Beranda Judul

Saturday, 29 September 2012

Air Hujan








Air Hujan
Karya Deddy Firtana Iman

Pernah kau menyerukan
Keadaan tentang kemarau
Lalu diam-diam tersenyum
Tanpa menoleh ke belakang
Sembari mengejar rintik-rintik
Air hujan

Membasahi perjalananmu
Bermain bersamanya
Hingga tak tentu arah
Dan tersesat di keheningan
Malam tanpa purnama

Maka aku pun yakin
bahwa dirimu telah
Diseret oleh air bah
Di sudut persimpangan

2012

Deddy Firtana Iman, kini bergiat di Komunitas Kanot Bu

Manisan Kampungku








Manisan Kampungku
Karya Deddy Firtana Iman

Ada semut ada gula
Manisan dari pohon
Tentunya madu
Yang manis kita nikmati

Tetapi pohonnya
Semakin berkurang
Kita pun semakin curang
Menambahkan air gula
Sebagai rezeki di hari esok

Entah seperti apa
Lebah itu mampir di rumahku
Mengusik ketenangan anakku

Maafkan kejahilan kami
Hingga kau terluka

2012


Sunday, 16 September 2012

Magrib yang Menegur Hamba



“Burung-burung tidak pernah lupa untuk kembali kepada sarangnya, ketika langit menggapai warna kemerahannya.” Dan menjadi gelap sampai hadir sebagai pembuka pada puisi yang berjudul "Magrib yang Mengiba" karya Pilo Poly. Kini sang penyair itu pun sedang menatap magrib di pulau Jawa, tempatnya menetap di dalam sarangnya (rumah impiannya).

Mungkin tidak terlalu penting aku harus menulisnya untuk diriku sendiri, tetapi alangkah bahagianya jika tulisan ini bisa sampai pada waktu yang tepat. Di layar tampilannya di sana, media dunia maya. Dia sedang membacanya, puisinya sendiri!

Seperti serangkaian cahaya yang masuk pada mataku hingga dini hari dan aku tambah semakin yakin dengan puisinya, “Matahari terbit dari mataku/ menelan yang purnama semalam/.” Kedekatannya semakin membuatku harus kembali kepada renungan di malam ini. Malam yang mengiba.

Apakah kau mau percaya, jika puisi yang berjudul “Magrib yang Mengiba” itu diperuntukkan kepada kita yang beberapa hari yang lalu pun puisi itu dibaca oleh kalayak ramai? Tentu saja, kata “magrib” itu diutarakannya untuk kita, aku dan penulisnya sendiri. Dilihat dari penalarannya yang diam-diam telah mendekati hambanya yang luluh padaNya.


Magrib yang Mengiba

Oleh Pilo Poly


Matahari terbit dari mataku

menelan yang purnama semalam

dan kita merengkuh semua

dengan alasan tak sempurna


Kemana kita bawa cahaya

yang kita tangkap

dari balik magrib

yang mengiba salik


Apa telah kita telan juga?

asma-asma Tuhan

tak lagi mendera

di indera telinga


Puri Gading, 2012


Ada pertanyaan kecil pada puisi di atas itu. Apa bunyinya? “Kemana kita bawa cahaya/ yang kita tangkap/ dari balik magrib/.” Kau punya jawabannya? Kalau tidak, aku punya jawabannya seperti ini. Silahkan kau dekatkan pemikiranmu untuk jawabanku ini. Contohnya seperti ini, “Ketika mangrib, yang tidak berakal pun kembali kepada sarangnya. Entah itu seekor ayam, burung, atau kambing sekalipun. Mereka kembali, singgah di sebuah tempat tinggalnya masing-masing. Berkumpul dengan keluarga. Lalu kita yang mempunyai akal, pikiran dan juga kepercayaan yang dianutnya tentu sajar rumah yang kedua itu singgahnya kepada rumahNya. Rumpah tempat berkum dan beribadah secara bermasyarakat antar sesamanya.

Dan kita merengkuh semua/ dengan alasan tak sempurna/.” Sangat sakit sekali jika kata-kata itu diperdengarkan oleh sahabat kita yang juga sedang mengeluh atau malah kita sendiri yang tega mengucapkannya. Menghalalkan segala cara untuk menghindar, tetapi tidak menghalakan untuk singgah ke rumahnya. Baik di rumah sendiri dengan “sajadah panjangnya” yang seperti dinyanyikan oleh Bimbo atau malah mencari jalan panjang ke negeri Roma yang entah sampai kapan kita akan sampai ke situ.

Sementara ketidakyakinku pada “asma-asma Tuhan/ tak lagi mendera/ di indera telinga//.” Telah membuat kita menjadi lupa pada rumah yang kedua itu. Rumah persinggahan terakhir kita secara rohani. Kuping kita telah ditutupi dengan segala hiburan atau malah duduk di kedai kopi sambil menikmati secangkir kopi dan yang wanitanya mungkin sedang diasyikkan oleh nyanyian gombalan sinetron yang alurnya tidak pernah berubah. Sungguh disayangkan sekali. Dan aku pun memahami jika puisi itu telah sampai dengan selamat, menegur kita lewat puisinya yang lembut dan menawan itu.


Sumber puisi: Magrib yang Mengiba

Sumber Foto: Pilo Poly


Sebuah Percakapan Dalam Untaian Puisi


Vice Versa “Bukan Hikayat Yusuf & Zulaikha”, adalah sajian obrolan puisi yang beberapa waktu lalu diberikan kepada saya oleh penulisnya langsung, Reza Mustafa atas persetujuan Umma Azura di obrolan—dunia maya. Tepatnya buku itu saya baca semenjak bulan Ramadan, namun baru sekarang saya bisa menuntaskan hasil bacaan saya dan juga menulis beberapa apresiasi puisi dari sajian buku tersebut. Dan untuk itu juga saya mengucapkan terima kasih atas pemberian buku kumpulan puisinya.

Kita tahu tentang cerita antara Yusuf dan Zulaikha, yang disebutkan dalam kitab suci Al-Quran dalam surat Yusuf. Sementara itu, dilain kesempatan ini bagaimana dengan peranannya yang mengatakan buku itu bukan bagian dari kisah tersebut? Inilah yang mesti saya cari tahu terlebih dahulu maksud dan tujuan dari kumpulan puisi yang mengatakan “Bukan Hikayat Yusuf & Zulaikha.”

Sebelum kita mendahului maksud yang dituju ada baiknya saya membahas mengenai cover buku kumpulan puisi mereka. Pertama, di cover buku itu ditampilkan dua cangkir yang berbeda warna yang berisikan air kopi antara di pojok kiri atas berwarna “orange”, dan di pojok kanan bawahnya berwarna “hijau.” Kedua, antara sajian cangkir tersebut juga tertera nama penulisnya. Cangkir yang berwarna “orange”, atas nama Umma Azura dan di pojok kanan bawah berwarna “hijau”, atas nama Reza Mustafa. Dan kita sebagai pembaca secara tidak sengaja dilibatkan untuk memahami ada dua manusia yang tidak lain adalah penulisnya sendiri.

Sebagai pembaca, saya pun memahami maksud dan tujuan dari sajian cover dan judul pada buku kumpulan puisi mereka. Semuanya sangatlah erat—saling mengkaitkan dengan isi puisi dan saling berpengaruh antara imajinasi warna, kenikmatan dan pergolakan cinta di dalamnya. Sehingga, lagi-lagi bukan perihal kisah Yusuf dan Zulaikha seperti dalam percakapan antara kedua penulis di bawah ini:

Bukan Hikayat Yusuf & Zulaikha

│Umma Azura

Sebab kau bukan Yusuf

Dan aku bukan Zulaikha

Bajumu tak koyak di belakang

Makassar, 15.20.2012│at my room.

*(Halaman 7)

Pada puisi yang berjudul “Bukan Hikayat Yusuf & Zulaikha” telah menjelaskan tentang maksud lahirnya sebuah kumpulan puisi yang sedang saya baca. Umma Azura pun telah menyatakannya jikalau “aku bukan Zulaikha.” Si penyair perempuan yang satu ini mengatakannya untuk diri sendiri—lawan bicara dalam untaian puisi bersama Reza Mustafa dan kepada kita sebagai pembacanya. Lalu secangkir obrolan puisi pun dibalas dengan ungkapan “Kita Sedang Tak Membaca Hikayat Yusuf & Zulaikha.” Seperti sajian puisi di bawah ini:

Kita Sedang Tak Membaca

Hikayat Yusuf & Zulaikha

Reza Mustafa

Mungkin Yusuf tak pernah mengira pada Zulaikha. Atau Zulaikha memang tak mengerti tentang perasaan suka. Aku membayangkan baju yang koyak bersebab tarikan tangan. Aku tak membayangkan Yusuf, tak pula terbayang Zulaikha. Yang kubayang adalah baju yang koyak dan tangan yang membuat koyak. Aku membayangkan baju yang koyak dari depan.

Sementara yang sedang berpasang. Ya, sepasang. Sepasang tubuh berhimpitan (baca: berpelukan), mata keduanya bersitatap. Yang satu sayu, satunya lagi nyalang-nyalang nanar. Mata mereka bertemu. Pula tubuh yang menyatu.

Akh, hikayat Yusuf dan Zulaikha!

Banda Aceh, 15.02. 2012

*(Halaman 7)

Pada sajian puisi di atas, si penyair mengungkapkan tentang buah pikirannya mengenai keterlibatannya sebagai lelaki yang harus bercerita perihal kisah antara Yusuf dan Zulaikha. Sebagai perumpamaan antara kediriannya sebagai lelaki, penyair dan juga balasan obrolan yang sedikit liar diungkapkan pada sajian puisinya. Kita sedang tidak membaca hikayat tersebut, tetapi kita si penyair sedang meluangkan waktunya untuk menyeret pembaca pada ruang waktu yang lain. Tempat kejadian saling menatap di tempat duduk antara keduanya. Mereka yang saling menatap dan saling bercerita yang juga ditemani secangkir kopi di hadapan mereka “Mata mereka bertemu. Pula tubuh yang menyatu” pada kesempatan yang lain pula.

Kesempatan pertemuan antara dua jenis kelamin di kumpulan puisi ini menyebabkan percakapan keduanya semakin hangat untuk dipahami secara anak manusia. Penuh cinta disetiap kata-kata namun tidak terlalu bermuluk-muluk tentang rasa gombal sebagai pancapaian yang tidak jujur. Ya, kita sebagai manusia pernah mengalaminya. Ketika bertemu di suatu tempat yang telah ditentukan untuk saling bertemu, bercerita banyak hal dan tentang yang paling tersembunyi untuk diungkapkan kepada lawan jenis tersebut.

Sore Ini

│Umma Azura

kopi yang aku teguk, mengingatkanku pada bibirmu yang

mencintaimu.

Makassar, 18.02.2012 │at my room

*(Halaman 41)

Secangkir kopi di “Sore Ini” telah mengungkapkan tentang rasa rindu itu sendiri. Sendiri memang menyakitkan seperti “mengingatkanku pada bibirmu yang mencintaimu” adalah jawaban dari kesepian tanpa seorang teman, lawan naluri yang penuh rasa cinta terdalamnya.

Sore hari memang tepat untuk sebuah kenangan tentang lamunan percintahan. Sebagai lamunannya pun kita tidak segan-segan membayangkannya kepada wujud yang lain pula. Semisal rasa kopi dan segelas cangkir di hadapan kita. Inilah maksud dari kenangan waktu yang sepi pada sajian puisi “Sore Ini.”

Kopi & Sepasang Bibir Yang Bertemu

│Reza Mustafa

kau seruput lagi kopi sore ini

jenis kopi yang sama dengan

kopi yang diseduh oleh pendahulumu

kopi yang pernah membuat orang-orang

di barat melebarkan layar kapal

jelajahi laut menuju daratanmu

bagimu bicara kopi bukan saja

masalah bentuk atau buruk

kopi adalah representasi cita-cita

pemaknaan tentang warna-warna cinta

pula manifestasi atas pelbagai macam rasa

dan kini kutemui kau sedang duduk menunggu

sambil memegang secarik kertas bergambar

sebentuk sketsa wajah yang belum usai

di sampingmu kutemui pula secangkir kopi

duduk manis menemanimu dengan diam

ah, sore ini senja luput mengarahkan

warna emasnya ke wajahmu

tapi kopi? Ya, seperti yang kau sebut sebelumnya

kopi mengingatkanmu pada bibirku

yang keterlaluan mencintai bibirmu

Aceh, 18.02.2012. │Emperom

*(Halaman 41-42)

Setelah lama hidup dan bergelora di antara keterasingannya, maka timbullah buah cinta itu sendiri. Lawan bicara pada puisi “Kopi & Sepasang Bibir Yang Bertemu” telah mengobati rasa pahit dan pula lawan keterasingan tersebut. Saya pun sedikit terkejut dengan uantaian pemaknaan dengan sebuah kejujuran di puisi itu. Seperti ini, “Ya, seperti yang kau sebut sebelumnya/ kopi mengingatkanmu pada bibirku/ yang keterlaluan mencintai bibirmu/.”

Apa yang telah terjadi jika sepasang anak manusia menatap satu sama lain antara dimabuk asmara tersebut? Jawabannya tidak lain selain yang telah diungkapkan oleh sang penyair, Reza Mustafa. Cinta yang diburu, saling memburu untuk menyatu seperti maknet yang saling bersentuhan jika bertemu antara (+) dan (-). Dan hanya cintalah yang bias menyatukannya. Seperti di malam-malam berikutnya.

Kabar Darimu Malam Ini

│Umma Azura

Baru sekedar membayangkan dirimu pergi, rinduku sudah bertumpuk-tumpuk. Akh, bagaimana jika kau sudah benar-benar pergi. Rindu akan membunuhku, itu pasti.

Makassar, 24-02-2012. │at my room

*(Halaman 17)

“Apa kabarmu di malam ini?” Tentu jawabanya ada pada puisi “Kabar Darimu Malam Ini.” Ya, sebuah perasaan antara hari-hari yang kosong. Kedua penyair ini telah bertemu kembali. Menceritakan perihal perasaan mereka antara yang lelaki dan wanita. Apa kata mereka pada puisi tersebut. Tidak lain, penyair perempuan itu mengabarkan kepada kita si pembacanya tentang pasangannya yang baru saja pergi untuk keperluan yang lain. Mungkin aku menyebutnya sedang menyiapkan kata-kata “Rindu akan membunuhku, itu pasti.” Tentu bukan aku, tetapi si penyair wanitanya yang mengatakan seperti itu. Ingat itu!

Itu Pesan Rindu

Reza Mustafa

Tersebut; tak ada yang benar-benar pergi. Kecuali maut menjemput mengajak mati. Santai saja, pergi hanyalah usaha untuk kembali. Pergi adalah kata using yang telah basi bagi seorang penanti.

Maka kau yang dibalut rindu. Atau yang sedang menunggu. Sabarlah barang beberapa detik waktu. Atau temui yang telah pergi itu dalam sebuah duniamu sendiri. Serupa dunia yang telah kau gores dalam sebuah lukisan musim salju. Mungkin ia di sana. Mengerjakan beberapa pekerjaan sambil merangkai beberapa pesan. Itu pesan rindu. Tentu saja pesan untukmu.

Banda Aceh, 27.02. 2012.

*(Halaman 17)

Terkadang maut selalu dipersalahkan untuk sebuah kegagalan dalam mengapai sebuah hubungan yang ingin sampai pada puncaknya. Apa sebab kematian pula yang membuat manusia harus bunuh diri atau dikatakan gila pada akhir hidupnya? Entahlah, manusia memang selalu mengatakan seperti itu. Ingin rasanya menuntaskan sebuah kegagalan cintanya, namun tidak memikirkannya jika jalan pintas dianggapnya pantas. Seperti iklan di telivisi swasta kita saja.

Kegagalan pun ada juga jalan ceritanya, semisal mengatakan “Itu Pesan Rindu.” Tentu saja hal lebih baik akan membuahkan hasil yang menyenangkan pula. Lalu bagaimana dengan puisi yang berjudul sama? Ya, kata rindu adalah sebuah salam perpisahan yang hanya terhenti untuk sesaat dan dilain waktu pun akan dilupakannya oleh kita sendiri perihal sebuah kerinduan. “Tersebut; tak ada yang benar-benar pergi. Kecuali maut menjemput mengajak mati. Santai saja, pergi hanyalah usaha untuk kembali.” Dan pada kata-kata itulah bentuk jawaban perihal rasa cinta yang gagal, saling melengkapi antara sesamanya. Antara kedua penyair tersebut, mereka telah mengetuk hati kita sebagai pembaca. Mengatakan cinta itu semisal “Bukan Hikayat Yusuf & Zulaikha” , tetapi kita sendirilah yang merangkaikannya untuk sebuah percintaan. Baik untuk yang lebih baik atau malah kepada yang menyakitkan. Selamat membaca dan selamat pula untuk mencobannya!



Sumber foto: Vice Versa “Bukan Hikayat Yusuf & Zulaikha”