Vice Versa “Bukan Hikayat Yusuf & Zulaikha”, adalah sajian obrolan puisi yang beberapa waktu lalu diberikan kepada saya oleh penulisnya langsung, Reza Mustafa atas persetujuan Umma Azura di obrolan—dunia maya. Tepatnya buku itu saya baca semenjak bulan Ramadan, namun baru sekarang saya bisa menuntaskan hasil bacaan saya dan juga menulis beberapa apresiasi puisi dari sajian buku tersebut. Dan untuk itu juga saya mengucapkan terima kasih atas pemberian buku kumpulan puisinya.
Kita tahu tentang cerita antara Yusuf dan Zulaikha, yang disebutkan dalam kitab suci Al-Quran dalam surat Yusuf. Sementara itu, dilain kesempatan ini bagaimana dengan peranannya yang mengatakan buku itu bukan bagian dari kisah tersebut? Inilah yang mesti saya cari tahu terlebih dahulu maksud dan tujuan dari kumpulan puisi yang mengatakan “Bukan Hikayat Yusuf & Zulaikha.”
Sebelum kita mendahului maksud yang dituju ada baiknya saya membahas mengenai cover buku kumpulan puisi mereka. Pertama, di cover buku itu ditampilkan dua cangkir yang berbeda warna yang berisikan air kopi antara di pojok kiri atas berwarna “orange”, dan di pojok kanan bawahnya berwarna “hijau.” Kedua, antara sajian cangkir tersebut juga tertera nama penulisnya. Cangkir yang berwarna “orange”, atas nama Umma Azura dan di pojok kanan bawah berwarna “hijau”, atas nama Reza Mustafa. Dan kita sebagai pembaca secara tidak sengaja dilibatkan untuk memahami ada dua manusia yang tidak lain adalah penulisnya sendiri.
Sebagai pembaca, saya pun memahami maksud dan tujuan dari sajian cover dan judul pada buku kumpulan puisi mereka. Semuanya sangatlah erat—saling mengkaitkan dengan isi puisi dan saling berpengaruh antara imajinasi warna, kenikmatan dan pergolakan cinta di dalamnya. Sehingga, lagi-lagi bukan perihal kisah Yusuf dan Zulaikha seperti dalam percakapan antara kedua penulis di bawah ini:
Bukan Hikayat Yusuf & Zulaikha
│Umma Azura
Sebab kau bukan Yusuf
Dan aku bukan Zulaikha
Bajumu tak koyak di belakang
Makassar, 15.20.2012│at my room.
*(Halaman 7)
Pada puisi yang berjudul “Bukan Hikayat Yusuf & Zulaikha” telah menjelaskan tentang maksud lahirnya sebuah kumpulan puisi yang sedang saya baca. Umma Azura pun telah menyatakannya jikalau “aku bukan Zulaikha.” Si penyair perempuan yang satu ini mengatakannya untuk diri sendiri—lawan bicara dalam untaian puisi bersama Reza Mustafa dan kepada kita sebagai pembacanya. Lalu secangkir obrolan puisi pun dibalas dengan ungkapan “Kita Sedang Tak Membaca Hikayat Yusuf & Zulaikha.” Seperti sajian puisi di bawah ini:
Kita Sedang Tak Membaca
Hikayat Yusuf & Zulaikha
│Reza Mustafa
Mungkin Yusuf tak pernah mengira pada Zulaikha. Atau Zulaikha memang tak mengerti tentang perasaan suka. Aku membayangkan baju yang koyak bersebab tarikan tangan. Aku tak membayangkan Yusuf, tak pula terbayang Zulaikha. Yang kubayang adalah baju yang koyak dan tangan yang membuat koyak. Aku membayangkan baju yang koyak dari depan.
Sementara yang sedang berpasang. Ya, sepasang. Sepasang tubuh berhimpitan (baca: berpelukan), mata keduanya bersitatap. Yang satu sayu, satunya lagi nyalang-nyalang nanar. Mata mereka bertemu. Pula tubuh yang menyatu.
Akh, hikayat Yusuf dan Zulaikha!
Banda Aceh, 15.02. 2012
*(Halaman 7)
Pada sajian puisi di atas, si penyair mengungkapkan tentang buah pikirannya mengenai keterlibatannya sebagai lelaki yang harus bercerita perihal kisah antara Yusuf dan Zulaikha. Sebagai perumpamaan antara kediriannya sebagai lelaki, penyair dan juga balasan obrolan yang sedikit liar diungkapkan pada sajian puisinya. Kita sedang tidak membaca hikayat tersebut, tetapi kita si penyair sedang meluangkan waktunya untuk menyeret pembaca pada ruang waktu yang lain. Tempat kejadian saling menatap di tempat duduk antara keduanya. Mereka yang saling menatap dan saling bercerita yang juga ditemani secangkir kopi di hadapan mereka “Mata mereka bertemu. Pula tubuh yang menyatu” pada kesempatan yang lain pula.
Kesempatan pertemuan antara dua jenis kelamin di kumpulan puisi ini menyebabkan percakapan keduanya semakin hangat untuk dipahami secara anak manusia. Penuh cinta disetiap kata-kata namun tidak terlalu bermuluk-muluk tentang rasa gombal sebagai pancapaian yang tidak jujur. Ya, kita sebagai manusia pernah mengalaminya. Ketika bertemu di suatu tempat yang telah ditentukan untuk saling bertemu, bercerita banyak hal dan tentang yang paling tersembunyi untuk diungkapkan kepada lawan jenis tersebut.
Sore Ini
│Umma Azura
kopi yang aku teguk, mengingatkanku pada bibirmu yang
mencintaimu.
Makassar, 18.02.2012 │at my room
*(Halaman 41)
Secangkir kopi di “Sore Ini” telah mengungkapkan tentang rasa rindu itu sendiri. Sendiri memang menyakitkan seperti “mengingatkanku pada bibirmu yang mencintaimu” adalah jawaban dari kesepian tanpa seorang teman, lawan naluri yang penuh rasa cinta terdalamnya.
Sore hari memang tepat untuk sebuah kenangan tentang lamunan percintahan. Sebagai lamunannya pun kita tidak segan-segan membayangkannya kepada wujud yang lain pula. Semisal rasa kopi dan segelas cangkir di hadapan kita. Inilah maksud dari kenangan waktu yang sepi pada sajian puisi “Sore Ini.”
Kopi & Sepasang Bibir Yang Bertemu
│Reza Mustafa
kau seruput lagi kopi sore ini
jenis kopi yang sama dengan
kopi yang diseduh oleh pendahulumu
kopi yang pernah membuat orang-orang
di barat melebarkan layar kapal
jelajahi laut menuju daratanmu
bagimu bicara kopi bukan saja
masalah bentuk atau buruk
kopi adalah representasi cita-cita
pemaknaan tentang warna-warna cinta
pula manifestasi atas pelbagai macam rasa
dan kini kutemui kau sedang duduk menunggu
sambil memegang secarik kertas bergambar
sebentuk sketsa wajah yang belum usai
di sampingmu kutemui pula secangkir kopi
duduk manis menemanimu dengan diam
ah, sore ini senja luput mengarahkan
warna emasnya ke wajahmu
tapi kopi? Ya, seperti yang kau sebut sebelumnya
kopi mengingatkanmu pada bibirku
yang keterlaluan mencintai bibirmu
Aceh, 18.02.2012. │Emperom
*(Halaman 41-42)
Setelah lama hidup dan bergelora di antara keterasingannya, maka timbullah buah cinta itu sendiri. Lawan bicara pada puisi “Kopi & Sepasang Bibir Yang Bertemu” telah mengobati rasa pahit dan pula lawan keterasingan tersebut. Saya pun sedikit terkejut dengan uantaian pemaknaan dengan sebuah kejujuran di puisi itu. Seperti ini, “Ya, seperti yang kau sebut sebelumnya/ kopi mengingatkanmu pada bibirku/ yang keterlaluan mencintai bibirmu/.”
Apa yang telah terjadi jika sepasang anak manusia menatap satu sama lain antara dimabuk asmara tersebut? Jawabannya tidak lain selain yang telah diungkapkan oleh sang penyair, Reza Mustafa. Cinta yang diburu, saling memburu untuk menyatu seperti maknet yang saling bersentuhan jika bertemu antara (+) dan (-). Dan hanya cintalah yang bias menyatukannya. Seperti di malam-malam berikutnya.
Kabar Darimu Malam Ini
│Umma Azura
Baru sekedar membayangkan dirimu pergi, rinduku sudah bertumpuk-tumpuk. Akh, bagaimana jika kau sudah benar-benar pergi. Rindu akan membunuhku, itu pasti.
Makassar, 24-02-2012. │at my room
*(Halaman 17)
“Apa kabarmu di malam ini?” Tentu jawabanya ada pada puisi “Kabar Darimu Malam Ini.” Ya, sebuah perasaan antara hari-hari yang kosong. Kedua penyair ini telah bertemu kembali. Menceritakan perihal perasaan mereka antara yang lelaki dan wanita. Apa kata mereka pada puisi tersebut. Tidak lain, penyair perempuan itu mengabarkan kepada kita si pembacanya tentang pasangannya yang baru saja pergi untuk keperluan yang lain. Mungkin aku menyebutnya sedang menyiapkan kata-kata “Rindu akan membunuhku, itu pasti.” Tentu bukan aku, tetapi si penyair wanitanya yang mengatakan seperti itu. Ingat itu!
Itu Pesan Rindu
│Reza Mustafa
Tersebut; tak ada yang benar-benar pergi. Kecuali maut menjemput mengajak mati. Santai saja, pergi hanyalah usaha untuk kembali. Pergi adalah kata using yang telah basi bagi seorang penanti.
Maka kau yang dibalut rindu. Atau yang sedang menunggu. Sabarlah barang beberapa detik waktu. Atau temui yang telah pergi itu dalam sebuah duniamu sendiri. Serupa dunia yang telah kau gores dalam sebuah lukisan musim salju. Mungkin ia di sana. Mengerjakan beberapa pekerjaan sambil merangkai beberapa pesan. Itu pesan rindu. Tentu saja pesan untukmu.
Banda Aceh, 27.02. 2012.
*(Halaman 17)
Terkadang maut selalu dipersalahkan untuk sebuah kegagalan dalam mengapai sebuah hubungan yang ingin sampai pada puncaknya. Apa sebab kematian pula yang membuat manusia harus bunuh diri atau dikatakan gila pada akhir hidupnya? Entahlah, manusia memang selalu mengatakan seperti itu. Ingin rasanya menuntaskan sebuah kegagalan cintanya, namun tidak memikirkannya jika jalan pintas dianggapnya pantas. Seperti iklan di telivisi swasta kita saja.
Kegagalan pun ada juga jalan ceritanya, semisal mengatakan “Itu Pesan Rindu.” Tentu saja hal lebih baik akan membuahkan hasil yang menyenangkan pula. Lalu bagaimana dengan puisi yang berjudul sama? Ya, kata rindu adalah sebuah salam perpisahan yang hanya terhenti untuk sesaat dan dilain waktu pun akan dilupakannya oleh kita sendiri perihal sebuah kerinduan. “Tersebut; tak ada yang benar-benar pergi. Kecuali maut menjemput mengajak mati. Santai saja, pergi hanyalah usaha untuk kembali.” Dan pada kata-kata itulah bentuk jawaban perihal rasa cinta yang gagal, saling melengkapi antara sesamanya. Antara kedua penyair tersebut, mereka telah mengetuk hati kita sebagai pembaca. Mengatakan cinta itu semisal “Bukan Hikayat Yusuf & Zulaikha” , tetapi kita sendirilah yang merangkaikannya untuk sebuah percintaan. Baik untuk yang lebih baik atau malah kepada yang menyakitkan. Selamat membaca dan selamat pula untuk mencobannya!
Sumber foto: Vice Versa “Bukan Hikayat Yusuf & Zulaikha”