adanya diriMu
Lamunanku pun memanggil namaMu
Rindunya aku padaMu
Kebahagian dan kerinduanku
Tepat tertunduk bersujud
Siang dan Malam
Memberikan cahaya panggilanMu
MerindukanMu
Siang dan Malam
Tak terlupakan
Doa-doa memujamu
2009
Dimuat di koran lokal "Harian Aceh"
Minggu, 13 September 2009
Saturday, 25 July 2009
Hening
Aku akan hilang tanpa menyentuh tanah
Seperti angin berisi daging Manusia
Mempermainkan kekosongan waktu
Demi ujung tali terputus isyarat cintanya
Tanpa kata-kata penutup mata kebisingan
Itulah titik akhir waktu persinggahanku
Terbakar oleh ketidak pastian cuaca pagi
Mengantarkanku pada roh persinggahanku
Hingga membuatku menelusuri surga dunia
2009
Dimuat di Koran "Harian Aceh" Minggu, 26 Juli 2009
Saturday, 4 July 2009
Tanpa Janur Kuning
Aku merindukan wajahmu
Tapi
Aku masih merindukan lelaki yang lainya
Itu mungkin terjadi
Cintamu hanya untukku
Bukan memberi padamu
Aku merindukan wajahmu
Bukan karna aku menginginkanmu
Tanpa alasanpun
Aku mencintaimu hanya tanpa kebenaranya
Dan jangan sesalkan itu
Tentang aku yang pendiam
2009
Wednesday, 27 May 2009
Januari
Tikamlah aku
Sebelum saatnya
Korban keganasan
Injaklah aku
Sebelum kumarah
Korban kebohongan
Tipulah aku
Sebelum kusadar
Korban kebencian
Hinalah aku
Sebelum aku pergi
Januari
Itulah cerita negeri kami
Para penjilat lidah menari
Sebelum esok berganti Juni
2009
Dimuat di Koran "Lensa Unmuha" edisi VI/Maret 2009Deddy Firtana Iman, mahasiswa FKIP Unsyiah
Friday, 27 March 2009
Masa Lalu
Rasa sesak menekan ke dada
Melemahkan denyut jantungku
Bermandikan air keringatku
Rasa sesak ke masa lalu
Setelah aku tau caranya
Masa lalu memberatkan pandanganku
Tentang kekuasaan zaman Orde Baru
Terasa emosi mendalam
Terasa jiwa mencekam
Terasa amarah memburam
Kini
Para penguasa itu telah tertidur
Di alam kekejamanya
15-01-2009
Dimuat di http://gemasastrin.wordpress.com/puisi/puisi-dedy-firtana-iman/Lupakan Dia Ingatkanku
Setelah malam penuh dosa
Ibaratnya telah lahir Manusia membisu
Memandang kesombongan pemuda kota
Itulah takdirnya kekuasaan peluru
Senjata ungkapan pengebor ungkapan harta
Hilangnya keangungan permaisuriku
Dan engkau masih melangkah
Setelah bersuci ketika malam purnama
Tersedu berjalan tanpa kebahagian
Terus berlinangnya air matamu
Terus hingga kakimu berdarah
15-01-2009
Dimuat di Gemasastrin
...
Kisah Hidupku
Menekan diri tirai memberi
Sudah lelah aku sendiri
Antara aku dan mawar berduri
Mungkin juga aku bunuh diri
Mengapa iri kata berbunyi
Sedangkan aku di tinggal pergi
Walaupun menyusuri jalan kaki
Berarti aku hanya kalah sendiri
Matahari pagi telah berdiri
Menyinari isi hati
Memberikan cahaya penenang diri
Untukku dikala sendiri
Inilah aku yang sendiri
Tentang ketiadaan cinta sejati
Hampa disisiku tiada arti
Terasa berat hidupku ini
Yang dilukai oleh wanita iri hati
25-08-2008
Kejamnya Negaramu
Berton-ton bahan peledak
Bermain ke udara menuju
Negara saudaraku
Yang tak tau arah kemana
Masi tersenyum
Dengan kelakarmu
Yang hina itu
Atau kau memang pengecut
Diantara teroris tikus kantor
Seperti di Kotaku
Saad ini dan kau sama saja
2009
Dimuat di http://gemasastrin.wordpress.com/puisi/puisi-dedy-firtana-iman/
Palestina
Terluka, kaku dan kelaparan
Dihantam duka keganasan Israel
Doaku untukmu
Walaupun kutahu
Negaramu masi terancam mencekam
Sudikah diriku
Mengorbankan nyawaku untukmu
Kurasa belum cukup akan
Mayat yang bergelimpangan dihadapanmu
2009
Setelah Perjalanan
Merebahkan tubuh yang lelah
Udara menembus sukmaku
Setelah aku berjalan lelah
Jauhku mimpikan cita-cita
Mencari jati diri sukma
Terhuyung di padang pasir
Setelah cita-cita berlarian
Ke udara dan ke langit
Sejatinya begitulah aku
Terhimpit sukma yang kotor
Tentang imajinasi liarku
Terkungkung terdiam
2009
Dimuat di http://gemasastrin.wordpress.com/puisi/puisi-dedy-firtana-iman/
Puisi Sunyi
Puisiku mati membusuk
Terhina namum terdiam
Seakan manja berteriak
Akan suatu isyarat
Kata tersembunyi telat
Menimbulkan tiada tepat
Kata dan maknanya
Yang rekat dan padat
Seruling sunyi
Gelisah bernyanyi
Puisiku mati suri
2009
Kumpulan puisi
Coretan penuh makna
Goresan penuh sukma
Aku menuliskan puisi
Sambil melamun sendiri
Diantara mimpi suci
Satu dua tiga
Jadilah cerita cinta
Puisi lengkap nada senja
Dan puisiku melanglang buana
Diantara mimpi tertunda
2009
Hitam Putih
Dua warna membaur
Abu-abu terjalin
Akan keresahan yang ragu
Semisalnya perkelahian
Diantara aku dan k au
Memadu kasih
Memeluk erat terjerat
Dalam lubang kedamaian
Hingga wajahku memutih
Ketuaan dimakan waktu
Yang resah dan kaku
2009
Pencuri Hati
Sembunyi
Dari ketiak rasa takut
Lirikan mata penuh
Was-was
Bicarakanlah
Tentang cinta pendiam
Tak bersuara
Terguncang
Penuh ketakutan
Dimakan waktu
Ada rasa
Cibir keluh
Keresahan
Ketakutan
Seakan malu berkata
“Aku mencintaimu”
03-01-2009
Dimuat Gemasastrin PBSID pada Februari 8, 2009
Uang Rakyat
Tersenyumlah dengan kemewahan
Bangga akan kemenangan
Harta kekayaan demi kekuasaan
Uang rakyat dan penindasan
Kami tertindas
Merasakan terhempas
Oleh penguasa yang beringas
Pejabat duduk hingga puas
Semuanya serba pas
Hingga rakyat tewas
Lalai akan tugas
2009
Dimuat Gemasastrin PBSID pada Februari 8, 2009
Wednesday, 18 March 2009
Pelangi
Cahaya dari balik alam langit
Antara malam tinggal kenangan
Sebelum awan datang menyempit
Manusia bersyukur dengan kegirangan
Cahayanya penyejuk hati manusia
Berbisik lugu kepada awan
Untuk bumi cucurkan air hujan
Biarkan manusia yang menikmatinya
Bumi menunggu akan tibanya pelangi
Bercahaya di atas bumi
Sambil tersenyum memberi arti
Senantiasa impikan sanubari
Tampa sebab akibat ia pergi
Terang benderang iapun selesai
Sambil pergi berbenah diri
Cahaya pelangi pun mulai sepi
2008
*Dimuat di koran lokal "Harian Aceh"
Dimuat tanggal 19-10-2008
Sunday, 8 March 2009
Katakan Percuma
Katakan Percuma
Oleh; Deddy Firtana Iman
Mari menari
Dengan iringan lagu
Atau musick lirik cinta
Hanya sebaris kata cinta
Dari malam
Sampai mata terbuka
Untuk melihatku tertawa
Katakan percuma
Dari relung hatimu
Ketika aku masih tersenyum
Untuk dilihat saja
Dari ucapanku
Kalau tak sanggup
Bernyanyi untukku
Katakan percuma
Sebagai ungkapan
Kesesalan darimu
Semoga aku mengerti
13/08/2008
*Dimuat di koran lokal "Harian Aceh"
Minggu 8 Maret 2009
Aku Sungguh Ada
Aku Sungguh Ada
Oleh; Deddy Firtana Iman
Kau mungkin tak yakin
Kalau aku masih berjalan
Setelah berjalan berpetualangan
Sesudah mencarimu di pinggiran jalan
Aku sungguh ada
Aku serahkan tiada dua
Agar nanti bahagia
Asalkan kau tak kecewa
Kau mungkin tak yakin
Aku masih dibutuhkan
Dibutuhkan saling pengertian
Agar nantinya dapat merasakan kebahagiaan
13/08/2008
Minggu 8 Maret 2009
Friday, 20 February 2009
Ruang Kosong
Sepi menyindir
Bercahaya gelap gulita
Mata kucing mulai bercahaya
Bocah menangis tiada tanya
Sepiring kumal tanda jadi
Sepintas lemah pun mati
Kematian
Auman kelaparan
Menjadi belenggu tiada akhir
Mencabik-cabik ruangan
Kunci pegangan mulai pergi
Ke arah Matahari
Tiada arti si Kecil sendiri
Mati nanti mungkin hari ini
2009Dimuat di Majalah Lensa Unmuha
Kamis, 2009 Januari 29
rumoeh.blogspot.com
Tuesday, 10 February 2009
Membaca Tabir Kalbu Mahasiswa Kontemporer
(Catatan Kecil untuk Puisi Parade Tiga Kampus)
Oleh; Herman RN
Puisi sebagai sebuah karya sastra yang “merdeka”, yang lahir dari proses kontemplasi mendalam bukanlah milik penyair sudah jadi semata. Akan tetapi, orang yang sudah berhasil menulis puisi dan produktif di wilayah kerjanya (menulis puisi) akan disebut sebagai penyair adalah sebuah keniscayaan. Pertanyaannya, bagaimanakah bila yang melakoni itu mahasiswa?
Sejatinya, banyak penyair Tanah Air di era kontemporer tercatat sebagai mahasiswa di salah satu perguruan tinggi—baik negeri maupun swasta. Di warkah ini, saya tak mesti menyebutnya satu per satu. Namun, dapat diamati dari berbagai lomba cipta puisi yang diadakan di berbagai daerah, peserta yang ikut kebanyakan dari mahasiwa. Bahkan, ada pula yang memang namanya “Lomba Cipta Puisi Tingkat Mahasiswa”. Lantas, saat mahasiswa tersebut berhasil meraih penghargaan, sebagian kecil mulai menggerayangi kerja penciptaan puisi sehingga ia pun diakui sebagai penyair, bolehkah?
Sulit memang mencari identitas kepenyairan dalam diri seseorang: apakah karena ia telah berhasil menulis sebuah puisi dan menang dalam sebuah lomba akan dikatakan sebagai penyair; atau mereka yang tidak menang lomba tetapi puisinya dimuat di salah satu media (koran) baru disebut sebagai penyair; atau mereka yang tak pernah menang lomba dan tak pernah dimuat di media, tetapi puisinya sudah pernah dibukukan dalam antologi bersama penyair lain yang boleh dikatakan sebagai penyair; atau mereka yang puisinya tidak pernah menang lomba, tidak pernah dimuat media, tidak pernah dibukukan dalam antologi bersama, melainkan menerbitkan dalam buku sendiri, yang disebut sebagai penyair; atau mereka yang hanya menulis puisi pada buku catatan hariannya, tidak pernah dikirim ke media, tidak pernah diikutkan lomba, tidak pernah dibukukan, disebut sebagai penyair? Sulit mencari standardisasi ini, sebab predikat kepenyairan bukan diperoleh dari jenjang akademik, meskipun yang seorang penulis puisi ada yang sudah tiga kali menyandang gelar mahasiswa (sarjana, pascasarjana, dan doktoral). Gelar kepenyairan hanya dapat diperoleh dari pengakuan orang banyak, tentunya setelah si penulis puisi tersebut memang mampu menghasilkan karya untuk ortodoks dan dilakukan secara produktif.
Lantas, salahkah mereka—beberapa mahasiswa—yang mencoba-coba menulis puisi lalu mengirimkannya ke media? Dan bagaimanakah karya yang mereka kirimkan tersebut? Berikut ini saya coba mengamati karya-karya mahasiwa tersebut. Karena keterbatasan ruang, puisi yang saya amati tidak mungkin semua mahasiswa. Saya hanya mencoba mengamati puisi milik tiga mahasiswa yang berasal dari tiga perguruan tinggi, yang puisi-puisi mereka dimuat di Harian Aceh (lihat Parade Puisi Tiga Kampus).
Mendengar nama mahasiswa, saya kira sejumlah orang akan membayangkan kata-kata “tawuran, demonstrasi, belajar, dosen, kuliah, sarjana, cita-cita, kos, susah hidup, cobaan, dan kisah cinta.” Asumsi sederhana ini tidak salah. Lantas, apakah semua kata-kata itu akan tumpah dalam bentuk puisi?
Kita mulai saja dengan puisi milik Muhammad Haekal. Judul puisi “Gulita yang Beganti” sudah jelas memperlihatkan tentang keresahan seseorang—dalam hal ini sebut saja si penulis puisi tersebut. Betapa kata “gulita” digambarkan sebagai cobaan pahit dan gamang, semakin terdeteksi pada bait pertama yang memakai frasa: semua tanpa warna, semu malam gulita, semilir angin tak ada, wajah gerah, semua terbang, melekat hampa, dan matahari tanpa bintang abadi.
Di sini kelihatan bahwa mahasiswa IAIN Ar-Raniry tersebut sedang gundah dan resah menghadapi cobaan dalam hidupnya. Perjalanan waktu yang penuh cobaan dan tantangan—apalagi sebagai mahasiswa—dipertegas dalam bait kedua: semua memberkas kilaunya…/Petang yang datang… hilang…/ Kesempurnaan awan yang menghujan…/Malam yang mengembun…menantang…/Tanpa selimut aku duduk di haluan…//.
Akan tetapi, meskipun gundah itu tergambar dalam, Haekal mencoba untuk tegar sehingga memunculkan sebuah keyakinan tentang adanya Tuhan dalam semesta cobaan. Hal ini dapat dilihat dalam kalimat: Berteman angin meyakin Tuhan… Sayangnya, penulis puisi ini terjebak pada kalimat penyesalan, padahal ia sudah berusaha tegar dalam godaan. Hal ini terlihat dalam barisan kalimat: Dan kusapa jenuh sang bulan pagi/ Yang sebentar lagi tergantikan oleh matahari…/.
Selanjutnya, pada puisi kedua, kerasahan Haekal mulai muncrat ke permukaan. Jika tadi resah itu ia simpan dalam bentuk gundah dalam hati, pada puisi “Mahasiswa?” ia mulai keluar sehingga acap menggunakan kalimat tanya: hanya itukah ilmumu? (kalimat ini sempat terjadi repetisi) dan masihkah kau mengaku mahasiswa?
Dapat dimaknai bahwa keresahan dalam puisi “Mahasiswa?” lebih kepada apa yang diamati oleh si penulis puisi. Ia gundah dengan apa yang dilakoni dan dihasilkan oleh mahasiswa sekarang. Menurut Haekal, kerja mahasiswa sekarang lebih kepada tawuran yang tak ada arti, yang tak ada hasil. Ia mengejeknya dengan “ilmu mahasiswa sebatas belajar melempar batu, saling teriak di jembatan, saling adu mulut sesama mahasiswa.” Sedangkah mahasiswa pada tahun ’98, menurut Haekal, tidak sekedar berteriak di tengah jembatan, tetapi juga dapat melengserkan jabatan dengan peluh dan darah yang siap dikorbankan. Dan lihatlah pendahulumu di ’98…/Mereka berdarah….berkorban…/Tumbangkan rezim tegakkan reformasi…/
Bahwa puisi tersebut sebagai petuah kepada para mahasiswa yang sekarang suka tawuran sesama tanpa membuahkan hasil apa-apa dipertegas Haekal melalui catatan kaki: refleksi tawuran antar-mahasiswa yang sering terjadi belakangan ini. Satu hal mungkin dapat dipertanyakan dalam puisi-puisi Haekal adalah mengapa setiap barisnya harus diakhiri dengan tanda elips (titik-titik)?
Membongkar Hati Hikmah
Berbeda dengan Haekal, dua puisi Nurhikmah (selanjutnya disapa Hikmah) yang terpilih dalam “Parade Puisi” di Harian Aceh ini lebih kepada perasaan, naluri, dan hati yang bergejolak atas nama cinta. Boleh dikatakan puisi yang pertama adalah keresahan dan penyesalan karena telah membuat seseorang mencintai (dalam hal ini sebut saja mencintai si penulis puisi). Penyesalan itu jelas terlihat dalam diksi pertama dipakai kata “maaf”. Dan penyesalan tersebut semakin nyata pada bait kedua saat mahasiswa Almuslim Peusangan ini berujar: //Taman yang kutahu dan kudengar keindahannya/Taman yang diagungkan orang keperawanannya/Namun kini…/Seakan ku tak percaya/Sebab aku ia ternoda?//.
Jika pada puisi tersebut mengungkapkan penyesalan telah ‘memasuki’ hati seseorang, puisi kedua, “Lelah”, menunjukkan keresahan hati si penulis puisi sendiri yang telah ‘dimasuki’ seseorang. Puisi “Lelah” seakan menjadi soal atau jawaban dari puisi pertama yang berjudul “Sebuah Pinta”. Hal ini terlihat sejak bait pertama: //Pada siapa harus kumengadu/Tentang hilangnya mutiara di dasar hatiku/Tersisa hanya noda kelam dan menyesatkan/Menambah gelapnya sisi hidupku/Aku lelah/Ingin rasanya aku menghilang/Jauh dari smua makhluk Tuhan/…
Ada pula kebimbangan dalam pusi ini: Kehampaaan menjadi teman/Ketakutan jadi hiasan/Aku berada disimpang jalan/Tak tahu kemana harus menyebrang/… Kebimbangan tersebut ternyata untuk mencari mutiara yang hilang//.
Jelaslah, kata kunci “mutiara” dapat menjadi perlambang cinta. Hal ini berdasarkan keseringan yang kita dengar bahwa ‘mencuri’ mutiara dari hati seseorang berarti sama dengan ‘mencuri’ cinta dan kasih sayangnya. Siapakah orangnya? Hanya Nurhikmah yang tahu, karena puisi sangat ambigu untuk menebak sebuah kepastian murni.
Penyesalan Deddy
Deddy Firtana Iman, mahasiswa FKIP Unsyiah, yang puisinya juga terpilih dalam episode “Parade Puisi” di Harian Aceh kali ini juga berkisah tentang keresahan. Namun, keresahan Deddy berbeda dengan resah Haekal tentang amatan masa sekarang dan resah Hikmah tentang ‘mutiaranya’ yang dicuri. Keresahan Deddy lebih kepada sebentuk penyesalan masa silam.
Hal ini dinukilkannya dalam kedua puisinya. Puisi pertama “Air Danau” berkisah tentang penyesalah hidup di perantauan yang mungkin takkan kacau-balau jika ia tak merantau. //Air berarak kacau/Danau yang tersudutkan/oleh perantau/menangis pilu lupakan kehidupan//.
Penyesalan mengapa si penulis puisi harus meninggalkan masa lalunya dan pergi merantau dipertegas bait penutup puisi tersebut. //Terseret oleh arus yang kacau/Menepis cemaran air danau//.
Pada puisi kedua, “Luka Kecilku”, Deddy langsung membuka sajaknya dengan ungkapan penyesalan masa lalu. //Waktuku berdosa di masa lalu/Tak mengenal arti Tuhan/Masa muda terabaikan /Peradaban luka kecilku//.
Penyesalan masa kecil itu ternyata karena ia harus percaya pada seorang pemimpin yang kemudian diketahui oleh si penulis puisi ini pemimpin itu bukanlah Tuhan pembawa kebenaran. Namun, kisah tentang itu semakin melekat dalam benaknya yang dilambangkan dengan kata: Kamarku mulai berhantu/ tentang kisah para pengikut suku//.
Membaca Zaman
Mengamati puisi-puisi yang ditulis oleh mahasiswa itu mengesankan bahwa dengan puisi mereka telah membaca perubahan zaman. Kendati masih ada galau yang disampaikan hanya berdasarkan dan untuk hati sendiri, sejatinya sebuah puisi telah dapat mewakilkan sebuah asa dan rasa: asa terhadap sebuah mimpi mengejar masa depan, baik atas nama pribadi maupun atas nama bangsa; serta rasa ingin mendapatkan kedaiaman. Inilah realisme mahasiswa kontemporer—mahasiswa yang hidup di zaman serba kacau-balau ini. Mereka lupa berkisah bagaimana ruang kuliah, seperti apa dosen mengajar, atau dari mana memperoleh uang jajan, tetapi mereka mulai berkisah tentang kondisi carut-marut zaman.
Herman RN adalah alumni Bahasa dan Sastra Indonesia Unsyiah
*Dimuat di koran lokal "Harian Aceh"
Minggu 14 Desember 2008
Parade Puisi Mahasiswa di Tiga Kampus
GULITA YANG BERGANTI
Muhammad Haekal
Dan semua tanpa warna…
Semu malam gulita…
Bersemilir angin tak berkala…
Aku mewajah gerah…
Tanpa usang semua terbang…
Dengan debu melekat hampa…
Kutawar berada pagi…
Yang biasa bermatahari tanpa bintang abadi…
Dan semua memberkas kilaunya…
Petang yang datang…hilang…
Kesempurnaan awan yang menghujan…
Malam yang mengembun…menantang…
Tanpa selimut aku duduk di haluan…
Berteman angin meyakin Tuhan…
Dan semua sejalan berpaling…
Tak mampu kulupakan dengan sekepul asap…
Tak mampu hilang dengan secangkir panas hitam…
Dan kusapa jenuh sang bulan pagi…
Yang sebentar lagi tergantikan oleh matahari…
Sang cahaya yang terkadang menepi namun memberi…
Berkias alam menebar wangi…
Tempat ombak biru yang tak pernah kudaki…
Ruang kenyataan tanpa palung hati…
Sebuah hiasan terbaik yang kumiliki di semua dimensi hari…
(19 november 2008)
MAHASISWA?
Muhammad Haekal
Hanya itukah ilmu mu?
Belajar untuk melempar batu…
Di tengah jembatan kau adu uratmu…
Sesama saudara membunuh tanpa malu…
Hanya itukah ilmu mu?
Meneriakkan kata setia dengan jiwa…
Namun melepasnya dalam sekejap mata…
Dan lihatlah pendahulumu di ’98…
Mereka berdarah….berkorban…
Tumbangkan rezim tegakkan reformasi…
Dan lihat dirimu…
Yang darahnya tertumpah sia-sia..
Tanpa guna suatu apa..hanya derita dan jerit tanpa nyawa…
Hai kau di sana!!!!!
Masihkah kau mengaku mahasiswa?!
(25 November 2008)
*refleksi tawuran antar-mahasiswa yang sering terjadi belakangan ini
SEBUAH PINTA
Nurhikmah
Maaf
Bila kalimatku
Bila sikapku
Bila candaku
Telah mengotori taman hatimu
Taman yang kutahu dan kudengar keindahannya
Taman yang diagungkan orang keperawanannya
Namun kini…
Seakan ku tak percaya
Sebab aku ia ternoda?
Maaf
Aku akan pergi saja
Agar kau lupa
Agar tamanmu kembali seperti sediakala
(Taman hatiku. Minggu/ 19 oktober 08)
LELAH
Nurhikmah
Pada siapa harus kumengadu
Tentang hilangnya mutiara di dasar hatiku
Tersisa hanya noda kelam dan menyesatkan
Menambah gelapnya sisi hidupku
Aku lelah
Ingin rasanya aku menghilang
Jauh dari smua makhluk Tuhan
Kehampaaan menjadi teman
Ketakutan jadi hiasan
Aku berada disimpang jalan
Tak tahu kemana harus menyebrang
Mencari mutiara yang telah hilang
Aku hilang
Terbang melayang
Terhenti
Ditempat yang tak kukenali
Dan mutiaraku tak kutemui.
(Alam maya/ November 2008)
AIR DANAU
Deddy Firtana Iman
Luasan genangan alas
air dalam kolam
Setipis sulaman
Mengikat talam dalam
genangan daun
menyemakkan danau
melukiskan kuncupan daun
Air berarak kacau
Danau yang tersudutkan
oleh perantau
menangis pilu lupakan kehidupan
Terseret oleh arus yang kacau
Menepis cemaran air danau
(2008)
LUKA KECILKU
Deddy Firtana Iman
Waktuku berdosa di masa lalu
Tak mengenal arti Tuhan
Masa muda terabaikan
Peradaban luka kecilku
Kosong melompong pikiran batinku
Hanya ucapan terasa-rasa kalbu
Kamarku mulai berhantu
Tentang kisah para pengikut suku
Pisau di tangan pembunuh berdarah
Tak tersentuh pertaubatan
Matipun takut aku rasakan
Telah bersusah payah aku berbaik hati
Cuma rasa kasihan mati
Itupun sehari semalam
Impian luka yang tenggelam
20-07-2008
Muhammad Haekal, mahasiswa IAIN Ar-Raniry
Nurhikmah, mahasiswa Almuslim Peusangan
Deddy Firtana Iman, mahasiswa FKIP Unsyiah
*Dimuat di koran lokal "Harian Aceh"
Minggu 14 Desember 2008